Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Mengenal Sasando, Alat Musik Tradisional asal Nusa Tenggara Timur
6 Maret 2018 13:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Sasando merupakan alat musik tradisional asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terbuat dari bambu dan daun lontar. Namun belum banyak yang tahu asal mula Sasando tercipta.
ADVERTISEMENT
Pemain dan pembuat Sasando, Jeagril Paah, mengungkapkan, Sasando diciptakan pada abad ke-17 di Pulau Rote oleh dua orang penggembala domba, dari sebuah wadah yang dipakai untuk menimba air. Dua orang gembala itu kemudian baru menyadari ada suara-suara yang bisa dihasilkan oleh alat sederhana itu.
Awalnya, senar Sasando dibuat dari lidi daun lontar sebelum akhirnya memakai senar yang biasa dipakai untuk biola.
"Awal mula enggak kenal (senar) besi. Senar pertama dari lidi daun. Tapi karena cepat rusak, mereka pintal lagi sendiri dengan pohon yang sebangsa dengan daun lontar. Tapi karena kendor, mereka congkel bagian bambu seukuran senar. Tapi lama-lama putus juga. Makanya di tengah dipakai bambu karena buat senar. Atas bawah pakai kayu penyangga," kata Jeagril di Kupang, NTT, Selasa (6/3).
ADVERTISEMENT
Senar Sasando akhirnya memakai senar kawat setelah orang Portugis datang ke NTT membawa biola. Cara mereka untuk mendapatkan senar kawat awalnya dengan sistem barter dengan orang Portugis.
Setelahnya, Sasando sempat punah karena tidak pernah dimainkan lagi dan hanya dijadikan pajangan di rumah-rumah. Barulah saat itu, asisten Raja Rote yang merupakan ayah dari Kakek Jeagril memberitahukan hal itu kepada Raja Rote untuk kembali dikembangkan.
Menambah Senar Sasando
Pengembangan Sasando kemudian dilanjutkan oleh ayah Jeagril, Jeremias A. Paah. Salah satu bentuk pengembangan yang dilakukan adalah menambah jumlah senar Sasando.
"Tadinya (jumlah senar) 7 sampai 10 senar dari notasi blok. Lalu berkembang menjadi 10 senar dan dikembangkan lagi ke 24 dan 28 senar. Lalu dikembangkan ke 32 sampai 48 senar," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Atas jasanya ini, Jeremias mendapatkan gelar maestro dari Jero Wacik yang kala itu masih menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Kebudayaan. Lebih lanjut, Jeagril mengungkapkan bahwa Sasando sebetulnya hanya boleh dimainkan oleh sesepuh atau orang tua saja.
Namun ayah Jeagril, Jeremias, berpikir bagaimana caranya agar ada generasi penerus pemain Sasando, sehingga alat musik ini dapat terus dimainkan oleh generasi muda.
"Karena dulu kalau Bapak bilang anak muda dilarang, sekarang Bapak bilang harus ada pengganti. Saya mulai waktu umur 12 tahun belajar main Sasando. Itu tahun 1992," kata dia.
Meski Jeremias telah dianugerahi gelar maestro, namun alat musik ini masih belum dikenal luas. Karena kurangnya promosi, saudara-saudara Jeagril kemudian berinisiatif untuk mengikuti acara audisi di televisi swasta.
ADVERTISEMENT
"Akhirnya adik saya ikut audisi pencarian bakat untuk promosi. Dia enggak cari menang. Yang penting dilihat orang ada Sasando. Dari situ ada perubahan anak muda mau belajar. Lalu adik saya nomor 4 ikut juga audisi pencarian bakat juga (dengan tujuan) untuk promosi," kata dia.
Jeagril juga mengungkapkan pelafalan yang benar dari Sasando, yaitu Sandu. Pelafalan dengan menggunakan huruf 'O' awalnya karena orang luar tidak bisa menyebut kata Sandu dengan benar.
"Pengaruh O karena pelafalannya orang dari Australia. Kita bilang Sandu tapi dia bilang Sando. Akhirnya orang-orang kita ikutan bilang Sando. Sampai ke sini baru kita jelaskan (pelafalan yang benar)," paparnya.