Menguji Jaket Pelampung yang Dijual Bebas di Pasaran

3 Januari 2017 20:25 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
33
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Simulasi korban dengan jaket pelampung (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Simulasi korban dengan jaket pelampung (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Menhub Budi Karya Sumadi menyatakan jaket pelampung di KM Zahro Express tidak sesuai standar. Bagaimana sebenarnya jaket pelampung yang standar? Apakah benar-benar bisa membantu saat terjadi kecelakaan?
ADVERTISEMENT
Baju penolong atau jaket pelampung atau yang juga sering disebut dengan jaket keselamatan (life jacket) menjadi elemen wajib dalam sebuah kapal penyeberangan. Keberadaannya bahkan diatur secara khusus oleh Peraturan Menteri Nomor 25 tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap kapal penyeberangan wajib memiliki jaket pelampung.
Pelampungnya pun tidak sembarangan. Aturan yang sama menegaskan bahwa ada kriteria tertentu terkait jaket pelampung yang dapat dipergunakan. Kriteria tersebut adalah:
1. Terkait jaket pelampung.
ADVERTISEMENT
2. Baju penolong harus memiliki penerangan.
3. Baju penolong harus memiliki peluit.
Selain tiga aturan tersebut, peraturan yang ditetapkan oleh Mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan tersebut juga mewajibkan sebuah kapal penyeberangan memiliki jaket pelampung berjumlah 125% dari pelayar. Jadi, misalkan di pelayaran Zahro Express yang lalu berisi 247 orang, harus ada sekitar 308 jaket pelampung atau life jacket yang tersedia di kapal.
Baju Penolong atau sering disebut Life Jacket (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Baju Penolong atau sering disebut Life Jacket (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
Mengapa Jaket Pelampung Tidak Dipakai?
ADVERTISEMENT
Tim dari kumparan menyelidiki tentang jaket pelampung dalam pelayaran kapal-kapal di Muara Angke. Salah satu ABK Kapal Dolphin -- sebuah kapal kapal kayu rute Muara Angke-Tidung -- menyebutkan bahwa penumpang sendirilah yang kadang mengeyel.
"Sudah disuruh, dan sering diingatkan. Tapi penumpang tetap tidak mematuhi," kata pria berumur 32 tahun yang nyaman dipanggil dengan sebutan Bang Doy.
Penumpang kapal menggunakan pelampung (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Penumpang kapal menggunakan pelampung (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
Para penumpang seringkali tidak memakai jaket pelampung karena alasan kenyamanan. Meskipun ringan, bentuk jaket pelampung yang tebal dan besar sangat mengganggu kenyamanan penumpang, terlebih ketika duduk. Dari situ, Bang Doy sendiri cukup memaklumi keengganan para penumpang memakai jaket pelampung.
"Sebenarnya untuk pelayaran jarak jauh Muara Angke-Tidung pake pelampung itu nggak nyaman. Karena, itu membuat pakaian serasa sesak," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Perjalanan ke Pulau Tidung dari Muara Angke dengan kapal kayu memang tergolong lama. Perjalanan di atas kapal mencapai 2,5 jam. Itu belum termasuk dengan masa menunggu di pelabuhan untuk ABK kapal mengisi muatan sembako ke Pulau Tidung yang mencapai 2 jam. Bisa dibayangkan bagaimana kenyamanan yang terganggu ketika memakai jaket sepanjang perjalanan.
Ketersediaan Jaket Pelampung di Lapangan
Saat ditanya mengenai pengadaan jaket pelampung, operator dari Kapal Dolphin mengaku selalu membeli sendiri peralatan keselamatan di kapal seperti jaket pelampung.
"Dibeliin pemilik kapal. Tidak pernah ada bantuan atau sumbangan," akunya.
Bang Doy, ABK Kapal Dolphin (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bang Doy, ABK Kapal Dolphin (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
Sebelumnya, tim kumparan mencoba memeriksa harga pelampung yang terjual secara umum. Apabila dibeli satuan, jaket pelampung yang paling sering digunakan dengan merk "Atunas" memiliki banderol harga senilai Rp 140.000. Sementara itu, dengan rerata kapasitas kapal yang dapat mengangkut penumpang hingga 250-an orang, dana yang diperlukan untuk membeli jaket pelampung yang layak akan sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Dari situ, operator kapal kadang membeli bekas dari operator lain. Bahkan, jaket-jaket yang dibeli bekas tersebut bisa berasal dari penyediaan di daerah yang jauh seperti Kabupaten Lingga. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah jaket pelampung bekas tersebut masih layak digunakan?
