Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
ADVERTISEMENT

Kolom agama sebagai dokumen kependudukan yang tertulis di KTP dipermasalahkan. Undang Undang Administrasi Kependudukan diuji ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus kolom agama di KTP. Rangkaian pembahasan akan segera berakhir seiring sidang terakhir yang dilangsungkan pada Rabu (3/5) dan tinggal menunggu putusan para Hakim Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Kartu Tanda Penduduk merupakan dokumen pencatatan kependudukan utama bagi setiap penduduk Indonesia. Kolom-kolom di bagian depannya menentukan bagaimana negara melihat warganya yang kemudian berimplikasi pada jalannya pelayanan publik.
Agama telah masuk dalam data perseorangan sejak SK Menteri Dalam Negeri tahun 1974. Aturan ini berlanjut melalui UU Administrasi Kependudukan tahun 2006 dan UU perubahan tahun 2013.
Agama yang dimasukkan dalam dokumen tersebut merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Sehingga, kepercayaan selain yang diakui negara tidak akan dimasukkan ke kolom KTP.
Tuntutan ini dilayangkan oleh empat pemohon yaitu Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim. Keempat warga ini menggugat Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 UU Administrasi Kependudukan tentang kolom agama dalam dokumen administrasi lewat Perkara nomor 97/PUU-XIV/2016. Sebagai penganut kepercayaan di luar enam agama resmi, keempat pemohon mengaku merasa terdiskriminasi.
ADVERTISEMENT

Fenomena penghayat kepercayaan di luar enam agama resmi masih banyak terjadi. Indonesia memiliki kepercayaan warisan leluhur yang jumlahnya tidak sedikit. Keempat pemohon memeluk kepercayaan warisan leluhur yang masih banyak diikuti di berbagai daerah di Nusantara.
Nggay sebagai Pemohon I adalah penganut kepercayaan Marapu berasal dari Sumba Timur. Pagar sebagai Pemohon II merupakan pemeluk kepercayaan Parmalim dari Sumatera Utara. Sedangkan Pemohon III yaitu Arnol memiliki kepercayaan Ugomo Bangso Batak di Kota Medan. Dan Carlim selaku Pemohon IV adalah pengikut Sapto Darmo.
Dalam sidang perdana pada 10 November 2016, kuasa hukum pemohon Fatiatulo Azira menjelaskan bahwa pengajuan uji Undang Undang ini didasari bahwa KTP dan pencatatan sipil lainnya tidak mengakui penganut kepercayaan lainnya. “Ini merupakan pasal yang diskriminatif terhadap para penghayat atau bagi penganut agama yang belum diakui oleh negara melalui perundang-undangan,” tutur Fatiatulo.
ADVERTISEMENT
Salah satu pemohon, Carlim, menceritakan pengalaman ketika menerima diskriminasi karena memiliki agama yang berbeda. Carlim yang berasal dari Jawa Tengah adalah penghayat kepercayaan Carlo Darmo mengaku dipersulit oleh aturan kolom agama ketika mengurus dokumen kependudukan.
“Tapi setelah mengetahui KTP-nya kosong, saya sebagai agama ... warga Sapta Dharma dianggap orang yang sesat, orang yang tidak beragama, tidak berketuhanan. Dan akhirnya pemakaman tersebut ditolak karena masalah kolom agama kosong,” terang Carlim.
Merespons para Pemohon, Hakim Konstitusi menyoroti tentang kerugian konstitusional yang diakibatkan peraturan ini.
Sementara pemerintah menolak anggapan bahwa pemberlakuan kolom agama adalah bentuk diskriminasi. Hotman Sitorus selaku perwakilan pemerintah berujar bahwa Undang-Undang tetap memperbolehkan pada para penganut kepercayaan lain melalui pengosongan pada kolom agama.
ADVERTISEMENT
“Ketika Pemerintah melayani Para Pemohon, melayani warga negaranya dengan sama bahwa ada yang kosong, tetapi undang-undang telah menentukan bahwa yang kosong itu adalah penganut kepercayaan. Apakah itu masih dapat dikategorikan diskriminasi pada level undang-undang ini?” ucap Hotman mewakili pemerintah dalam sidang keempat yang digelar Rabu (22/2).
Namun pihak pemohon tetap pada pendiriannya. Saksi demi saksi yang diajukan pihak Pemohon terus mengembangkan narasi bahwa pemberlakuan kolom agama menafikkan keberagaman yang ada di Indonesia.
Pada Sidang hari Rabu (22/2), pengamat kebijakan publik Budi Santoso menuturkan bahwa kehadiran kolom agama di KTP justru menimbulkan pelayanan publik yang diskriminatif.
“Akhirnya, lagi-lagi tindakan diskriminasi harus dialami oleh penghayat kepercayaan, sebagaimana yang dialami oleh para pemohon yang data kolom agamanya kosong atau tanda strip sehingga mereka tak bisa menikmati akses pelayanan publik,” ujar Budi.
ADVERTISEMENT
Perdebatan cukup sengit kemudian menjadi penutup rangkaian sidang. Pada persidangan terakhir pada Rabu, (3/5), hakim konstitusi mempertanyakan substansi antara label agama dan ketatanegaraan. Hakim Konstitusi yang baru saja diangkat, Saldi Isra, mengungkapkan bagaimana seharusnya pemberlakuan kolom KTP agar dapat mengakomodir para penghayat kepercayaan.
“Nah, jadi fenomena-fenomena itu kalau diangkat jadi norma, orang hukum akan pusing sendiri. Mana yang bisa dijadikan norma sehingga dia bisa menampung apa yang diinginkan oleh Pemohon?” ujar Saldi.

Pertanyaan tersebut diajukan saksi ahli yang dihadirkan pemohon yaitu Samsul Maarif yang merupakan peneliti Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada berujar, pemberlakuan agama resmi tidak terlepas dari politik agama di Indonesia. Samsul berujar bahwa meski hanya berbentuk fisik, kolom agama di KTP memiliki implikasi dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Penerbitan peraturan yang telah lama terjadi di Indonesia yang kemudian menunjukkan kewenangan negara mengatur agama penduduknya dengan memisahkan apa itu agama dan apa itu kepercayaan.
“Apa yang dilakukan hari ini dengan Undang-Undang Adminduk, itu tetap melanggengkan stigma sosial. Bahkan yang stigma sosial ini menjadi norma sosial, bahkan menjadi norma hukum yang dipakai untuk mempertimbangkan bisakah warga negara ini dilayani atau tidak,” ujar Samsul.
Meski melakukan telah diatur dan melakukan pengosongan, Samsul tetap menyebutkan bahwa upaya tersebut adalah diskriminasi. “Negara mendiskriminasi, jelas sekali pengosongan itu mendiskriminasi karena dikosongkan, tidak dibiarkan untuk menegaskan identitasnya sebagai warga negara.”
Sidang ini merupakan yang terakhir untuk menggali keterangan terakit perkara kolom agama di KTP. Selanjutnya, sidang pembacaan kesimpulan akan berlangsung pada Jumat 12 Mei 2017.
ADVERTISEMENT
