Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Mengungkap Pembicaraan KPK dan Jokowi di Istana
6 Mei 2017 8:53 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Empat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jumat (5/5) lalu. Empat orang itu, adalah Ketua KPK Agus Rahardjo beserta tiga wakilnya; Basaria Pandjaitan, Saut Situmorang dan Alexander Mawarta.
ADVERTISEMENT
Keempatnya kompak memakai batik lengan panjang, lalu beramah tamah dengan Jokowi--juga berjabat tangan dengannya. Kedatangan empat orang tersebut, disambut hangat oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Juru Bicara Kepresidenan, Johan Budi SP yang turut mendampingi Jokowi saat itu.
Sementara acungan jempol Agus Rahardjo saat ditanya ihwal kedatangan rombongannya itu, menjadi isyarat rahasia pembicaraan istana dengan KPK.
Lalu, sebetulnya, apa yang dibicarakan KPK dengan Jokowi?
Santer terdengar, kalau mereka, para penegak lembaga antirasuah tersebut ingin mengadukan soal Hak Angket KPK yang dibunyikan kubu Dewan Perwakilan Rakyat. Semua karena satu kasus besar yang sedang diusut KPK saat ini: kasus korupsi e-KTP yang diduga menyeret kalangan DPR dan Kementerian Dalam Negeri.
Ditemui usai pertemuan tersebut, Saut Situmorang menjawab diplomatis. Saut menuturkan, Jokowi meminta agar kasus e-KTP--yang merugikan rakyat sebesar Rp 2,3 Triliun itu-- segera diselesaikan.
ADVERTISEMENT
"Bahwa dari message yang ditangkap dari kunjungan, presiden menghendaki persoalan itu segera dicepetin. Kira-kira begitu," ujar Saut di Kompleks Istana Kepresidenan.
Namun Saut membantah pertemuannya kali ini membahas tentang perlindungan hak angket, yang konon, mengarah ke tindak kriminalisasi KPK. Menurut Saut, hal ini adalah bagian dari pertemuan rutin KPK dengan presiden.
"Enggak, enggak. Malah di dalam kita enggak membahas hak angket. Permintaan ini rencana kita kan tiap bulan awalnya. Paling minim, paling maksimal dua kali. Itu komitmen kita dari awal. Tapi ini memang, ini kemungkinan bisa ditunda lagi. Tapi memang karena bukan kasus itu," ujar Saut.
Usulan hak angket bermula saat tiga penyidik KPK dikonfrontasi di persidangan dengan anggota DPR Fraksi Hanura, Miryam Haryani. Salah satu penyidik, Novel Baswedan mengaku Miryam ditekan oleh sejumlah anggota DPR agar tidak mengungkap kasus korupsi bancakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sederet nama disebutkan Novel, diantaranya Aziz Syamsuddin, Desmon Mahesa, Masinton Pasaribu dan Sarifudin Suding. Namun, Miryam justru menilai penyidiklah yang telah menekannya. Para anggota DPR yang disebut namanya itu sudah membantah.
Sejumlah anggota fraksi pun meminta rekaman pemeriksaan Miryam dengan penyidik dibuka di muka DPR. KPK sendiri berkukuh tidak akan membuka rekaman Miryam, karena dianggap dapat menghambat proses penyidikan.
"Saya sudah bilang kelihatannya presiden punya pikiran yang sama. Karena DPR digaji untuk check and balance. Ya kan? Semua orang di dunia ini harus dicheck and balance. Ya enggak apa-apa. Ya biarkan saja. Tapi nanti apa di balik itu kita enggak boleh menduga-duga. Itu namanya suuzon," kata Saut.
Hal senada juga diungkapkan Agus Rahardjo saat ditanya keberatan KPK tentang isu hak angket. Agus justru mengembalikan penilaian itu kepada rakyat.
ADVERTISEMENT
"Enggak, kalau itu ya biar berjalan saja. Rakyat nanti menilai, rakyat kemudian nanti memberikan masukannya ya, silakan nanti teman-teman DPR yang mempertimbangkan itu," tutur Agus di istana.
Agus juga membantah pertemuannya dengan Jokowi membahas perlindungan KPK. Menurut Agus, pertemuan dilakukan untuk memberi masukan tentang berbagai peraturan perundang-undangan, juga kondisi kesehatan Novel kini yang sempat disiram air keras oleh orang tidak dikenal beberapa waktu lalu.
"Tadi kita tidak berbicara masalah kasus sama sekali, tidak berbicara kasus. Kedatangan kami atas permintaan KPK untuk memberi masukan terhadap banyak aturan perundang-undangan yang mungkin bisa disesuaikan," ujarnya.
Dalam surat dakwaan e-KTP, tim penuntut umum KPK menyebut sederet anggota DPR menikmati uang suap sebagai syarat pemenangan tender proyek e-KTP. Nama Miryam ikut disebut KPK.
ADVERTISEMENT
Sementara di dalam keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)--sebelum Miryam mencabutnya--, Miryam terang-terangan mengungkap indikasi kongkalikong dua partai besar, yaitu Partai Golkar dan Demokrat dalam menggasak proyek e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 trilyun.
Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar, Setya Novanto yang kini menjabat sebagai Ketua DPR diduga turut menerima jatah sebesar Rp 574 miliar, juga mantan Ketua Komisi II DPR Fraksi Demokrat, Chairuman Harahap sebesar USD 584 ribu. Baik Novanto dan Chairuman sudah membantah.
Agus sendiri mengaku timnya akan konsiten memeriksa seluruh nama yang diduga terlibat dalam megaproyek Rp 5,9 triliun tersebut.
"Anda lihat saja nanti bagaimanakah KPK mengcounter jika ada pemikiran seperti itu. Ya kalau kita konsisten saja," tutup Agus.
ADVERTISEMENT
Sementara ditemui di tempat terpisah, Jokowi menegaskan bahwa pemerintah akan mendukung penuh KPK.
"Intinya pemerintah mendukung penuh langkah-langkah KPK dalam rangka membuat negara ini bersih dari korupsi. Kita memberikan dukungan penuh untuk itu," kata Jokowi usai menghadiri acara Mukernas Ekonomi Himpunan Pengusaha Nahdiyin pertama di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (5/5).
Jokowi berharap KPK tidak perlu takut dengan gangguan dari luar. Sementara itu, mengenai hak angket yang digulirkan DPR, Jokowi menolak ikut campur.
"Apanya? Dari dulu KPK enggak pernah takut. Itu wilayah di DPR ya hak angket itu," ucap Jokowi.