Menilik Banda Aceh Sebagai Kota Ramah Anak

29 Februari 2020 5:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak makan es krim. Foto: shutter stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak makan es krim. Foto: shutter stock
ADVERTISEMENT
Ancaman kekerasan fisik maupun kejahatan seksual masih menghantui anak-anak di Kota Banda Aceh. Di tengah pemerintah gencarnya menjalankan program Kota Layak Anak (KLA), kekerasan yang terjadi di ibu kota provinsi Aceh itu masih saja terjadi dan terus meningkat tiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Kota Banda Aceh menargetkan awal 2021 seluruh desa di sembilan kecamatan akan berganti status menjadi Desa Layak Anak. Harapannya, agar meminimalisir kasus-kasus kekerasan yang terjadi terhadap anak.
Medio 2017 hingga 2019, Kota Banda Aceh telah mencanangkan sebanyak 16 desa (gampong) di sembilan kecamatan menjadi Desa Layak Anak. Pemberian status itu, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pemenuhan hak-hak anak, sehingga dapat menurunkan angka kekerasan anak yang terjadi.
Namun, sudah ramahkah Banda Aceh menjadi Kota Layak Anak?
Kekerasan seksual kembali menimpa seorang anak di kota Banda Aceh, pelakunya adalah paman korban sendiri. Kejadian ini merupakan kasus keenam yang diungkap Unit PPA Polresta Banda Aceh, sejak Januari hingga Februari 2020.
ADVERTISEMENT
Pelaku berinisial RR (20) tega memperkosa keponakan sendiri dengan cara menggunakan kekerasan hingga berulang kali. Perbuatan itu dilakukan RR akibat tak sanggup membendung hawa nafsu.
Dalam konferensi pers yang digelar Polresta Banda Aceh, Kamis (27/2), RR dihadirkan ke hadapan awak media. Di balik penutup wajah, dia menangis terisak-isak meluapkan penyesalan atas perbuatannya.
Janagn memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci Foto: Shutterstock
Berdasarkan catatan Unit PPA Polresta Banda Aceh, kasus kekerasan dan perbuatan asusila terhadap anak sangat memprihatinkan. Terhitung sejak 2018 hingga saat ini kejahatan terhadap anak terjadi peningkatan.
Di 2018 polisi menangani sebanyak 18 kasus, angka itu meningkat menjadi 20 kasus di 2019, dan diawal 2020 polisi telah menangani enam kasus sejak Januari hingga Februari.
ADVERTISEMENT
“Dari banyaknya kasus itu mayoritas pelakunya adalah orang-orang terdekat dengan korban,” kata Kanit PPA Polresta Banda Aceh, Ipda Puti Rahmadiani, pada kumparan Jumat (28/2).
Kekerasan terhadap anak baik psikis maupun seksual yang terjadi akhir-akhir ini, dinilai akibat faktor kelengahan orang tua. Menurut Puti, sebagian dari orang tua yang sibuk bekerja, memilih meninggalkan anaknya di rumah atau dititipkan ke saudara.
“Dititipkan kepada orang yang mereka percaya, seperti paman atau saudaranya. Dan ini tidak menutup kemungkinan terjadinya hal-hal buruk,” ujarnya.
Dikatakan Puti, seyogyanya orang tua di Banda Aceh bisa mengambil pelajaran dari kasus-kasus yang sudah terjadi. Sebagai orang tua yang sibuk bekerja, komunikasi dengan anak sangat diperlukan. Menjelaskan hal-hal apa saja yang boleh dilakukan dan dilarang.
ADVERTISEMENT
“Jadi, komunikasi itu sangat perlu. Orang tua harus bisa menjelaskan kepada anak apa yang boleh dan tidak. Termasuk perlakuan, om, paman, bahkan orang tua sekali pun,” ungkapnya.
Perluasan Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh. Foto: ANTARA/Ampelsa
Puti menilai, untuk menurunkan angka kekerasan terhadap anak di Banda Aceh, kewaspadaan dan pengetahuan orang tua terhadap lingkungan perlu lebih ditingkatkan. Selama ini, institusinya sudah berupaya terus memberikan sosialisasi agar bisa mencegah dan melindungi anak dari ancaman kekerasan.
“Seiring meningkatnya kewaspadaan dan pengetahuan orangtua akan lingkungan sekitar, semoga bisa mengurangi angka kekerasan seksual terhadap anak di Banda Aceh,” ungkapnya.

