Mengenang Kho Ping Hoo, Penulis Silat yang Melegenda

22 Juli 2019 14:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kho Ping Hoo. Foto: Dok. Asosiasi Peranakan Tionhoa Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Kho Ping Hoo. Foto: Dok. Asosiasi Peranakan Tionhoa Indonesia
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kho Ping Hoo percaya bahwa tugas manusia adalah menangkap ilham dari Tuhan. Ia mengibaratkan ilham layaknya setrum radio yang menjalar ke tubuh. Maka, ketika setrum itu datang, ide-ide segar berloncatan di kepalanya. Tanpa basa-basi lagi, ia menarasikannya sebagai sebuah cerita--khususnya cerita silat.
Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati adalah seorang pengarang cerita silat yang karyanya teramat banyak. Dalam satu judul, ia bisa membuatnya hingga puluhan jilid. Misalnya, kisah yang berjudul ‘Sang Megatantra’, ia membuatnya sampai 42 jilid.
Di mata masyarakat Indonesia kala itu, Kho Ping Hoo adalah jawaban. Jauh sebelum stasiun televisi dan radio mengudara, media sosial mengemuka, atau bahkan layanan streaming spotify dan netflix tersedia, cerita silat Kho Ping Hoo adalah konten yang kandung digandrungi. Bersanding dengan sejumlah cerita epik dari penulis lain seperti Bastian Tito (Penulis Wiro Sableng) atau bahkan Ganes TH (Penulis Si Buta dari Gua Hantu).
ADVERTISEMENT
Cerita silat yang disuguhkan Kho Ping Hoo sendiri bercerita tentang tugas manusia dalam membasmi kejahatan. Dalam ‘Kho Ping Hoo & Indonesia (2012), ia menyebut cerita silatnya sebagai upaya perlawanan.
“Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering menjumpai ketidakadilan, penindasan, dan kerakusan, tapi saya hanya bisa marah dalam hati. Untuk mengkritik, saya tidak memiliki keberanian. Lewat cerita silat, saya bisa mengkritik tanpa harus menyakiti perasaan siapa pun,” kata Kho Ping Hoo
Perjalanan Kho Ping Hoo
Pada mulanya, Kho Ping Hoo tak pernah bercita-cita menjadi seorang penulis. Jangan pun menjadi penulis, mengenyam pendidikan SMP pun ia tak tamat. Ayahnya adalah seorang tengkulak gula yang banting setir mempelajari ilmu kebatinan, sejak saat itulah ekonomi keluarganya memburuk.
ADVERTISEMENT
Kho Ping Hoo lahir 17 Agustus 1926 di Desa Sukowati, Sragen, Jawa Tengah. Ia merupakan anak ke-2 dari 12 bersaudara. Ayahnya bernama Kho Kim Po, ahli silat Sio -Lim, yang berasal dari Tiongkok. Ibunya bernama Sri Welas Asih, seorang pribumi dari Desa Bakulo, Yogyakarta.
Masa kecil Kho Ping Hoo terbilang keras, ia hanya mengecap pendidikan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)--setara SMP--selama dua bulan. Ia putus sekolah lantaran kedua orang tuanya tak mampu membiayai pendidikannya. Pada usia 14 tahun, ia mulai bekerja sebagai kuli toko di Sragen, Jawa Tengah.
Kho Ping Hoo. Foto: Dok. Wikipedia
Sejumlah pekerjaan kasar ia telah lakoni, mulai dari kuli bangunan, tukang becak, hingga penjual obat keliling. Hidupnya pun nomaden, ia berpindah-pindah kota, Kudus, Surabaya, hingga akhirnya terdampar di Taksimalaya pada tahun 1950. Di kota itulah nasib baik mulai menghampirinya.
ADVERTISEMENT
Nasib baik itu bermula dari kecintannya membaca buku. Meski Kho Pin Ho tak sekolah, ia memang suka sekali membaca. Baca apa saja yang ia temukan. Waktu luang yang ia miliki, selalu dipakai untuk membaca.
Suatu ketika, ia tengah membaca satu cerpen di sebuah majalah. Saat membacanya, Kho Pin Ho rupanya keberatan dengan si penulis. Ia menilai, dirinya bisa lebih baik dalam menulis cerpen itu,dibandingkan dengan si penulis aslinya.
