Mengenal Sejarah Angklung, Alat Musik yang Jadi Tampilan Google Doodle Hari Ini

16 November 2022 16:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Baduy memainkan angklung buhun di Ciboleger, Lebak, Banten, Kamis (14/10/2021). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Warga Baduy memainkan angklung buhun di Ciboleger, Lebak, Banten, Kamis (14/10/2021). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Hari Angklung Sedunia diperingati setiap 16 November. Tahun ini, Google pun ikut memperingatinya dengan doodle spesial di laman pencarian.
ADVERTISEMENT
Alat musik yang satu ini memang telah diakui oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Angklung diakui sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Non-bendawi Manusia sejak 16 November 2010 lalu.
Sebelum eksis menjadi sebuah kesenian yang mendunia, angklung telah menapaki perjalanan sejarah yang amat panjang. Angklung dalam perkembangannya kerap muncul sebagai media hiburan masyarakat, sebagai media upacara ritual, bahkan sebagai media perjuangan.
Menurut jurnal berjudul “Angklung: Dari Angklung Tradisional Ke Angklung Modern”, alat musik yang terbuat dari bambu ini berasal dari Pulau Jawa, khususnya tanah Sunda. Konon, alat musik ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Sunda. Pada abad ke-19, sejumlah orang Eropa bahkan mengaku sudah melihat "permainan" angklung dimainkan orang-orang setempat.
Google Doodle Hari Angklung. Foto: Google
Angklung sendiri mampu bertahan berabad-abad lamanya bahkan telah memasuki era modern sekalipun. Alat musik yang satu ini telah menjadi atraksi seni favorit di seluruh nusantara bahkan sebelum era Hindu. Beberapa tokoh menyebutkan bahwa angklung juga ada di Sumatera Selatan, Kalimantan, Lampung, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Di Bali, angklung juga dimainkan untuk beberapa ritual termasuk upacara kremasi atau Ngaben. Bahkan ada yang mengklaim angklung berasal dari bahasa Bali yaitu ‘angka’ dan ‘paru-paru ’yang berarti nada lengkap.
Sementara kata angklung dalam bahasa Sunda, berasal dari dua kata yaitu “angkleung-angkleung” yang berarti diapung-apung dan “klung” yang berarti suara dari alat musik tersebut. Jadi, angklung berarti suara yang dihasilkan dengan cara diangkat atau diapung-apungkan.
Saung Angklung Udjo Foto: Instagram @angklungudjo
Orang-orang Baduy, dari Desa Kanekes masih memainkan angklung tradisional yang disebut angklung buhun dalam beberapa upacara tradisional mereka. Di perbatasan Cirebon dan Indramayu, tepatnya di Desa Bungko, ada jenis lain dari angklung yang diberi nama angklung bungko. Angklung Bungko diyakini telah berusia 600 tahun dan masih terawat dan dipelihara meskipun tidak lagi digunakan.
ADVERTISEMENT
Angklung jenis ini diciptakan oleh Syekh Bentong atau Ki Gede Bungko, yaitu seorang pemimpin agama yang menggunakannya sebagai media penyebaran agama Islam.
Di Desa Cipining, Bogor, terdapat angklung gubrag yang menurut cerita rakyat setempat berawal dari bencana gagal panen yang menyebabkan kelaparan. Masyarakat setempat percaya bahwa bencana tersebut terjadi karena kemarahan Dewi Sri.
Penduduk kemudian melakukan ritual dengan pertunjukan seni Angklung. Tujuannya untuk mengundang kembali Dewi Sri agar turun ke bumi dan memberikan berkahnya bagi kesuburan tanaman padi.
Sejumlah siswa bermain angklung saat mengunjungi Museum Sumpah Pemuda di Jakarta, Jumat (28/10/2022). Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO
Di kalangan masyarakat Sunda, keberadaan angklung tradisional masih erat dengan mitos Nyai Sri Pohaci atau Dewi Sri sebagai lambang dewi padi.
Pada awalnya, angklung tradisional digunakan oleh orang-orang desa pada masa itu sebagai bagian dari ritual kepada Dewi Sri. Pemikiran masyarakat Sunda dalam mengolah pertanian kemudian melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya ”nyinglar” (menolak bala) agar cocok tanam mereka tidak ditimpa malapetaka.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu. Batang-batang itu lalu dikemas sederhana yang kemudian melahirkan struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung.
Pekerja membersihkan alat musik angklung di Saung Angklung Udjo. Foto: Raisan Al Farisi/ANTARA FOTO
Perkembangan selanjutnya dalam permainan angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis dengan pola dan aturan-aturan tertentu. Pola-pola gerak ini disesuaikan dengan kebutuhan upacara penghormatan padi, misalnya pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, yaitu mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.
Demikian pula pada saat pesta panen dan Seren Taun dipersembahkan permainan Angklung. Terutama pada penyajian angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran.
ADVERTISEMENT
Jenis-jenis angklung tradisional sendiri terdiri dari Angklung Kaneke, Angklung Dogdog Lojor, Angklung Gubrag, Angklung Badeng, dan Angklung Buncis.
Reporter: Cut Salma