Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Mengenal Sosok Pendiri NU: KH Hasyim Asy'ari
31 Januari 2019 7:35 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
ADVERTISEMENT
Nahdlatul Ulama (NU) menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Berdirinya NU pada 31 Januari 1926 tidak bisa lepas dari peran KH Hasyim Asy'ari. Bahkan muqaddimah NU Qonun Asasy karangan Hasyim menjadi bagian dari Anggaran Dasar NU.
ADVERTISEMENT
Lantas seperti apa sosok Rais Aam Syuriyah pertama NU tersebut?
Dikutip dari berbagai sumber, Hasyim Asy'ari yang memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim lahir di desa Gedang, Jombang, Jawa Timur, pada 14 Februari 1871. Lingkungan Pondok Pesantren sangat kental dengan Hasyim. Ayah Hasyim, Kiai Asy'ari merupakan pendiri Pondok Pesantren (ponpes) Keras di Jombang. Sedangkan kakek buyutnya, Kiai Sihah, adalah pendiri Ponpes Tambak Beras dan kakeknya, Kiai Usman, pendiri ponpes Gedang.
Hasyim sendiri merupakan pendiri Ponpes Tebu Ireng di Jombang yang menjadi tempatnya mengajarkan kitab-kitab klasik atau bagi kalangan NU disebut kitab kuning. Pendirian ponpes tersebut dilakukan usai ia menyelesaikan pendidikan di Makkah. Di kota tersebut Hasyim berguru dengan Syekh Mahfudh At-Tarmisi yang berasal dari Tremas, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Selain itu, putra ketiga dari 10 bersaudara terebut juga berguru dengan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabau. Namun, Syekh Mahfudh At-Tarmisi menjadi sosok yang mempengaruhi jalan pikiran Hasyim. Dari Mahfudh juga, Hasyim memperoleh ijazah tarikat Qadariah dan Naqsabandiah.
Sebelum menimba ilmu di Makkah, Hasyim juga telah berguru ke berbagai ponpes. Di ponpes milik ayahnya, Hasyim telah menguasai kitab-kitab Islam klasik saat usianya yang baru 13 tahun.
Hasyim kemudian mulai mengembara ke beberapa ponpes untuk memperdalam ilmu agama. Di antaranya Pesantren Wonocolo Jombang, Pesantren Probolinggo, Pesantren Langitan, Pesantern Tranggilis, dan berguru kepada Kiai Kholil di Bangkalan, Madura.
Hasyim tidak hanya dikenal sebagai tokoh agama, kakek dari Presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid itu juga sosok yang patriotisme dan nasionalisme. Ia bersama ulama lainnya merupakan pelopor Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
ADVERTISEMENT
Resolusi itu didasarkan atas fatwa Hasyim terkait Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinilai sah secara fikih. Maka itu, resolusi itu menyerukan kepada umat islam untuk jihad mempertahankan kemerdekaan dengan mengusir tentara sekutu dan Belanda yang mencoba untuk kembali menjajah Indonesia.
Di bidang politik, Hasyim tidak pernah tergiur untuk berpolitik praktis. Urusan politik praktis selalu ia delegasikan kepada putranya. Ia baru melilbatkan diri dalam urusan politik jika ada situasi darurat yang mengancam kedaulatan bangsa dan kemerdekaan umat untuk menjalankan ajaran agama.
Selebihnya, Hasyim kembali ke pesantren mengabdikan hidupnya untuk pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat. Meski begitu Hasyim tidak pernah melarang kiai dan santri-santrinya berpolitik.