Jaket pelampung yang tersedia di kapal (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jaket pelampung yang tersedia di kapal (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
Dari foto-foto dan keterangan tentang jaket pelampung yang ada di Pelabuhan Muara Angke, tampak bahwa regulasi yang ada tidak benar-benar dipatuhi di lapangan. Memang ada saku yang terdapat di bagian depan jaket. Namun, tidak terdapat petunjuk cara pemakaian. Tidak ada tulisan BAJU PENOLONG yang jelas dan juga tidak ada peluit.
Jangankan lampu yang memiliki pendar sebesar 0,75 kandela, tidak terdapat lampu sama sekali dari jaket-jaket yang ada.
ADVERTISEMENT
Malahan, tampak bahwa jaket-jaket pelampung yang ada telah usang dan kempis, entah bisa tetap melampungkan pemakainya atau tidak.
Simulasi Penggunaan Jaket Pelampung
Tim kumparan kemudian menguji, apakah jaket pelampung yang ada di pasaran -- yang mana biasanya sama dengan yang ada di kapal-kapal di Pelabuhan Muara Angke -- telah sesuai standar dari regulasi yang dikeluarkan Menteri Perhubungan.
Tampak depan jaket pelampung (Foto: Nur Syarifah Sa'diyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tampak depan jaket pelampung (Foto: Nur Syarifah Sa'diyah/kumparan)
Pada jaket yang baru dibeli tersebut, memang terdapat cara pemakaian meskipun terbatas hanya dalam Bahasa Inggris. Tidak terdapat tulisan BAJU PENOLONG. Hanya ada tulisan LIFE JACKET itupun dengan ukuran hanya sekitar 1 cm.
Peluit yang dihubungkan dengan tali secara permanen memang tersedia. Namun begitu, tidak terdapat lampu yang bisa menjadi penanda letak korban ketika terjadi musibah di malam hari.
ADVERTISEMENT
Jaket tersebut merupakan jenis jaket pelampung near-shore vest. Jaket pelampung ini memiliki berat yang relatif ringan, dengan warna yang cerah mentereng sehingga mudah terlihat. Terdapat juga garis berbahan fluorescent yang dapat menyala apabila terkena paparan cahaya.
Meskipun demikian, jaket pelampung jenis tersebut tidak memiliki penahan kepala di bagian belakang. Itu berarti jaket tersebut tidak dapat memastikan bagian wajah dan kepala korban selalu berada di posisi atas.
Jaket pelampung tersebut juga tidak memiliki lampu yang wajib ada dalam sebuah jaket pelampung sesuai regulasi. Nampaknya, kapal-kapal di Indonesia memang hanya dibatasi untuk boleh terkena musibah di siang hari.
Simulasi Pemakaian Jaket Pelampung
Ada kesulitan tersendiri dalam memakai jaket. Seperti kancing yang dipergunakan hingga ukuran jaket yang tersedia di kapal. Patut diingat bahwa ketersediaan jaket pelampung di kapal kadang tidak sesuai dengan yang memakai. Kancing-kancingnya pun juga banyak terlepas, hanya digantikan dengan sebatas tali rafia.
ADVERTISEMENT
Dari percobaan simulasi korban melompat ke air, terlihat bahwa korban harus berusaha menyeimbangkan untuk dapat memosisikan diri agar wajah mereka tetap menghadap ke atas.
Untuk seseorang yang dapat berenang dengan baik, korban tetap harus menyeimbangkan diri untuk dapat mengapung. Kondisi jaket tersebut juga tidak memungkinkan digunakan untuk lebih dari satu orang. Jaket pelampung memang sangat membantu agar korban tetap berada di atas permukaan. Meskipun demikian, korban harus telah memakai jaket pelampung saat berada di atas kapal, karena apabila sudah tercebur di air, akan sangat sulit untuk memakai jaket pelampung terlebih korban yang tidak dapat berenang.