Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Foto ini mungkin mengganggumu, apakah tetap ingin melihat?
Jumat malam, 8 Juli 2022, Mahareza Hutabarat menerima panggilan genting. Mahareza yang bertugas sebagai anggota Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri, diminta menghadap Karo Provos Divisi Propam Mabes Polri, Brigjen Pol Benny Ali, di RS Polri Kramat Jati, Jakarta. Mahareza hanya diberi tahu bahwa kakaknya yang juga anggota Polri, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, tewas.
Ia pun bergegas menuju RS Polri. Di sana, ia telah ditunggu Brigjen Benny Ali serta dokter forensik. Mahareza yang belum melihat jenazah Yosua, tiba-tiba disodori sebuah kertas yang ditengarai sebagai surat persetujuan autopsi . Mahareza diminta menandatangani surat tersebut.
“Apakah sudah diautopsi atau tidak, dia [Reza] tidak tahu. Yang dia [Reza] tahu hanyalah menandatangani kertas, kemudian setelah ditandatangani, keluarlah abangnya [Yosua] sudah di dalam peti,” ucap pengacara keluarga almarhum Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, pada kumparan. Sabtu, (23/7).
Dalam konferensi pers pada 12 Juli, Kapolres Jakarta Selatan saat itu (kini nonaktif), Kombes Pol Budhi Herdi Susianto, menyatakan berdasarkan hasil autopsi sementara RS Polri, Yosua tewas karena luka tembak. Ia ditembak Bharada E, rekannya sesama ajudan Kadiv Propam nonaktif Irjen Pol Ferdy Sambo., pada Jumat sore, 8 Juli.
Kombes Budhi Herdi menyebut dari 5 peluru yang dimuntahkan Bharada E, “Ada 7 luka tembak masuk dan 6 luka tembak keluar, dan 1 proyektil bersarang di dada [Yosua]” kata Kombes Budhi.
Saat berada di RS Polri, Mahareza sempat meminta untuk bisa melihat jasad Yosua. Peti kemudian dibuka dan Mahareza melihat jenazah Yosua yang sudah dipakaikan seragam. Dalam sebuah peti, jenazah Yosua diterbangkan ke rumah duka di Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, pada Sabtu (9/7) siang.
Saat acara serah terima jenazah pada Sabtu (9/7) malam, orang tua Yosua ingin melihat tubuh anaknya. Namun perwakilan Polri yakni Pemeriksa Utama Divisi Propam Polri, Kombes Leonardo Simatupang, menyatakan hal itu tak perlu. Sebab jenazah Yosua sudah diautopsi.
“Kalau diautopsi, sudah dicek satu per satu dan hasilnya ada di rumah sakit. Kalau ada keberatan dari keluarga, silakan ke Jakarta datangi rumah sakit.” kata Kombes Leo Simatupang. Di sisi lain ibu Yosua, Rosti Simanjuntak, berkukuh ingin melihat jenazah putranya.
Pengacara keluarga Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, mengatakan meski jenazah Yosua sudah diserahkan kepada pihak keluarga, sejumlah personel polisi tetap berjaga di tempat.
“Sejak diberikan ini pun tetap ditungguin mayatnya sampai dikubur. Dijagain terus supaya enggak dibuka petinya,” ucap Kamaruddin.
Keesokan harinya, Minggu (10/7), keluarga Yosua memanggil tenaga kesehatan untuk menambah formalin pada jasad Yosua. Penambahan formalin diperlukan untuk mengawetkan jenazah Yosua yang baru dimakamkan pada Senin (11/7) siang.
Saat menambah formalin, kata Kamaruddin, sejumlah polisi yang berjaga diminta keluar rumah. Di momen itulah menurut Kamaruddin, keluarga melihat tubuh jenazah seutuhnya -kecuali di bagian kelamin- dan mendokumentasikannya. Dari dokumentasi berupa foto dan video, keluarga menemukan beberapa luka sayat dan lebam di jasad Yosua.
Keluarga mempertanyakan hasil autopsi dan penjelasan Polri. Mereka menduga kuat Yosua mengalami penganiayaan, tak hanya luka tembak.