Kesal dengan si penulis, akhirnya Kho Pin Ho mencoba menuliskan ceritanya sendiri. Ide cerita Kho Pin Ho pun tak pernah jauh dari ketimpangan sosial. Salah satunya, cerpen berjudul ‘Di Bawah Kolong Jembatan’ yang ia tulis untuk majalah Star Weekly pada tahun 1950-an.
ADVERTISEMENT
Cerpennya itu ternyata laku. Membuat ia semakin penasaran dengan kegiatan tulis menulis, hingga kemudian namanya malang melintang di Surabaya Post, Panca Warna, atau Monalisa. Menulis benar-benar membawa berkah bagi dia.
Cerita Silat Kho Pin Ho
Silat adalah denyut nadi dari seorang Kho Pin Ho. Ayahnya, mengajarkan seni bela diri khas Tiongkok kepada anaknya. Kelak, jurus-jurus yang diajarkan ayahnya itu diselipkan ke dalam cerita dia tulis.
Gayung bersambut pada tahun 1959, redaksi Majalah Teratai meminta Kho Pin Ho untuk menulis cerita silat saduran. Kala itu, cerita silat lazim disebut sebagai cersil. Di Majalah Teratai, cersil lazim pula berasal dari kisah-kisah saduran dari penulis Tiongkok.
Lantaran tak bisa berbahasa mandarin, Kho Pin Ho jelas tak bisa menyadur. Namun, bukan Kho Pin Ho jika ia tak putar otak. Alih-alih menyadur, ia justru menuliskan idenya sendiri.
ADVERTISEMENT
Meski sempat diragukan kemampuannya, Kho Pin Ho ternyata mendulang sukses besar.
Cerita pertamanya yang berjudul ‘Pedang Pusaka Naga Putih’ laris manis di pasaran. Sejak saat itulah Kho Pin Ho mulai kebanjiran pesanan dari surat kabar atau majalah untuk menulis cerita.
Cara menulis Kho Pin Ho pun terbilang sederhana dan mudah dipahami. Menurut skripsi berjudul 'Cerita Silat Kho Ping Hoo' (2012) yang ditulis mahasiswa Sastra Indonesia UI Arnita Setiawati, disebutkan bahwa Kho Pin Ho selalu menyelipkan pesan kebajikan yang tak menggurui.
Pesannya universal, tak lekang oleh zaman. Tak terbatas oleh usia, kelas sosial, atau bahkan jenis kelamin pembacanya.
Buku buku Kho Ping Hoo. Foto: Facebook / Cerita Silat Kho Ping Hoo
Menariknya lagi, Kho Ping Hoo tak pernah sekalipun menginjakan kakinya di Tiongkok. Seluruh latar cerita silat Tiongkok yang ia buat bersumber dari buku sejarah dan kebudayaan Tiongkok. Ia lantas mengkritik penguasa dan situasi sosial saat itu dengan meminjam latar dinasti Tiongkok tempo dulu.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang ditunjukan Arnita misalnya, dalam 'Pedang Pusaka Naga Putih', Kho Ping Hoo mengisahkan tentang dua orang pemegang pedang pusaka yang saling jatuh cinta. Keduanya lantas berjuang untuk menurunkan pemerintahan yang semena-mena.
Dikisahkan bahwa ada penguasa dalam kekaisaran Tiongkok yang berlaku tak adil. Kekaisaran yang tak disebutkan namanya itu hanya memikirkan nasibnya sendiri, tanpa memikirkan rakyat kecil.
Tidak cukup di situ, Kho Ping Hoo juga memberikan porsi yang besar bagi perempuan. Dalam karyanya itu, pedenkar perempuan digambarkan memiliki kekuatan silat yang tak kalah dari laki-laki.
Dalam 'Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia' (1996), Leo Suryadinata mencatat bahwa Kho Ping Hooo sekurangnya memiliki 180 judul buku. Jumlah itu belum termasuk cerpennya yang berserakan di sejumlah surat kabar dan majalah waktu itu.
ADVERTISEMENT
Kini, tepat 25 tahun setelah kematian Kho Ping Hoo. Ia meninggal dunia pada 22 Juli 1994 di Surakarta.