Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mengenang Kekokohan Masjid Baiturrahman saat Diterjang Tsunami Aceh
11 Oktober 2018 11:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Kokohnya empat masjid dan satu gereja di Palu dan Donggala setelah dihantam tsunami, mengingatkan kita pada 'keajaiban' Masjid Baiturrahman di Banda Aceh yang tetap berdiri tegak usai diterjang tsunami.
ADVERTISEMENT
Kota Banda Aceh porak poranda di pengujung tahun, tepatnya 26 Desember 2004. Gelombang tsunami menyapu seluruh isi ibu kota provinsi Aceh ini. Gemuruh teriakan zikir terdengar di setiap sisi.
Pagi itu, warga berhamburan di jalanan menyelamatkan diri. Ibu-ibu berlari sambil menggendong bayinya, hingga mereka yang berpisah dengan anak, suami, dan istri.
Gempa bumi berkekuatan 9,1 magnitudo disusul tsunami melanda Aceh 14 tahun lalu, tercatat sebagai bencana alam terdahsyat sepanjang abad ke-20. Lebih dari 200 ribu jiwa menjadi korban dalam musibah tersebut. Bahkan hampir seluruh bangunan ikut tersapu dan rata dengan tanah.
Di tengah porak porandanya pusat ibu kota Aceh itu, Masjid Raya Baiturrahman ikon kebanggaan masyarakat Aceh ini, masih berdiri kokoh. Meski di sekelilingnya dipenuhi lumpur dan puing-puing reruntuhan akibat hanyut dibawa air. Masjid ini, menjadi saksi bisu keganasan gelombang tsunami menggulung bumi Serambi Makkah.
ADVERTISEMENT
Zulfahmi (27) seorang warga kota Banda Aceh menjadi saksi bagian dari sejarah itu. Nyawanya terselamatkan usai berlari ke dalam masjid. Ketika gelombang tsunami mengepung, seluruh warga berlarian panik. Kala itu, mereka yang berada di pusat kota berlari masuk ke dalam masjid. Setiba di sana, sebagian dari mereka naik ke atas jendela, kubah masjid.
“Waktu tsunami itu ya cuma masjid raya yang tak tersentuh air bahkan tak roboh seperti bangunan di sekitarnya. Air tsunami hanya mengenai hingga batas anak tangga halaman masjid. Ratusan warga pun ikut selamat di sana termasuk saya,” ceritanya pada kumparan.
Zulfahmi mengisahkan, sebelum bencana melanda pagi Minggu itu, dia bersama teman-temannya sedang bermain bola di lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Saat sedang asyik bermain tiba-tiba bumi bergoyang. Karena ketakutan, lalu pulang ke rumah di Lampaseh Kota.
ADVERTISEMENT
Setelah melihat keluarga dalam kondisi selamat, kemudian dia kembali ke luar melihat banyaknya bangunan roboh. Di tengah perjalanan, seketika gemuruh suara ombak terdengar dari arah belakangnya. Zulfahmi panik mendengar suara gemuruh itu, terlebih banyak teriakan warga yang menyebut air laut naik.
Namun Zulfahmi tidak langsung ikut berlari menyelamat diri. Dia memilih kembali ke rumah untuk menemui keluarganya, kendati setiba di sana ia tak menemukan, ayah, ibu, dan kakaknya.
Saat air mulai menyentuh kakinya, Zulfahmi lari ke luar rumah dan naik ke atas reruntuhan toko. Tidak lama kemudian ia terhempas dan hanyut digulung air tsunami bercampur dengan reruntuhan kayu.
“Waktu di dalam air saya sudah pasrah. Kaki saya terluka, tetapi alhamdulillah saya tersangkut kemudian ada abang-abang yang menolong dan membawa saya ke Masjid Raya,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Setiba di sana , Zulfahmi menarik napas panjang. Dia menemukan sang ayah dan kakaknya yang juga menyelamatkan diri di dalam masjid. Di tengah kepanikan warga mencari kerabat, keluarga Zulfahmi disatukan di dalam masjid ini. Namun demikian, ia kehilangan sang ibu yang hingga saat ini jasadnya belum ditemukan.
“Ibu saya meninggal waktu tsunami. Waktu itu ibu saya terpisah dengan ayah saat berlari. Ketika air sudah surut keesokannya harinya, baru kami mencari ibu tapi jasadnya tidak bertemu,” ungkapnya.
Apa yang dialami Zulfahmi merupakan sepenggal kisah dari korban tsunami yang selamat di dalam Masjid Raya Baiturrahman bersama dengan ratusan warga lainnya.
“Ini adalah kekuasaan Tuhan kita tidak mampu menjangkaunya. Gelombang tsunami yang begitu dahsyat tapi tak menyentuh masjid. Dan warga yang menyelamat diri di dalamnya selamat,” tambah Zulfahmi.
Sejarah Masjid
ADVERTISEMENT
Masjid yang berada di jantung kota Banda Aceh itu merupakan ikon Provinsi Aceh. Masjid ini merupakan salah satu pusat pembelajaran Islam tempo dulu. Masjid yang dibangun pada masa Kesultanan Iskandar Muda tahun 1022 H/1612 M mempunyai sejarah panjang pada masa penjajahan Belanda.
Masjid Raya Baiturrahman pernah dibakar oleh tentara Belanda pada bulan April 1873 M. Pimpinan pasukan tentara Belanda kala itu, Mayjen Khohler, juga turut menjadi korban tewas. Untuk meredam kemarahan warga Aceh, pertengahan tahun 1877 M, Belanda kembali membangun masjid Masjid Raya Baiturrahman. Pada saat itu, Aceh berada di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah Johan atau Sultan Aceh yang terakhir.
