Mengungkap Penyebab 'Merah Darah' Sungai Citarum

8 Juli 2022 21:42 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sungai Citarum berubah warna menjadi merah darah. Foto: Instagram/infobdgbaratcimahi
zoom-in-whitePerbesar
Sungai Citarum berubah warna menjadi merah darah. Foto: Instagram/infobdgbaratcimahi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aliran anak Sungai Citarum yang berubah menjadi warna 'merah darah' membuat gempar warga pada Senin (30/5) lalu. Peristiwa yang terjadi di Sungai Cimeta, Kampung Cikamuning, Desa Tagog Apu, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, itu tampak mengubah air sungai sepanjang 2 km terlihat seperti aliran darah segar.
ADVERTISEMENT
Peristiwa tersebut disaksikan langsung antara lain oleh Ani Mulyani, seorang warga pesisir Sungai Cimeta. Ani mengungkapkan awalnya sekitar pukul 06.00 WIB ketika ia pergi keluar rumah, sungai masih tampak normal. Namun, setelah kembali, Ani kaget mendengar informasi sungai sudah berwarna merah dari saudaranya dan langsung berlari menuju lokasi untuk melihat.
“Ada Pak RW 23, Pak Agus, terus ada Pak RW 7, Pak Engkus, kemudian saya bilang, sudah lapor? Sudah katanya. Saya bilang ke Pak RW 23, lokasi jangan ditinggalin takutnya ada pengurus yang lain, cuma ada keperluan mungkin jadi dia pergi,” kata Ani saat berbincang dengan kumparan di Desa Tagog Apu, Sabtu pekan lalu.
Warga yang sedang memancing di Sungai Citarum. Foto: Dok. Ulfah Salsabilah
Kemudian, Ani melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. Namun, beberapa jam kemudian, dia mengaku ditelepon oleh Babinsa Tagog Apu dan diminta untuk mengecek warna air. Ia kembali ke lokasi dan melihat kondisi air sungai sudah mulai berwarna kecoklatan. “Terus saya kasih laporan, saya kasih keterangan seperti ini,” kata Ani.
ADVERTISEMENT
Selain Ani, kejadian tersebut juga disaksikan oleh warga lain.
Erik Supriadi, penduduk asli yang sejak lahir tinggal di desa itu, menjadi saksi atas jatuh bangun perkembangan anak Sungai Citarum, termasuk menjadi saksi atas peristiwa yang terjadi di sana beberapa waktu lalu. Saat kejadian itu, Erik dan rekan-rekannya sesama pengojek menelusuri bercak-bercak yang tersisa.
Petugas mengamankan plastik yang berisi pewarna merah. Foto: DLH Jabar
“Jadi ada tersisa seperti darah, itu langsung dibawa (oleh petugas). Nah pas dibawa itu sudah ada orang-orang terkait dari tim-tim penelitinya, akhirnya nah sudah, diserahkan,” kata Erik.
Erik menuturkan, peristiwa tersebut cukup membuat masyarakat desa terkejut pada saat itu, sebab warna merah bak darah yang cukup pekat memenuhi aliran sungai. Ia juga mengatakan, peristiwa tersebut merupakan yang pertama kali terjadi di Sungai Cimeta.
ADVERTISEMENT
Investigasi lantas dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, Babinsa Desa Tagog Apu, Warga Desa Tagog Apu, dan Satgas Citarum pada Senin (30/5).
Bintara Operasional Satgas Citarum Harum Sektor 11, Sigit Sugiarto menjelaskan, muasal “Citarum Merah Darah”. Kata dia, hal tersebut bermula dari ditemukannya kantong plastik ukuran 30 liter yang berisikan serbuk di jalan dekat pemukiman warga Desa Tagog Apu.
Plastik tersebut sudah hampir 1 tahun lamanya terbengkalai hingga mengeras seperti batu. Lalu dimanfaatkan oleh warga setempat untuk menutup selokan air. Namun, akibat kondisi plastik yang termakan usia dan perubahan cuaca, plastik tersebut mengalami kebocoran.