Keluarga menemukan sejumlah luka sayat di jenazah Yosua seperti bekas sayatan di bibir, sayatan di hidung, sayatan di bawah mata, sayatan di belakang telinga, pundak hancur, bekas peluru di tangan dan dada, 2 jari putus, dan luka tusuk di bawah betis. Selain itu ada pula lebam biru di perut bagian rusuk kanan dan kiri.
“Inilah yang membuat keluarga menjadi curiga atau tidak percaya dengan penjelasan Karopenmas bahwa ini adalah tembak-menembak,” kata Kamaruddin.
Lantas bagaimana tahapan autopsi?
kumparan menemui Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK-UI, Dr. dr. Ade Firmansyah Sugiharto, SpFM(K), yang sudah berpengalaman melakukan autopsi jenazah.
Tahapan autopsi dimulai dengan surat permintaan visum yang diajukan penegak hukum kepada dokter forensik. Dokter forensik kemudian mencocokkan identitas jenazah dengan surat permintaan visum.
Setelah cocok, dokter forensik selanjutnya memeriksa bagian luar jenazah dari ujung kepala sampai kaki. Pemeriksaan luar memuat 3 hal yakni tanda-tanda kematian; temuan identifikasi; dan mencatat luka-luka. Dalam pemeriksaan luar, dokter forensik juga mengambil sampel darah maupun urine jenazah.
“Semua luka-luka harus diperiksa, dicatat, dan didokumentasikan baik fotografi maupun videografi,” ucap Ade pada kumparan, Kamis (21/7).
Usai pemeriksaan luar, dokter forensik membedah mayat berdasarkan temuan luka-luka di tubuh jenazah. Saat membedah, dokter forensik harus memiliki gambaran luka yang bisa mengenai organ-organ fatal seperti di kepala yang bisa mengenai otak atau dada yang bisa mengenai paru-paru maupun jantung.
Setelah membedah mayat dan menjahitnya kembali, dokter forensik mencatat hasil autopsi yang memuat luka-luka yang ditemukan, penyebab kekerasan, penyebab kematian, serta perkiraan waktu kematian. Dokter forensik kemudian menyerahkan surat hasil autopsi kepada penyidik.
“Visum et repertum itu pro justitia, hanya diberikan kepada penyidik yang meminta visum. Kalau ke keluarga hanya surat kematian [memuat] identitas, waktu pemeriksaan, dan penentuan penyebab kematian berdasarkan bedah mayat,” jelas Ade.
Pengacara keluarga Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, menolak hasil autopsi RS Polri lantaran tak sesuai kenyataan dan pihak keluarga tidak pernah memberikan izin. Surat izin autopsi yang diteken Mahareza di RS Polri, diduga disodorkan dan ditandatangani setelah autopsi selesai. Kondisi tersebut disinyalir melanggar Pasal 134 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
Namun menurut Ade Firmansyah, sesuai Pasal 133 KUHAP, penyidik berwenang mengajukan permintaan autopsi tanpa izin dari keluarga.
“Yang memiliki wewenang untuk bedah mayat adalah penyidik, di dalam KUHAP demikian. Keluarga punya hak untuk mengajukan keberatan, namun dikabulkan atau tidak kewenangan penyidik. Karena dalam menangani barang bukti forensik dihadapkan pada waktu, semakin cepat semakin baik,” kata Ade Firmansyah.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, berpendapat autopsi Yosua yang dituding sebagai pelaku pengancaman dan pelecehan juga tak wajar. Dari kebiasaan yang ia amati, pelaku tindak pidana jarang diautopsi. Apalagi sejak awal, sudah muncul narasi Yosua tewas karena tembak menembak.
Pertanyaan mengemuka, jika Yosua tewas murni karena tembak menembak, masihkah perlu autopsi? Apakah autopsi untuk mendeteksi dugaan luka kekerasan lain di tubuh Yosua? Adakah luka penganiayaan saat hasil autopsi?
Menjawab berbagai pertanyaan tersebut, kumparan mendatangi RS Polri pada 21 dan 22 Juli untuk menemui dokter forensik yang mengautopsi jenazah Yosua. Polri belum menyebut siapa dokter forensik yang mengautopsi Yosua. Namun dari sertifikat pengawetan jenazah yang diterima keluarga Yosua, dokter yang menandatangani adalah Kepala Forensik RS Polri, Arif Wahyono.
