Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menilik Perda Syariah dan Raperda Injil yang Disoroti PSI
12 November 2018 11:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memiliki visi menghapus peraturan daerah (perda) berbasis agama apabila perolehan suara mereka mencapai Parliementary Treshold (PT) sebesar 4 persen di Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum PSI Grace Natalie menyebut, perda-perda tersebut hanya membatasi masyarakat Indonesia. Perda-perda itu, lanjut dia, berpotensi menjadikan Indonesia seperti Suriah.
"Ada ketidakleluasaan orang beribadah dan sebagainya dan itu tertuang dalam perda-perda. Atau ada tindakan seperti itu yang tindakannya diam saja. Nah, ini yang kita ingin perangi," kata Grace, Minggu (11/11).
Sebenarnya daerah mana sajakah yang telah menerapkan perda berbasis agama ini? Apakah isinya begitu ‘menakutkan’ seperti yang dikhawatirkan PSI?
Dikutip dari Jurnal Perempuan, Senin (12/11), sedikitnya ada 13 daerah yang sudah dan masih berusaha untuk menerapkan perda berbasis agama. Mereka di antaranya Aceh, Manokwari, dan Bali.
Berikut pembahasan dua perda yakni Perda Syariah dan Raperda Injil:
1. Perda Syariah di Aceh (Qanun)
ADVERTISEMENT
Ditilik dari sejarahnya, Aceh merupakan pintu gerbang masuknya Islam di Indonesia. Tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayatsyah dengan ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam.
Sejak tahun 1959, tepatnya pada tanggal 25 Mei 1959, Aceh yang saat itu menjadi Daerah Swatantra Tingkat I atau Propinsi Aceh, diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dikutip dari situs Pemprov Aceh, dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Status ini dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Penerapan syariat Islam secara di Aceh secara sah dideklarasikan pada tahun 2001.
Di tahun itu ada revisi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan sekaligus mengubah nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
ADVERTISEMENT
Di dalam UU Otonomi Khusus bagi Aceh yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi dasar pelaksanaan syariat Islam di Aceh di antaranya adalah Mahkamah Syar’iyah dan Qanun.
Mengutip jurnal yang ditulis oleh Ali Geno Berutu yang berjudul “Penerapan Syariat Islam di Aceh dalam Lintasan Sejarah”, UU Otsus ini melengkapi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi NAD. Di sana tercantum empat keistimewaan pokok bagi Aceh: (1) keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya; (2) keistimewaan dalam menyelenggarakan pendidikan; (3) keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan adat; dan (4) keistimewaan menempatkan peran ulama dalam penetapan kebijakan.
Berdasarkan kedua undang-undang pokok soal Aceh itulah otoritas legislasi Aceh menyusun berbagai qanun sebagai aturan derivatifnya.
ADVERTISEMENT
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menunjukkan bahwa kewenangan pemerintah Aceh menjadi bertambah dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam merealisasikan perundang-undangan RI yang tidak terealisasikan sebelumnya. Bidang syariah dapat terlihat pada Bab XVII Pasal 128-137, yang memberikan kewenangan bagi Pemerintah Aceh dalam penerapan syariat di berbagai aspek (termasuk jinayat).
Pemberlakuan perda syariah ini tidak terjadi secara alamiah. Semata-mata untuk melindungi Aceh dari gerakan separatisme seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), agar bumi Serambi Makkah tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, sejak Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Aceh telah menganggap agama tersebut sebagai jalan hidup atau way of life. Jadi, untuk menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk soal peraturan mereka mengadopsi syariat Islam.
ADVERTISEMENT
2. Raperda Injil di Manokwari
Pada tahun 2007, tokoh-tokoh Kristiani di Manokwari, Papua Barat, mulai memunculkan ide bahwa kota ini semestinya menjadi Kota Injil. Dari situ, mereka mulai berbicara untuk membuat wacana agar tercipta Raperda Injil, tanpa ada notifikasi ‘wah’.
Di saat yang sama muncullah pro dan kontra. Meski belum diumumkan secara resmi, Raperda Injil juga mendapat penolakan dari beberapa unsur di Manokwari. Demonstrasi pun bergulir di sejumlah titik.
Dikutip dari jurnal “Perda Injil di Manokwari dalam Perspektif Kristiani” karya Binsar Hutabarat, wacana Raperda Injil tak lepas dari misi Bupati Manokwari saat itu, Dominggus Mandacan, yang kerap mendengungkan Manokwari sebagai Kota Injil.
Sebutan Manowari sebagai Kota Injil dikaitkan dengan sejarah masuknya Injil ke tanah Papua. Disebutkan, dua orang asal Jerman, Johhan Gottlob Geissler dan Carl Willhemm Ottow, ketika pertama kali menjejakkan kaki di pulau Mansinam, pulau yang berada di Kabupaten Manokwari, pada Februari 1884, mereka mengatakan, “Dengan nama Tuhan kami menginjakkan kaki di tanah ini.”
ADVERTISEMENT
Nah, tak lama kemudian usulan dari tokoh-tokoh Kristiani ini diakomodir oleh Pemda Manokwari. Muncullah Raperda tentang Penerapan Manokwari sebagai Kota Injil pada Mei 2008. Namun DPRD Manokwari sebagian besar menolak.
Adanya anggapan raperda ini hanyalah semata-mata bentuk kekecewaan atau keirian dari tokoh-tokoh tersebut dengan wilayah di Aceh ini kemudian dikhawatirkan menuai polemik.
Tokoh-tokoh agama di Manokwari yang bersikukuh bahwa formalisasi sebutan Manokwari Kota Injil adalah hak mereka yang harus dipenuhi. Sebab, menurut mereka, itu terkait dengan nilai-nilai dasar masyarakat Papua. Penetapan Manokwari sebagi Kota Injil diperlukan untuk mendorong masyarakat hidup menyesuaikan dengan daerah di mana mereka tinggal.
Berikut beberapa usulan yang disampaikan di Raperda Kota Injil:
ADVERTISEMENT
Kegiatan penataan diselenggarakan dengan memperhatikan, nilai-nilai sejarah, budaya, adat-istiadat dan kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat lokal, terutama mayoritas orang asli atau penduduk asli Papua yang menganut agama Kristen.
Perwujudan nilai-nilai dalam aspek tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat di atas dilaksanakan melalui pembangunan dan pemeliharaan situs sejarah, penataan asesoris simbol agama yang bernuansa religius dan kultural serta tata peribadatan dan busana yang bernuansa Kristen.
Selain itu diusulkan juga, selain hari Minggu, pemerintah daerah menetapkan hari-hari besar agama Kristen atau hari-hari besar gerejawi sebagai hari libur resmi daerah. Pada hari raya, setiap orang dan atau badan tidak diperbolehkan melakukan aktivitas publik.
Nah, beberapa poin tadilah yang kemudian membuat pembahasan Raperd Kota Injil ini macet hingga sekarang.
ADVERTISEMENT