Mengunjungi Kampung Tugu, Mencari 'Kepingan' Portugis di Jakarta

24 Juli 2018 6:20 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lonceng peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lonceng peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tersebutlah sebuah hutan di tengah rawa, di kawasan timur laut benteng Batavia. Tempat tersebut dihuni oleh para Serdadu Portugis, yang memiliki asal dari beragam wilayah koloni Portugis pada abad ke-16.
ADVERTISEMENT
kumparan mencoba mengunjungi wilayah yang kini dikenal dengan Kampung Tugu, letaknya di kawasan Cilincing, tepatnya di balik beragam gudang kontainer raksasa, di sana berdiri sebuah petak lahan dengan sebuah Gereja. Menurut penunjuk yang tersedia, Gereja Protestan Indonesia Barat tersebut dibangun pada tahun 1748.
Selain itu, terdapat pula sebuah lonceng di samping Gereja. Di sekitar gereja, juga terdapat makam nasrani dengan nama-nama Portugis. Sebut saja Bacca, Andries, Michiels hingga Quico.
Tak jauh dari Gereja, berdiri sebuah perpustakaan kecil, yang menurut prasasti dibangun oleh persahabatan 4 duta besar negara berbahasa Portugis, yakni Mozambique, Brazil, Timor Leste dan Portugal. Kini tinggal tersisa 150 keturunan Portugis dari leluhur mereka yang membuka permukiman tersebut.
Lonceng peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lonceng peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
“Kira-kira tinggal 150 orang keturunan Portugis di sini, saya sendiri ibu saya marga Michiels. Hanya ada 7 keluarga besar Portugis di sini, Andries, Michiels, Quico, Bacca, Abrahams, Simon dan Brone,” ucap Aprelo Formes (50) warga Kampung Tugu, ketika ditemui tak jauh Gereja Tugu, Cilincing, Jakarta Utara pada Senin (23/7)
ADVERTISEMENT
Aprelo tak bisa mewarisi marga, karena Ibunya menikah dengan orang Ambon. Hal itulah yang menyebabkan beberapa Marga Portugis memudar dari Kampung Tugu, pasalnya sistem penamaan Portugis menganut garis keturunan Patrilinear, atau garis Ayah.
Mengenai arsitektur sendiri, bisa dikatakan hanya ada 2 bangunan yang masih menggunakan arsitektur Portugis. Selain Gereja Tugu, yakni kediaman milik Arthur James Michiels (50) yang berada sekitar 200 meter dari Gereja Tugu.
Bangunan Rumah milik Arthur masih terdiri dari kayu, beberapa sisi nya telah lapuk dimakan rayap. Ia mengatakan, rumahnya telah berusia 250 tahun.
“Kalo bagian dalamnya sudah dipugar, tapi bangunan teras rumahnya masih sama seperti 250 tahun lalu. Musuhnya hanya air, karena Jalan di depan sudah ditinggikan 3 kali, 1,5 meter lebih tinggi dari rumah kami,” ucap Arthur.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Kampung Tugu juga masih memegang tradisi Rabo-rabo dan Mandi-Mandi yang dirayakan setiap Tahun Baru. Menurut Arthur, Rabo-Rabo memiliki arti mengekor.
Bangunan peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
“Sesuai tradisi, kami ketika malam tahun baru tiba, berkeliling ke rumah tetangga merayakan tahun baru, bernyanyi keroncong dan berpesta. Kemudian berpindah, tempat, kadang minum juga,” kenang Arthur terkekeh. Ketika Rabo-Rabo usai, mereka berkumpul kembali di gereja untuk merayakan Mandi-Mandi. Mandi-Mandi berasal dari kata comandar, dalam bahasa Portugis artinya perintah.
“Mandi-Mandi berasal dari kalangan Portugis dari wilayah koloni Benggala, artinya perintah, perintah apa? Ya artinya perintah untuk saling bermaafan, kami mengoleskan cat putih di wajah sanak saudara kami, sebagai arti pengampunan atas kesalahan yang telah dilakukan sepanjang tahun yang telah berlalu, kalo anda penuh warna putih, berarti anda penuh dosa,” kata Arthur.
ADVERTISEMENT
Selain tradisi tersebut, warga Kampung Tugu di Jakarta ini juga masih memilki beberapa makanan khas, seperti pindang serani, egg tart, hingga gado-gado Tugu.
“Kami hanya menyajikanya jika diminta oleh komunitas yang akan berkunjung, pernah akan dibuat sebagai wisata kuliner, hanya saja warga tidak ada yang setuju, mereka malas,” keluh Arthur.
Dari sisi bahasa, hanya tinggal segelintir saja warga Kampung Tugu yang bisa bertutur bahasa Portugis. Itu pun bahasa Portugis Kreol, campuran. Sadar tidak sadar, beberapa bahasa tersebut terserap menjadi bahasa sehari-hari kita. Sebut saja jendela yang berasal dari kata canela, kemeja dari kamisa, gereja dari igreja bahkan Minggu, dari kata Dominggo.
“Saya pernah diajak berbicara dengan 3 wisatawan asli Jepang dengan bahasa Portugis, wah ini ngetes saya, dia bilang senor voste quantus annus agora? (Tuan usianya berapa?) Saya jawab dong, Eu tenho cinquenta anos (usia saya 50 tahun). Baru dia geleng-geleng, Ay ay ay, lalu kami berbicara dengan bahasa Portugis,” kenang Arthur.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, Arthur telah mengupayakan pendidikan Bahasa Portugis bagi anak-anak Kampung Tugu, berdasar bantuan dari 4 kedutaan Besar, Portugal, Mozambique, Brazil dan Timor Leste. Namun minat mereka terhadap Bahasa Portugis rendah.
“Hanya bertahan 2 tahun saja, minat bagi warga untuk belajar sendiri rendah. Padahal saya sudah mengupayakan, dan ada pengajar dari Kedutaan Besar Portugal dan Timor Leste, tapi apadaya,” pungkas Arthur.