Pembangunan masjid selesai dua tahun kemudian pada 27 Desember 1881 dengan biaya F.203.000 (dua ratus tiga ribu gulden). Waktu itu, masjid hanya dibangun dengan satu kubah dan ukuran tidak terlalu luas. Masyarakat Aceh kembali menggunakan masjid ini sebagai tempat ibadah.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1991-1993, Masjid Raya Baiturrahman kembali direnovasi dan diperluas oleh Gubernur Aceh kala itu Dr. Ibrahim Hasan. Perluasan meliputi halaman depan dan belakang. Sementara di dalam masjid meliputi bagian lantai, perpustakaan, ruang tamu, ruang perkantoran, aula dan tempat wudu.
Perluasan halaman meliputi taman dan tempat parkir serta satu buah menara utama dan dua minaret. Sehingga luas ruangan dalam Masjid menjadi 4.760 m2 berlantai marmer buatan Italia, ukuran 60 × 120 cm dan dapat menampug 9.000 jamaah. Dengan perluasan tersebut, Masjid Raya Baiturrahman memiliki 7 kubah, 4 menara, dan 1 menara induk.
Dari masa ke masa masjid ini telah berkembang pesat baik dari segi arsitektur maupun kegiatan kemasyarakatan. Luas area masjid kini sekitar 4 Ha, di dalamnya terdapat sebuah kolam dan menara induk. Namun, Masjid Raya Baiturrahman kini telah bersolek bak Masjid Nabawi di Madinah, diresmikan langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, 13 Maret 2017.
Berlantai marmer, dihiasi 12 payung raksasa menambah kemegahan masjid kebanggaan masyarakat Aceh. Masjid ini juga menjadi objek wisata religi yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan.
ADVERTISEMENT
Kolektor Manuskrip Kuno, Tarmizi Abdul Hamid, mengatakan kekokohan masjid Raya Baiturrahman, merupakan bukti kebesaran Tuhan. Menurutnya tidak ada cerita mitos di balik keutuhan masjid tersebut.
“Tidak ada mitos. Allah yang menentukannya. Masjid kokoh berdiri sebagai pertanda bahwa yang kuasa bisa menentukan apa saja atas kehendak-Nya. Ini menjadi pelajaran bagi kita semua yang berakal dan beriman,” ujarnya kepada kumparan.
Di samping itu, menurut Tarmizi yang akrab disapa Cek Midi tersebut, kekokohan masjid-masjid yang ada di Aceh tak terlepas dari usaha manusia dalam membangun masjid itu sendiri. Di Aceh masjid dibangun secara gotong royong oleh masyarakat dengan niat ikhlas dan tulus.
“Orang-orang tua Aceh zaman dulu ketika membangun masjid harus dimulai dengan niat yang baik. Masyarakat secara bergotong royong bersama membangun rumah ibadah di desa mereka,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Konstruksi bangunan masjid pada zaman dahulu dikerjakan oleh Utoh (tukang) pada bidangnya masing-masing. Setelah dirancang kemudian baru dikerjakan bersama oleh masyarakat. Selain itu, adat masyarakat Aceh, sebelum memulai pembangunan atau saat peletakan batu pertama didahului dengan kenduri (syukuran).
“Doa bersama meminta kepada Allah agar apa yang dibangun ini mendapat rahmat dan petunjuknya,” kata Cek Midi.
Cek Midi menilai, pembangunan zaman dahulu baik rumah maupun masjid yang ada di Aceh juga dibangun oleh Utoh yang memiliki kemampuan ilmu agama tinggi. “Walaupun profesi mereka Utoh tapi mereka sangat alim,” tuturnya.
Desain Terbuka Kurangi Hantaman Tsunami
Di sisi lain, Masdar Djamaluddin, dosen fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), menjelaskan tipologi masjid di Aceh kebanyakan konstruksi bangunannya tidak memiliki banyak dinding dan bersifat terbuka. Dalam konteksnya, ketika terkena hantaman gelombang tsunami tekanan air berkurang sehingga melewati masjid itu sendiri.
ADVERTISEMENT
“Masjid di Aceh itu memiliki banyak bukaan. Tidak tertutup dengan dinding. Seperti banyak jendela, pintu yang ada baik di sisi kiri, dan kanan bahkan hingga belakang. Maka ketika air masuk, tekanannya lebih kecil sehingga masjid itu tidak roboh,” kata dia, dikonfirmasi kumparan.
Berdasarkan hasil riset dan pengalaman para dosen teknik, konsep masjid terbuka seperti Masjid Raya Baiturrahman lebih bagus, ketimbang masjid yang lebih tertutup. Apalagi Aceh daerah yang rawan bencana.
“Karena ketika tsunami datang tekanan air itu bisa tersalurkan, tidak tertahan. Makanya tetap kokoh dan berdiri,” imbuhnya.
Kemudian kata Masdar, bangunan tua masjid-masjid di Aceh, umumnya bentangan masjid tidak terlalu lebar. Bangunannya juga dirancang dengan memiliki banyak tiang di dalamnya.
ADVERTISEMENT
“Nah, dalam konteksnya ketika bangunan ini dihantam gempa, karena dia lebih rigit atau istilahnya jarak antar kolom lebih rapat maka bangunan seperti ini juga lebih kokoh ketika gempa,” tuturnya.
Di Aceh, kata Masdar era tahun 60 hingga 80-an, rujukan pembangunan di masjid Aceh lebih condong mengikuti struktur masjid raya dengan banyak tiang dan rapat. Karena lebih kokoh dan kuat ketika gempa.
“Kalau dulunya kebanyakan gaya bangunan masjid di Aceh mengadopsi gaya Masjid Raya Baiturahman,” pungkas Masdar.
Simak selengkapnya konten spesial dalam topik Yang Kokoh Diterjang Tsunami .