Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Mengolah Limbah Batik Agar Tak Mencemari Sungai
26 Februari 2017 17:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Setelah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-bendawi oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009, peminat batik semakin meningkat. Jika dulu batik hanya digunakan sebagai bagian dari ritual budaya, saat ini batik sudah mulai merambah ke dunia fesyen dan benda guna lainnya.
ADVERTISEMENT
Sayang, seiring dengan perkembangan, meningkatnya permintaan pasar membuat perajin batik terpaksa beralih ke pewarna sintetis alih-alih menggunakan pewarna alam. Tidak hanya pewarna, proses pembuatan batik yang panjang terpaksa dipotong untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan cara menggunakan teknik printing menggunakan malam/lilin dingin.
"Justru, proses kimiawi itulah yang akhirnya menimbulkan limbah yang mencemari lingkungan," ujar Slamet Purwanto, salah satu pengelola Rumah Batik TBiG saat memberikan presentasi di depan rombongan YCAB di Rumah Batik TBiG, Desa Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, Jumat (24/2).
Dalam presentasinya, ia juga menjelaskan tentang proses pengolahan limbah yang sedang dikembangkan di Rumah Batik. Pihaknya sadar, meski produksi batik meningkat, namun tidak akan ada artinya jika menimbulkan imbas buruk bagi lingkungan.
ADVERTISEMENT
"Bahkan, di Pekalongan, indikasi kesuksesan industri batiknya dilihat dari sungainya. Jika sungainya keruh, berarti industri batiknya sedang baik," ujar Pur, panggilan akrab pria 32 tahun ini.
Sistem pengolahan limbah yang diberi nama IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) ini terletak di halaman depan Rumah Batik, tepat bersebelahan dengan area pelorotan (pemisahan malam/lilin dari kain). Pertimbangannya, proses pelorotan adalah proses yang menyumbangkan limbah terbesar karena tidak hanya malam/lilin saja yang terlepas dari kain, tetapi juga sedikit lunturan zat pewarna dan soda ash yang digunakan dalam proses pelorotan.
Dengan IPAL, air limbah sisa pelorotan akan dialirkan ke bak penyaringan malam/lilin padat dan perangkap minyak serta pengendapan yang kemudian akan dilanjutkan ke bak penampungan limbah cair. Limbah cair tersebut akan dialirkan lagi melalui empat bak penyaringan sebelum akhirnya masuk ke bak penampungan air bersih dan sisa limbah cair yang terletak di bagian bawah tempat penjemuran kain.
ADVERTISEMENT
Selain mengembangkan sistem pengolahan limbah, Rumah Batik juga mengembangkan penggunaan pewarna alam dengan membuat taman pewarna alam. Berbagai macam tanaman penghasil warna seperti secang dan indigofera ada di taman tersebut.
Saat ini, pewarna alam belum bisa mengalahkan pewarna sintetis karena pembuatannya membutuhkan waktu yang relatif lama dan membutuhkan ketelatenan yang tinggi. Selain itu, pewarna alam tidak dapat menghasilkan warna yang benar-benar sama. Sehingga, tidak mungkin ada dua kain yang sama jika menggunakan pewarna alam.
"Daun Indigo ini harus direndam dulu dengan air kapur, difermentasi dulu. Untuk pewarnaannya, bisa sampai dua puluh kali lebih proses pewarnaan. Tergantung warna yang ingin didapatkan," ujar Rusdianto, pengajar Teknik Pembatikan di Rumah Batik TBiG.
ADVERTISEMENT
Untuk ke depannya, ia berharap siswa-siswinya tidak hanya menjadi pengusaha batik yang kreatif dan terus berinovasi mengembangkan batik sebagai warisan leluhur. Tetapi juga pengusaha batik yang senantiasa memperhatikan lingkungannya dengan memanfaatkan teknik pengolahan limbah.