Desa Layak Anak Belum Tentu Ramah Anak

Staf Ahli Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan Pemerintah Kota Banda Aceh, Media Yulizar, menyebutkan, kehadiran Desa Layak Anak sudah menunjukkan adanya komitmen dari aparatur desa terhadap pemenuhan hak-hak anak. Seperti melindungi mereka dari ancaman kekerasan.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, tidak menutup ruang desa layak anak juga berpeluang terjadinya kekerasan terhadap anak. Terutama keluarga yang rentan akan terjadinya kekerasan itu sendiri.
“Maka dalam hal ini upaya pencegahan terus ditingkatkan terutama untuk keluarga atau rumah tangga yang rentan terjadinya kekerasan,” kata Media, mantan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Banda Aceh.
Media menjelaskan, kampung layak anak yang telah terbentuk di Banda Aceh, di dalamnya sudah terbentuk forum anak, dan juga Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PPATBM). Peran mereka memberikan sosialisasi serta mengawasi anak-anak di lingkungannya.
“Kampung layak anak bukan berarti kampung itu identik tidak akan terjadi sesuatu gitu. Makanya sosialisasi terus kita jalankan,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Banda Aceh merupakan salah satu Kota di Aceh yang telah dua kali memperoleh penghargaan Kota menuju Layak Anak. Penghargaan pertama pada 2018, penghargaan tingkat dasar atau Pratama dan penghargaan kedua tingkat menengah atau Madya pada 2019.
Ilustrasi anak bermain voli. Foto: Shutter stock
Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Firdaus D. Nyak Idin, menilai, kasus yang meningkat menunjukkan penghargaan KLA tidak mampu menjadi daya dorong, bagi Pemerintah dan Masyarakat kota Banda Aceh untuk menurunkan angka kekerasan seksual terhadap anak.
Firdaus menjelaskan, dampak dari penghargaan yang telah dicapai, dapat menurunkan angka kasus kekerasan seksual terhadap anak apabila penghargaan itu dimaknai secara luas bukan sekadar simbolik. Didukung oleh upaya yang sistemik, integratif, substantif dan berkelanjutan.
Begitu juga sebaliknya, penghargaan tersebut bisa saja tidak akan berdampak pada penurunan angka kekerasan. Jika, upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak tidak sistemik, integratif, substantif, berkelanjutan, atau hanya sekadar mengisi indikator KLA.
ADVERTISEMENT
“Dalam pandangan KPPAA, jawaban YA dan Tidak, sangat tergantung pada upaya Pemerintah,” katanya, saat dikonfirmasi kumparan.
Melihat beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, sebut Firdaus, isu kekerasan terhadap anak masih dianggap hal yang tidak menarik dan tidak strategis. Sehingga soal pengasuhan, kepedulian, dan penanganan masih sangat lemah.
“Upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini masih sangat sporadis, tidak fokus, tidak tersistem, dan masih berjalan sendiri-sendiri. Semua kelemahan dan kekurangan ini terjadi pada semua lini,” ungkapnya.
Firdaus mengatakan,Presiden Jokowi sudah memberikan arahannya dan Menteri Dalam Negeri telah menindaklanjuti dengan mengirimkan edaran kepada semua kepala daerah se-Indonesia, agar memperkuat upaya perlindungan anak.
Inti dari surat edaran itu, kata Firdaus, memerintahkan kepala daerah agar memperkuat pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi kasus kekerasan terhadap anak. Terutama kasus kekerasan seksual, dengan memperkuat program agar lebih terintegrasi (sistemik) dan alokasi anggaran yang prioritas.
ADVERTISEMENT
“Sampai saat ini kita masih menunggu tindak lanjut dari kepala daerah di seluruh Aceh,” ujarnya.
Firdaus mengakui pengawasan perlindungan anak masih sangat lemah. Dalam hal ini, KPPAA tidak mampu berjalan sendiri apabila tidak didukung oleh struktur yang memadai pada semua sektor pemerintah dan non pemerintah. Serta pada semua lini kehidupan masyarakat.

DPRK Banda Aceh Akan Bahas Qanun Kota Layak Anak

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Farid Nyak Umar, ikut menyesali kasus pemerkosaan terhadap anak yang baru-baru ini terjadi di kotanya. Farid meminta aparatur desa dan pemerintah (Wali Kota) dapat menjalankan program pengawasan untuk memastikan anak-anak mendapat perlindungan.
Menyikapi Desa Layak Anak, kata Farid, DPRK akan segera membahas rancangan qanun Kota Layak Anak yang sudah dimasukkan dalam Program Legislasi Kota (Proleg) Tahun 2020.
ADVERTISEMENT
“InsyaAllah kita akan membahas rancangan qanun itu, sehingga nanti target adanya regulasi tentang Kota Layak Anak akan memberikan proteksi dan perlindungan kepada anak-anak. Mudah-mudahan dengan lahirnya qanun bisa menjadi solusi untuk menurunkan kekerasan terhadap anak,” katanya.
Melihat kampung layak anak yang sudah tercipta di Banda Aceh, menurut Farid, harus menjadi evaluasi bagi pemerintah tak hanya sekedar launching, lalu tidak ada program khusus yang mendukung untuk mewujudkan desa ramah anak itu sendiri.
“Mungkin selama ini kekurangannya proses evaluasi masih kurang. Makanya kita berharap pemerintah kota untuk melakukan evaluasi, apa penyebab terjadinya kasus kekerasan dan bagaimana efektifitas kampung yang selama ini sudah ditetapkan sebagai kampung ramah anak,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT