Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Pengamat politik yang juga direktur eksekutif konsultan politik Charta Politika, Yunarto Wijaya, berpendapat bahwa langkah agresif NasDem menggaet PKB bukannya tanpa perhitungan, sebab pengaruh PKB cukup kuat di level nasional. Terlebih, elektabilitas partai pimpinan Muhaimin itu belakangan terus menanjak.
Hasil survei Litbang Kompas pada 27 Juli–7 Agustus 2023 menunjukkan bahwa elektabilitas PKB kini menyodok ke peringkat ketiga dengan perolehan suara 7,6%. Ia menyalip Golkar yang mengantongi 7,2% dan Demokrat yang turun ke 7%.
Padahal, dua bulan sebelumnya, Mei 2023, elektabilitas PKB masih 5,5%. Artinya, dalam dua bulan, elektabilitas PKB meningkat 2,1%—membuatnya hanya berada di bawah PDIP (24,4%) dan Gerindra (18,9%).
“Koalisi Anies butuh PKB. Apalagi, meskipun gonjang-ganjing di internal, tetap kuat di level nasional, apalagi di Jawa Timur,” ucap Yunarto, Minggu (3/9).
Pada Pemilu Legislatif 2019, Jawa Timur dikuasai dua partai, yakni PDIP dan PKB. Berdasarkan rekapitulasi KPU, PDIP memperoleh 4,3 juta suara dan PKB 4,2 juta suara di provinsi itu. Sementara partai-partai lain cukup jauh di bawah mereka, tidak ada yang mencapai 4 juta suara seperti PDIP dan PKB.
Selain itu, secara nasional, pada lima pemilu pasca-Reformasi, PKB rata-rata mengantongi perolehan suara di atas 10 juta, dengan rincian: 13,3 juta pemilih pada Pemilu 1999; 12 juta pemilih pada Pemilu 2004, sempat merosot tajam 5 juta pemilih pada Pemilu 2009; kembali melejit dengan 11,3 juta pemilih pada Pemilu 2014; dan terus naik ke 13,5 juta suara pada Pemilu 2019.
Perolehan suara PKB pada Pileg 2019 tercatat dominan di 3 provinsi besar di Pulau Jawa, yakni Jawa Timur (4,3 juta pemilih), Jawa Tengah (2,7 juta pemilih), dan Jawa Barat (1,9 juta pemilih). Inilah yang diyakini bakal menjadi daya dorong signifikan bagi Anies Baswedan yang selama ini, terutama, lemah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Jawa Timur dan Jawa Tengah yang notabene basis NU, ujar Yunarto, adalah target besar yang diincar NasDem dengan menggandeng Cak Imin.
“Dari awal, NasDem selalu ingin agar Anies didampingi orang yang punya kekuatan di Jawa Timur, makanya dulu pernah muncul nama Khofifah,” kata Yunarto.
NasDem memang terus memberi sinyal bahwa cawapres ideal Anies adalah kader NU asal Jawa Timur. Pun, pada 10 Agustus kemarin, di tengah safari politiknya ke Surabaya, Anies menerima usulan 5 nama cawapres dari kiai NU, yakni Muhaimin, AHY, Yenny Wahid, Khofifah Indar Parawansa, dan Mahfud MD.
Dari kelima nama itu, seluruhnya kader NU kecuali AHY.
Pada akhirnya, elektabilitas partai di Jateng dan Jatim menjadi pertimbangan utama NasDe, di atas elektabilitas cawapres. Bila hanya menilik elektabilitas pendamping, AHY tentu lebih unggul ketimbang Muhaimin. Hasil survei SMRC pada Juni 2023, misalnya, menunjukkan AHY adalah cawapres paling favorit untuk Anies (16,7%).
Namun, dalam hitung-hitungan politik NasDem—sebagai partai yang paling awal mendeklarasikan dan menyokong kampanye Anies—elektabilitas capwares bukan segala-galanya.
Mencoba Merebut Hati Nahdliyin
PKB hingga kini terus mendengungkan diri sebagai partainya warga NU. Beberapa pekan sebelum Anies dan Muhaimin bersanding, misalnya, eks Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menyebut PKB lahir dari pemikiran warga NU.