Selama 2 hari di RS Polri, Arif Wahyono tak ada di tempat. Melalui pesan WhatsApp, Arif mengakui menandatangani sertifikat pengawetan jenazah atau embalming. Namun ia tidak tahu siapa dokter yang mengautopsi jenazah Yosua. Arif meminta kumparan bertanya ke Kepala RS Polri. “Saya lagi sakit,” ucap Arif.
kumparan kemudian menemui Kabag Humas RS Polri, AKBP Wulan, untuk meminta penjelasan soal autopsi jenazah Yosua. Namun AKBP Wulan disebut tidak bersedia memberi pernyataan apa pun terkait kasus Yosua. Begitu pula Kepala RS Polri, Brigjen Pol Haryanto.
“Langsung ke Mabes Polri saja,” kata AKBP Wulan melalui asistennya.
Tak adanya penjelasan dari RS Polri lantaran hasil autopsi Brigadir Yosua akan disampaikan secara utuh. Sumber kumparan menyatakan hasil autopsi RS Polri rencananya disampaikan pada Senin, 25 Juli, di Komnas HAM.
Hasil autopsi akan memaparkan penyebab luka-luka di jasad Yosua, termasuk menjawab mengapa jari manis dan jari kelingking Yosua putus.
Sebelumnya seorang sumber menyebut menemukan barang bukti di lokasi yang ditengarai sebagai alat untuk memotong jari Yosua, yakni pemotong cerutu atau cigar cutter. Namun dari hasil autopsi RS Polri, dua jari Yosua putus karena terkena alur peluru.
Tak mendapat penjelasan dari RS Polri, kumparan meminta analisis ahli radiologi forensik dari RSCM, Dr. dr. Prijo Sidipratomo, SpRad(K), mengenai luka-luka di jasad Yosua berdasarkan foto-foto yang dimiliki keluarga.
kumparan menunjukkan foto bagian perut kanan dan kiri Yosua di mana terdapat bagian yang membiru. Prijo menyebut, lebam biru lumrah terjadi di setiap jenazah yang kematiannya lebih dari 24 jam atau biasa disebut lebam mayat. Ini disebabkan mengendapnya darah. Lebam mayat biasanya terletak di bagian dasar atau belakang tubuh. Namun apabila lebam biru bukan di area dasar atau belakang tubuh, kemungkinan karena adanya kekerasan.
“Kalau lebam biru di atas samping [seperti di foto], sangat mungkin itu lebam karena rudapaksa,” ucap Prijo.
kumparan lalu menunjukkan foto luka bolong di bagian dada kanan jenazah Yosua. Prijo menyebut luka tersebut kemungkinan besar luka tembak. Sedangkan mengenai beberapa luka seperti sayatan di wajah Yosua, Prijo menilai kemungkinan bukan luka sayat. Berdasarkan pengalamannya, luka sayat biasanya memanjang. Namun beberapa luka di wajah Yosua, kemungkinan lantaran luka lainnya.
“Ini bukan seperti luka sayat, tetapi seperti kejadian rudapaksa entah karena pukulan benda tumpul atau tangan yang keras,” kata Prijo.
Selain itu, kumparan menunjukkan foto seperti jahitan di belakang telinga kiri Yosua. Dari pengamatan sekilas, Prijo menilai bisa jadi luka tersebut karena sayatan. Ia melihat ada 5 simpul jahitan di belakang telinga kiri Yosua
“Kalau yang memerlukan jahitan biasanya lukanya agak dalam,” ucapnya.
Adapun mengenai jahitan di bawah dagu serta luka di dekat pergelangan kaki, Prijo tak bisa memberikan pendapat karena gambar yang kurang jelas.
Sementara itu Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK-UI, Ade Firmansyah, enggan menganalisa luka di jenazah Yosua berdasarkan foto yang dimiliki keluarga.
“Jenazah yang sudah mengalami embalming [pengawetan] dan sudah diautopsi kalau saya komentari akan menimbulkan bias. Yang sahih ketika melihat bagaimana kondisinya saat awal pemeriksaan...Itu kondisi yang sebenarnya,” kata Ade.
