Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Menilik Lalu Lintas yang 'Semrawut' di Tanah Abang
25 Oktober 2017 15:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Pasar Tanah Abang, seakan merupakan 'raja' dari segala pasar di Indonesia yang telah banyak dikenal orang. Pasar yang menjual segala macam kebutuhan --meski mayoritas yang dijual pakaian-- ini memang menjadi kebanggaan warga Jakarta. Bahkan dalam beberapa kesempatan, ketiga paslon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilgub DKI 2017, selalu menyebutkan pasar ini sebagai sentra tekstil terbesar di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti pasar pada umumnya, semakin ramai pasarnya maka semakin semrawut jalanannya. Begitupun dengan Pasar Tanah Abang.
"Segini sih masih belum macet. Ini masih mendingan," ungkap Ruli Mahardika, seorang driver ojek online di Blok A, Pasar Tanah Abang, Jakarta, Rabu (25/10) pagi ini.
Masih mending katanya. Padahal, lalu lintas terhitung cukup padat. Memang, tidak sampai membuat arus lalu lintas berhenti, namun merayap.
"Biasanya sih macet karena orang-orang yang nyeberang. Apalagi yang jalan sambil bawa troli besar," tambahnya.
Lusinan, bahkan mungkin puluhan kuli angkut tampak berjajar di dekat troli besinya menunggu "klien" dengan sabar di setiap pintu keluar-masuk pasar. Mereka yang beruntung mendapatkan orderan, terlihat semangat mengangkut bungkusan-bungkusan besar menuju lokasi yang diminta.
ADVERTISEMENT
Kadang, jika tidak terlalu banyak, mereka akan memanggulnya di bahu. Namun, jika lebih dari satu, mereka baru menggunakan troli mereka.
Tanpa ada rasa takut, mereka berjalan di aspal yang panas. Mereka berbagi lahan dengan kendaraan-kendaraan bermesin yang melaju pelan mencari celah.
Meski sudah tersedia trotoar, perbedaan tinggi trotoar dengan jalan aspal kadang menyulitkan mereka saat harus mengangkat troli yang bermuatan penuh. Belum lagi, risikonya adalah bersenggolan dengan lapak-lapak pedagang kaki lima. Selain itu, tentu saja terkadang mereka harus mengutamakan asas efektif, terutama saat akan menyeberang.
Beban yang berat, belum lagi masalah waktu, tentu membuat mereka ingin segera menyelesaikan orderan dengan cepat. Di mana ada celah, asalkan bisa menyeberang, tentu akan dilalui para kuli angkut itu. Tentu, tidak ada yang salah di sini. Semuanya sama-sama mencari nafkah.
Di depan Blok A dan Blok B yang saling berhadapan, terkenal sebagai wilayah yang hampir selalu macet. Bagaimana tidak, di kedua ujung jalannya, terdapat persimpangan yang tidak hanya digunakan untuk berbelok, tetapi juga putar balik.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, lampu lalu lintas yang seharusnya menjadi petunjuk kapan harus berjalan dan kapan harus mengalah, memberi jalan, tidak berfungsi. Kendaraan dari segala arah berebut untuk maju.
Ketika sudah macet, bunyi peluit akan terdengar dari petugas yang mencoba mengurainya. Entah petugas resmi dari Dinas Perhubungan atau "swasta" yang sering kita kenal dengan sebutan Pak Ogah.
Namun kemacetan ini tampakanya bukan hanya karena itu saja. Banyak pejalan kaki terihat seenaknya menyeberang, padahal sudah ada jembatan penyeberangan orang (JPO).
Soal pedagang kaki lima, ada beberapa di antaranya berdagang tidak pada tempat. Mereka menjajakan dagangan di sepanjang jalan yang ada di sebelah Blok A. Meski bukan jalan utama, namun cukup mengganggu kendaraan yang ingin lewat. Jalan yang semestinya bisa dilalui dua lajur kendaraan itu kini hanya bisa dilalui satu saja.
ADVERTISEMENT
Masih di ruas jalan yang sama, tampak deretan truk dan bus yang melakukan bongkar-muat. Mereka berseberangan dengan para pedagang kaki lima. Meski berhenti dengan rapi, namun kendaraan-kendaraan itu tampak memakan jalan.
Berbicara soal ngetem, bagian depan Pasar Blok B memang sering digunakan untuk mangkal Bajaj. Meski memiliki dimensi yang kecil, namun keberadaannya yang banyak terlihat memaksa kendaraan lain yang sedang melaju menurunkan kecepatan. Belum lagi, bus kota yang kadang tiba-tiba berhenti di jalan.
Tetapi tidak semua salah sopirnya, karena kadang penumpang yang ingin praktis meminta bus berhenti sembarang tempat.
Masalah kemacetan di Pasar Tanah Abang sebenarnya tampaknya hanya karena satu faktor: mencari jalan praktis. Tapi, bukankah praktis seharusnya tak merampas hak orang lain dan mengacuhkan ketertiban?
ADVERTISEMENT