“Partai yang lahir dari NU adalah PKB—resmi tanda tangan Rais ‘Aam Syuriyah dan Ketum Gus Dur, bahwa PKB adalah partainya warga NU. [Jadi] seharusnya warga NU memilih PKB,” ucap Said Aqil, Minggu (12/8).
Maka, tak mengherankan bila dalam Deklarasi Anies-Muhaimin Capres-Cawapres 2024 di Hotel Majapahit, Surabaya, Sabtu (2/9), keduanya menutup pidato dengan salam khas NU: wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq (Allah adalah zat yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya.
Meski demikian, pada hari yang sama dengan deklarasi itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa NU tidak berpolitik praktis.
“Soal sikap sudah saya sebutkan berulang kali. Saya tegaskan sekali lagi di sini: tidak ada calon [presiden] atas nama NU. Saya ulangi ya: tidak ada calon atas nama NU,” kata Gus Yahya di Kantor PBNU.
Ia mengingatkan, berdasarkan Muktamar PBNU, NU tidak terlibat dalam politik praktis, karena gerakannya murni sebagai organisasi keagamaan masyarakat. Hal ini diamini Said Aqil, dengan catatan:
Dua hari usai deklarasi Anies-Muhaimin, Senin malam (4/9), Ketum PBNU Gus Yahya terlihat menemui Presiden Jokowi di Istana. Ia tak sendirian, melainkan bersama sejumlah petinggi PBNU.
Menurut Gus Yahya, ia hendak mengantarkan surat undangan untuk Jokowi guna menghadiri pembukaan Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU yang akan berlangsung pertengahan September ini di Pondok Pesantren Al Hamid, Cilangkap, Jakarta Timur, dengan kehadiran 600 ulama NU.
Secara terpisah, sumber kumparan menyebut bahwa Jokowi terkesan tak gembira dengan duet Anies-Muhaimin. Ia berkata, “Dengan rencana pemanggilan Cak Imin oleh KPK, [Jokowi kelihatan] marah atau happy?”
Sumber lain di lingkup PKB mengatakan, Cak Imin menyadari risiko politik yang ia hadapi, termasuk rencana pemeriksaannya sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan sistem protektor TKI di Kemnaker pada hari ini, Selasa (5/9). Ketika itu, Cak Imin menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja.
“Kalau tidak mau punya risiko, jangan jadi politisi, apalagi ketua partai. Dan kami berprasangka baik kepada KPK,” ujar sumber itu.
Sementara Jokowi sendiri usai pertemuannya dengan Ketua NasDem Surya Paloh, Kamis (31/8), menegaskan bahwa ia tidak mencampuri urusan partai.
Satu hal yang mungkin perlu dicermati Muhaimin dalam memuluskan jalannya dengan Anies adalah menyelesaikan PR-nya, termasuk merangkul jejaring Gusdurian (kelompok pengagum pemikiran Gus Dur) yang terluka sejak Muktamar PKB 2005, periode puncak perselisihan PKB ketika Cak Imin—yang notabene keponakan Gus Dur—mengambil alih PKB dari pamannya itu setelah ia terpilih sebagai Ketua Umum.
Hingga kini, beberapa kali Yenny Wahid (putri Gus Dur) dan Cak Imin terlibat cekcok di medsos. Cak Imin pernah menyindir Yenny—yang bukan kader PKB—gagal membuat partai dan mengelolanya. Yenny dulu pernah mendirikan Partai Kedaulatan Bangsa yang kemudian melebur dengan partai lain, namun tak lolos verifikasi Kemenkumham.
Menanggapi sindiran itu, Yenny membalas Cak Imin dan menyebutnya “mengambil partai orang lain”. Sampai sekarang, perseteruan antar-sepupu ini belum berakhir.
“PKB secara kultural masih sering dianggap loyal kepada nama besar Gus Dur. Jaringan Gusdurian dalam Pileg masih mungkin memlih PKB, tapi dalam konteks Pilpres, sulit karena ada proses rekonsiliasi yang belum selesai,” ujar Yunarto.
PR berikutnya bagi koalisi Anies adalah menyatukan PKB dan PKS yang selama ini kerap berseberangan secara kultural.
“Tidak mudah menyatukan kekuatan basis PKB dan PKS, karena mereka—walaupun sama-sama partai Islam—punya spektrum yang dianggap berbeda,” tutup Yunarto.