Dampak awal dari plastik tersebut pun dirasakan warga. Ketika hujan turun, air yang mengalir di pemukiman warga menjadi berwarna merah.
ADVERTISEMENT
Ini membuat warga kebingungan dan mencari tahu penyebabnya. Ternyata kantong plastik yang digunakan sebagai penutup selokan itu penyebabnya.
Mendapatkan laporan dari warga, ketua RW setempat yang sedang berada di luar kota meminta Asep, salah satu warga untuk melakukan pengecekan plastik yang meresahkan warga tersebut.
Kondisi anak Sungai Citarum. Foto: Dok. Ulfah Salsabilah
“Nah suruh dicek, ditelusuri. Intinya ternyata dari benda tersebut, plastik tadi. Kemudian Pak Asep ini memerintahkan seorang warga yang namanya Pak Ujang. Pak Ujang ini mungkin yang SDM-nya kurang, enggak berpendidikan lah istilahnya. Jadi untuk misalnya melakukan sesuatu itu tidak dipikir dan mungkin tidak memikirkan apa akibatnya jika dibuang ke mana saja gitu kan. Dia itu diperintahkan sama Pak Asep ini. Tolong plastik itu diamankan, kalau nggak, dibuang. Seperti itu,” jelas Sigit.
ADVERTISEMENT
Sigit mengatakan, Ujang, warga yang diperintahkan, kemudian membuang kantong plastik tersebut ke sungai tanpa berpikir panjang. Lalu seketika terjadilah perubahan warna menjadi merah pada anak Sungai Citarum itu.
Melihat sungai berwarna merah, seketika warga mengejar kantong yang hanyut itu. Sehingga, kantong yang menyebabkan sungai menjadi merah itu, berhasil diambil dan diamankan oleh pihak petugas tepatnya di aliran anak Sungai Citarum, Desa Tagog Apu, RW 03, Kecamatan Padalarang.
Sigit mengatakan, para petugas menyusuri sungai sampai radius km 6. “Mungkin kurang lebihnya, sungainya berwarna merah antara 1-2 km lah, untuk ke sananya sudah normal karena intinya si bendanya ini sudah keambil. Merahnya kurang lebih 2-3 jam selama kantong plastik itu belum terambil. Begitu sudah terambil ya sudah. Ke bawa arus ini,” jelas Sigit.
ADVERTISEMENT
Petugas melakukan tindak lanjut atas laporan pembuangan pewarna di anak Sungai Citarum. Foto: DLH Jabar
Setelah peristiwa anak sungai tersebut terjadi pada Senin (30/5) lalu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Barat menyisir sungai sekitar 6 km dan warna “merah darah” tersebut tidak terlihat lagi karena sudah hilang larut bersama arus yang deras.
Keesokannya, Selasa (31/5) DLH Jabar melakukan Pulbaket atau pengumpulan barang keterangan dan menelusuri sungai tersebut, memanggil dua warga (Pak Asep dan Pak Ujang) untuk ditanyakan sejumlah informasi tentang pembuangan tersebut.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Barat Prima Mayaningtyas mengatakan, yang menjadi penting dalam peristiwa ini adalah mengetahui apakah bahan yang terkandung di dalam kantong tersebut berbahaya, beracun atau tidak. Menurutnya, jika bahan kandungan tersebut hanya bahan organik seperti pewarna makanan tidak akan menjadi masalah bagi DLH Jabar.
Kondisi anak Sungai Citarum dan rumah warga. Foto: Ulfah Salsabila
Mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut, DLH Jabar langsung melakukan pemeriksaan pada sejumlah warga yang tinggal di pesisir sungai. Kabar baiknya, tidak ada dampak buruk yang ditimbulkan dari peristiwa ini.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Prima mengungkapkan hasil pemeriksaan laboratorium pada kantong penyebab warna merah di anak Sungai Citarum bukanlah dari benda yang berbahaya dan beracun. Ini berdasarkan hasil pemeriksaan oleh laboratorium di Kabupaten Bogor terhadap sampel bahan padat pencemar dan hasilnya telah diterima pada Selasa (21/6).
