Mengintip Proses Mengukir Inai di Pekan Kebudayaan Aceh

9 Agustus 2018 17:23 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah peserta mewakili Kabupaten/kota di Aceh mengikuti perlombaan Boh Gaca (mengukir inai) dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Museum Aceh, Kamis (9/8). (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah peserta mewakili Kabupaten/kota di Aceh mengikuti perlombaan Boh Gaca (mengukir inai) dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Museum Aceh, Kamis (9/8). (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sebanyak 16 peserta mewakili kabupaten/kota di Aceh mengikuti perlombaan Boh Gaca (mengukir inai/henna) di Museum Aceh, Kamis (9/8).
ADVERTISEMENT
Ajang ini bertujuan untuk memperkenalkan budaya terhadap seorang pengantin yang hendak menikah. Perlombaan tersebut merupakakan serangkaian acara dalam rangka memeriahkan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII yang berlangsung 5-15 Agustus 2018.
Dalam perlombaan ini masing-masing daerah mengirimkan perwakilan 5 orang peserta. Seorang menjadi peraga mempelai wanita (pengantin) berbaring di kasur yang telah disediakan, sementara empat lainnya menjadi pengukir inai. Sistem perlombaan, setiap peserta diharuskan menampilkan keterampilan dan kerapian mereka dalam mengukir inai sesuai ciri khas daerahnya.
Sejumlah peserta mewakili Kabupaten/kota di Aceh mengikuti perlombaan Boh Gaca (mengukir inai) dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Museum Aceh, Kamis (9/8). (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah peserta mewakili Kabupaten/kota di Aceh mengikuti perlombaan Boh Gaca (mengukir inai) dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Museum Aceh, Kamis (9/8). (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Ketua tim penjurian inai, Mughfirah, menjelaskan, sejarah inai masuk ke Aceh akibat pengaruh budaya dari Arab, China, Eropa, dan Hindia. Pengaruh budaya dari negara ini kemudian mewarnai kehidupan masyarakat di Aceh.
“Perpaduan dari negara-negara inilah yang membawa seni ukir inai pada pengantin di Aceh,” ujar Mughfirah.
ADVERTISEMENT
Seorang peserta mewakili Kabupaten/kota di Aceh mengikuti perlombaan Boh Gaca (mengukir inai) dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Museum Aceh, Kamis (9/8). (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang peserta mewakili Kabupaten/kota di Aceh mengikuti perlombaan Boh Gaca (mengukir inai) dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Museum Aceh, Kamis (9/8). (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Kendati demikian, setiap daerah di Aceh memiliki ciri khas ukiran masing-masing. Setiap ukiran itu pula memiliki arti tersendiri. Dia mencontohkan, seperti Aceh Barat terkenal dengan Bungong Awan Sion, dan Awan Meucanek.
Kemudian di Banda Aceh terkenal dengan Pinto Aceh (Pintu Aceh). Begitu juga di Aceh Singkil, mereka mempunya ciri khas motif yang sangat memberikan makna bagi kehidupan masyarakatnya yaitu gambar cincin Nabi Sulaiman.
Sejumlah peserta mewakili Kabupaten/kota di Aceh mengikuti perlombaan Boh Gaca (mengukir inai) dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Museum Aceh, Kamis (9/8). (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah peserta mewakili Kabupaten/kota di Aceh mengikuti perlombaan Boh Gaca (mengukir inai) dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Museum Aceh, Kamis (9/8). (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
“Begitu juga di Aceh Tenggara seni ukir mereka memiliki ciri khas berbentuk lingkaran bulat. Mereka memaknai lambang tersebut sebagai Tuha Peut (perangkat adat). Dalam kehidupan masyarakat itu ada Tuha Peut yang meluruskan berbagai masalah dalam kehidupan di tengah masyarakat yang berkonflik,” tutur Mughfirah.
"Di sisi lain, melihat dari sejarah masa Nabi Ibrahim pembuatan inai ini berawal dari Siti Sarah istri pertama beliau. Di mana pada saat itu, tangannya dilumuri inai agar terlihat menarik dan setelah diukir ternyata Siti Sarah tampil mempesona."
ADVERTISEMENT
"Jadi sejarah itulah mengapa seorang pengantin yang hendak dinikahkan diberikan inan agar terlihat lebih mempesona,” tutur Mughfirah.