Meski demikian, Ade memiliki catatan tersendiri soal luka sayatan pada sejumlah jenazah yang diautopsi, khususnya karena luka tembak. Menurut Ade, luka sayat pada jenazah yang diautopsi tidak selalu menunjukkan penganiayaan. Sebab dokter forensik bisa saja melakukan eksplorasi di beberapa bagian tubuh lainnya untuk mengetahui alur peluru atau kerusakan organ yang diakibatkan kekerasan.
“Saat bedah mayat, [dokter forensik] lazim melakukan sayatan-sayatan di tempat lain, tidak hanya di bagian depan tubuh. Tujuannya untuk eksplorasi, mencari apa kelainan-kelainan yang terjadi akibat kekerasan. Dalam kasus pidana kita perlu mencapai level tingkat pembuktian yang beyond reasonable doubt atau tidak ada lagi keragu-raguan,” jelas Ade Firmansyah.
Perlunya tingkat pembuktian beyond reasonable doubt pula yang diyakini diterapkan di kasus Yosua. Sehingga sekalipun Yosua disebut tewas karena luka tembak, tetap dibutuhkan autopsi untuk membuktikannya.
“Setiap kematian yang mencurigakan atau bahkan luka tembak diperlukan autopsi untuk memastikan penyebab kematian. Tanpa adanya autopsi tidak akan mungkin bisa menentukan, pasti banyak keragu-raguan. Tanpa autopsi misalnya, apa betul luka tembak di dada yang mengakibatkan kematian? apakah betul menembus paru dan menimbulkan pendarahan?” jelas Ade.
Jenazah Yosua Diautopsi Ulang
Keraguan keluarga bahwa Yosua tewas hanya karena luka tembak memunculkan permintaan autopsi ulang. Autopsi ulang untuk menjawab dugaan apakah Yosua tewas murni karena luka tembak atau ada unsur penyiksaan.
Dalam sebuah gelar perkara yang di Mabes Polri pada Rabu (20/7) sore, tim khusus bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyetujui permintaan autopsi ulang jenazah Yosua. Autopsi ulang dilakukan di Jambi pada Rabu, 27 Juli. Namun sebelum itu, hasil autopsi awal Brigadir Yosua di RS Polri rencananya disampaikan pada Senin, 25 Juli, di Komnas HAM.
Prijo Sidipratomo mengusulkan, sebelum autopsi ulang dengan bedah mayat, jenazah Yosua sebaiknya lebih dahulu diperiksa dengan CT Scan. “Bisa melihat apakah ada patah tulang atau tidak,” kata Prijo.
Menurut Prijo, prosedur autopsi yang dimulai dengan CT Scan sudah diterapkan di banyak negara seperti Swiss, Jepang, Australia, Belanda, dan Prancis. CT Scan bisa menghasilkan gambar organ secara detail seperti di kepala, dada, perut, lutut, hingga tulang belakang.
Gambar CT Scan bisa memperkuat hasil autopsi melalui bedah mayat. Namun apabila sekadar bedah mayat, hasil autopsi rawan dipertanyakan lantaran hanya berdasarkan sumpah dokter forensik.
“Kalau dokter forensik enggak dipercaya, kita gak punya data dasar lainnya. Data dasar ya pekerjaan dia [dokter forensik] saja. Tapi kalau ada gambaran CT Scan, itu data dasar yang enggak bisa diintervensi,” kata Prijo.
Ade Firmansyah mengamini penggunaan CT Scan semakin memperkuat hasil autopsi. Namun sejauh ini, PDFI belum mewajibkannya karena alatnya yang belum tersebar ke seluruh Indonesia.
“Organisasi profesi kami belum menetapkan itu, karena kami harus menetapkan yang bisa dilaksanakan di semua tempat, bukan hanya Jakarta,” ucap Ade.
Dalam kasus Yosua, autopsi ulang akan melibatkan dokter forensik dari berbagai pihak. Seperti RS Polri, RSCM, Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), serta mengundang dokter-dokter forensik dari beberapa RS TNI. Keluarga berharap autopsi ulang bisa membuat terang penyebab tewasnya Brigadir Yosua.