Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
ADVERTISEMENT
Kasus meninggalnya petugas penyelenggara Pemilu 2019 menjadi catatan di pesta demokrasi lima tahunan kali ini. KPU menyebut ada 456 orang petugas KPPS yang meninggal dan 4.310 lainnya yang sakit.
ADVERTISEMENT
Kelelahan akibat beban kerja yang berat disinyalir menjadi penyebab melayangnya nyawa para pahlawan demokrasi itu.
Fenomena tersebut menjadi sorotan publik dan para elite politik. Berikut sejumlah hal yang diketahui:
Perbandingan Anggota KPPS yang Meninggal di Pemilu 2014 dan 2019
Kasus meninggal petugas KPPS ternyata juga pernah terjadi di Pemilu 2014. KPU mengungkapkan fakta tersebut menanggapi cuitan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut tidak ada petugas KPU yang meninggal dunia di Pemilu 2014.
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthow menyebut saat Pileg 2014 tercatat ada 114 orang petugas KPPS yang meninggal. Data itu memang lebih kecil dari jumlah yang meninggal di Pemilu serentak 2019 yang hingga Selasa (7/5) tercatat ada 456 orang meninggal.
ADVERTISEMENT
Kepada kumparan, Pram mengatakan di Pemilu 2014 sebetulnya KPU juga mengusulkan biaya santunan untuk petugas yang meninggal seperti saat ini, namun tidak dikabulkan.
Soal petugas KPU di Pemilu 2019 lebih banyak meninggal, dia menyebut memang salah satunya karena sistem pemilu yang menyatukan Pileg dan Pilpres dalam satu hari, sehingga ada 5 surat suara.
"Ya beban pekerjaan semakin berat. Dan jumlah petugas KPPS memang juga bertambah. Dulu TPS 570 ribuan, sekarang 810 ribuan," pungkas Pram.
Perludem Sebut Ada Logika yang Tak Beres di Pemilu 2019
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai fenomena banyaknya petugas KPPS yang meninggal di Pemilu 2019 bisa dirunut mulai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan ada beberapa logikanya tidak beres.
ADVERTISEMENT
UU Pemilu yang menggabungkan 3 UU yaitu UU tentang Penyelenggara Pemilu, UU Pileg, dan UU Pilpres, menghasilkan pemilu yang rumit dan berkonsekuensi pada banyak hal, salah satunya beban kerja penyelenggara pemilu.
Menurutnya, UU Pemilu seharusnya dibangun atas logika pemilu yang serentak, namun ternyata pemerintah dan DPR sebagai penyusun undang-undang, masih menggunakan pemilu yang terpisah.
"Undang-undang Pemilunya memang enggak beres. Logika pengaturannya masih memisahkan antara pileg, pilpres," ucap Titi kepada kumparan, Rabu (8/5).
Selain masalah logika UU Pemilu, Titi menyebut peliknya Pemilu 2019 yang menyebabkan beban petugas bertambah. Selain karena surat suara ada lima lembar, juga pertambahan parpol menjadi 16 yang otomatis membebani proses penghitungan suara di TPS.
"KPPS itu selain dibebani pekerjaan yang berat, juga harus memahami banyak aturan baru agar mereka tidak keliru, ditambah lagi kompleksitas teknis hari H di mana mereka dituntut bekerja hati-hati dan cermat agar tidak melakukan kesalahan yang bisa membuat mereka kena masalah berikutnya," papar Titi.
ADVERTISEMENT
Menkes Ungkap Penyebab Kematian KPPS
Menteri Kesehatan Nila Moeloek telah membuat surat edaran kepada seluruh dinas kesehatan untuk mengaudit secara medis penyebab banyak KPPS meninggal dunia. Namun, hingga saat ini baru Dinas Kesehatan DKI yang menyerahkan laporan karena ada 18 KPPS meninggal dan 2.641 sakit.