Pengujian laboratorium dilakukan beberapa tahap dan juga parameter. Mulai dari memastikan dugaan warna merah tersebut apakah berasal dari bahan berbahaya beracun (B3) atau limbah B3 (LB3) alias hasil proses produksi B3 yang telah dilakukan.
Indeks Kualitas Air Sungai Citarum. Foto: DLH Jawa Barat
"Hasilnya nilai laboratorium dari sumber pencemar tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu di Peraturan Pemerintah (PP) 22/2021 pada lampiran 13 tentang nilai baku mutu, bahwa semua parameter dari sampel tersebut berada di bawah baku mutu di semua kategori," ujar Prima dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan.
ADVERTISEMENT
Nilai baku karakteristik penetapan terkontaminasi B3 dari sampel tersebut tidak menunjukkan adanya tingkat konsentrasi LB3 (Limbah bahan berbahaya dan beracun).
Pengujian karakteristik juga dilakukan terhadap semua parameter LB3 dan hasilnya sama. Air sungai yang merah itu tidak memiliki karakteristik LB3, yakni tidak korosif, tidak mudah menyala, tidak mudah meledak dan juga tidak reaktif. Hal tersebut sesuai dengan baku mutu PP 22/2021 di lampiran 10 tentang parameter uji karakteristik limbah B3.
"Jadi kami ulang lagi, dari warna merah yang diduga B3 itu tidak ditemukan karakteristik bahan berbahaya beracun, kemudian diuji lagi kalau itu dari hasil sisa produksi LB3 juga, tidak ditemukan karakteristik sebagaimana kategori LB3 pada PP 22/2021," kata Prima.
Pendi, Warga yang Mengambil Pasir di Sungai Citarum. Foto: Dok. Ulfah Salsabilah
Dikatakan Prima, hasil laboratorium tersebut menegaskan kembali temuan DLH Kabupaten Bandung Barat yang menyampaikan bahwa tidak ada ikan yang mati dan tidak ada manusia hingga pertanian yang terdampak akibat warna merah tersebut.
ADVERTISEMENT
"Bahan yang membuat merah Sungai Cimeta merupakan bahan yang mudah terlarut, tidak ada endapan sehingga dari hasil ini kita bisa katakan itu aman," tuturnya.
Di sisi lain, Polres Cimahi juga turut andil dalam penyelesaian peristiwa “merah darah” ini. Sejumlah kegiatan seperti penyelidikan dilakukan oleh pihak kepolisian Cimahi. Penyelidikan oleh Satreskrim Polres Cimahi tentunya masih berjalan hingga saat ini, mengingat yang baru didapatkan oleh Polisi hanya bukti petunjuk berupa kantong penyebab warna tersebut.
Kasat Reskrim Polres Cimahi, AKP Rizka Fadhila mengatakan polisi akan mengkaji apakah kantong tersebut memang sengaja dibuang atau terbuang, sehingga bisa berada di pemukiman warga.
“Tentunya ini kita juga masih melakukan pemeriksaan ataupun klarifikasi kepada masyarakat sekitar, apakah kira-kira tahu tidak? Apakah ada melihat orang yang membuang ataupun bagaimana seperti itu,” kata AKP Rizka.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang sanksi, AKP Rizka mengungkapkan jika bagi pelaku pencemaran sungai tentunya harus memenuhi unsur tindak pidana terlebih dahulu. Unsur tersebut seperti dampak atau efek apa yang harus dipertanggungjawabkan oleh tersangka.
“Kalau memang misalkan sesuai dengan hasil penyelidikan bahwa seseorang tersebut terbukti mengeluarkan atau menaruh atau melempar sesuatu barang apa pun yang dapat menyebabkan perubahan biota laut ataupun menyebabkan ada kandungan berbahaya yang dapat memberikan efek yang signifikan pada lingkungan hidup, tentunya kita juga sudah ada undang-undang lingkungan hidup. Tentunya pasti akan dikenakan tindak pidana sesuai dengan perbuatannya,” kata dia.
Reporter: Ulfah Salsabilah, Gabriel Jhon