Dari data Dinkes DKI, diketahui penyebabnya KPPS meninggal karena gagal jantung, liver, stroke, gagal pernafasan, dan infeksi otak meningitis. Sementara dari usia, kebanyakan KPPS yang meninggal ternyata berusia lanjut.
"Kalau lihat usia yang meninggal terbanyak di atas 50 tahun, bahkan sampai 70 tahun," kata Nila di Kantor KPU Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (8/5).
Nila memperkirakan penyebab meninggal itu secara umum terkait dengan penyakit sebelumnya yang dimiliki KPPS. Faktor lain penyebab kematian adalah beban kerja yang berat sebagai petugas KPPS. Mereka harus menghitung dan merekap suara hingga lewat tengah malam, dan tidak boleh dijeda sesuai aturan.
ADVERTISEMENT
BPN Usulkan Tim Pencari Fakta
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menilai peristiwa meninggalnya para petugas KPPS ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Harus ada evaluasi dan penjelasan ilmiah mengapa banyak sekali petugas KPU yang meninggal karena bertugas di pemilu yang untuk pertama kalinya digelar serentak.
BPN lalu mengusulkan dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang independen untuk mengusut masalah ini. Direktur Materi dan Debat BPN, Sudirman Said, menyebut TPF bisa menjadi pihak yang netral mengusut masalah ini.
"Dalam situasi demikian kita perlu 'zona netral' yang bisa menjadi rujukan bersama. Tim Independen Pencari Fakta di samping akan menyediakan data-data yang objektif, juga bisa menjadi jembatan bagi para pihak yang berkonflik," ucap Sudirman Said dalam pesan singkat, Rabu (8/5).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, bila TPF dapat bekerja dengan netral, maka akan mengembalikan kepercayaan kepada penyelenggara pemilu dan semua pihak yang berkontestasi. Ujungnya, melalui TPF kita harus membangun kembali rasa saling percaya antarwarga.
PKS Usulkan Pembentukan Pansus di DPR
PKS mengusulkan pansus untuk mengawasi dan mengevaluasi akuntabilitas pelaksanaan Pemilu 2019. Ide itu diserukan anggota DPR F-PKS Ledia Hanifa Amaliah saat sidang paripurna ke-16 di DPR.
"DPR patut mengawasi kinerja KPU. DPR patut membuat pansus pemilu untuk menyelidiki kinerja KPU yang saat ini sangat buruk," kata Ledia di sela rapat paripurna di Ruang Rapat DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (8/5)
Legislator PKS asal Jabar itu memaparkan, pemilu telah merenggut korban jiwa sebanyak 554 orang dan membuat 788 orang sakit. Menurut Ledia, hak angket dapat dilakukan untuk menyelidiki kasus ini.
ADVERTISEMENT
"Kami dari Fraksi PKS mengajak seluruh anggota DPR untuk membentuk pansus pemilu untuk mengawasi dan mengevaluasi akuntabilitas pelaksanaan Pemilu 2019, menyelidiki penyebab kematian para petugas KPPS, serta menyelidiki kesalahan pemasukan data yang dilakukan oleh KPU," ucap Ketua DPP PKS itu.
DPR Minta Pemilu Serentak Dikaji
Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan DPR membuka peluang untuk mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan pemilu serentak 17 April lalu. Bamsoet mengaku, ia merekam berbagai pandangan masyarakat soal kekurangan sistem pemilu serentak.
"Berbagai pandangan masyarakat yang menginginkan pemilu mendatang dilaksanakan secara terpisah dan mengkaji kembali sistem pemilu yang lebih sesuai, kiranya perlu mendapat perhatian dari kita semua," kata Bamsoet di Ruang Paripurna DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (8/5).
ADVERTISEMENT
Pemilu 2019 ini disatukan antara pilpres, dan pileg pusat dan daerah. Diduga penyatuan ini berkontribusi pada kerja KPPS yang menjadi lebih berat hingga menimbulkan banyak korban jiwa karena kelelahan.