Menjaga Cenderawasih di Hutan Warkesi, Papua Barat

2 Desember 2021 20:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cenderawasih Kuning Kecil (Lesser bird-of-paradise) di kedalaman hutan di Tanah Papua. Foto: Tim Laman/ IG @timlaman via ECONUSA
zoom-in-whitePerbesar
Cenderawasih Kuning Kecil (Lesser bird-of-paradise) di kedalaman hutan di Tanah Papua. Foto: Tim Laman/ IG @timlaman via ECONUSA
ADVERTISEMENT
Tak dapat diragukan lagi bahwa wisata alam Indonesia memiliki keindahan dan daya tarik tersendiri bagi siapa pun yang mengunjunginya.
ADVERTISEMENT
Banyak yang namanya sudah populer di dunia, namun dan tak sedikit juga yang belum. Salah satunya adalah kawasan Hutan Warkesi.
Hutan Warkesi adalah salah satu destinasi wisata alam di Indonesia yang belum cukup populer, meskipun hutan tersebut berada di satu kabupaten yang sama dengan tempat diving yang populer di dunia, yakni Raja Ampat.
Hutan yang tepatnya berada di Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, itu memiliki daya tarik yang unik karena merupakan hutan yang ramah bagi 258 spesies burung dan salah satunya yang endemik adalah burung Cenderawasih Merah (Salah satu dari 28 jenis Cenderawasih yang ada di Papua).
Wisatawan sedang mengintai burung Cenderawasih di lokasi bird watching di hutan Naggou, Distrik Sausapor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Foto: Aria Sankhyaadi/kumparan
Hutan yang memiliki jarak tempuh 25 menit dari Waisai, ibu kota Raja Ampat, dengan mobil atau ojek ini dapat dikatakan sebagai surganya para wisatawan yang ingin menikmati kegiatan birdwatching.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, rumah dari burung dengan nama ilmiah Paradisaea Rubra itu kini terancam keberadaannya lantaran kegiatan pengalihan fungsi lahan yang terjadi di kawasan tersebut.
Begitu juga dengan aktivitas perburuan ilegal yang dilakukan orang-orang tak bertanggung jawab ke burung yang masuk daftar merah dari IUCN (International Union For The Conservation of Nature) dengan status ‘hampir terancam’.

Rusaknya Habitat dan Perburuan Liar

Aktivitas penambang ancam kerusakan hutan. Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa
Kawasan Hutan Warkesi tadinya adalah termasuk dari Cagar Alam Waigeo Barat yang luasnya adalah sekitar 153.000 hektar. Akan tetapi berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : SK.745/MENLHK/SETJEN/PLA.2/9/2019 tentang Perubahan Fungsi dalam Fungsi Pokok Kawasan Hutan dari Sebagian Kawasan Cagar Alam Waigeo Barat menjadi Kawasan Satwa Margasatwa di kabupaten Raja Ampat status cagar alam ini mengalami sedikit perubahan.
ADVERTISEMENT
Dari aturan itu, pemerintah mengalihfungsikan sekitar 575 hektar area kawasan Cagar Alam Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, menjadi kawasan hutan produksi tetap dan 1.396 hektar area lainnya di kawasan tersebut dialihkan menjadi suaka margasatwa.
Sebagai konteks, cagar alam adalah suatu kawasan yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Kemudian, suaka margasatwa adalah wilayah yang digunakan untuk melindungi satwa-satwa yang sudah terancam punah. Sementara itu, hutan produksi merupakan kawasan hutan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya, mulai dari pembangunan hingga keperluan industri.
Sehingga dapat dikatakan kawasan hutan Warkesi, rumah dari burung Cenderawasih, termasuk Cenderawasih Merah, sebagiannya telah berubah fungsi jadi tempat yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, burung yang terkenal dengan aksi menari di batang pepohonan untuk memikat lawan jenisnya ini pun kehilangan pohon-pohon yang merupakan faktor krusial terhadap perkembangan populasi mereka yang diketahui cukup lamban itu.
Burung Cenderawasih di Hutan Nangguo, Sausapor, Tambrauw, Papua Barat. Foto: Dok. Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata
Selain dari pengalihan fungsi lahan, burung Cenderawasih juga kerap diburu secara ilegal.
Sebenarnya burung ini dilindungi UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) N0.106/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Dalam aturan tersebut, burung-burung tersebut tetap diperbolehkan untuk dimanfaatkan. Namun hanya sebatas bagi kepentingan masyarakat lokal, khususnya untuk menghiasi pakaian adat.
Jika merujuk pada website WWF, burung Cenderawasih banyak diburu dan diperdagangkan sebagai sebuah suvenir, baik dalam bentuk hidup atau pun yang sudah diawetkan.
ADVERTISEMENT
Buruknya lagi, jika melihat data dari IUCN (International Union For The Conservation of Nature) yang memberikan status ‘hampir terancam’ bagi spesies Cenderawasih Merah itu, tren populasi dari burung tersebut kini dikategorikan sebagai ‘menurun’.
IUCN pun membenarkan dampak dari alih fungsi lahan hingga perburuan liar adalah ancaman-ancaman yang berpengaruh pada keberadaan populasi burung tersebut.

Upaya Perlindungan Cenderawasih

Burung Cenderawasih di di Hutan Nangguo, Sausapor, Tambrauw, Papua Barat. Foto: Dok. Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata
Dalam menanggapi kondisi Cenderawasih yang terancam tersebut, pemerintah pun telah mengupayakan beberapa upaya perlindungan, mulai dari UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Aturan ini memberikan sanksi hukuman 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta bila kedapatan dilanggar.
Selain itu, pemerintah kemudian menerbitkan Surat Edaran Gubernur Papua Nomor 660.1/6501/SET tentang Larangan Penggunaan Burung Cendrawasih Sebagai Aksesoris dan Cinderamata pada tanggal 5 Juni 2017.
ADVERTISEMENT
Aturan ini pun mempertegas aturan 1990 sebelumnya dengan memperjelas hal apa yang tak dapat dilakukan dalam pemanfaatan Cenderawasih. Meski begitu, aturan tersebut tak melarang pemanfaatan burung Cenderawasih sepenuhnya. Sebab aturan tersebut masih memperbolehkan penggunaannya dalam setiap proses adat yang bersifat sakral.
Selain aturan tersebut, pemerintah, melalui Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat pun telah melakukan upaya secara langsung lainnya seperti menetapkan site monitoring, sosialiasi pelestarian hutan dan habitat Cenderawasih, smart patrol dan membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) demi melindungi keberadaan burung Cenderawasih secara menyeluruh.
Dalam melakukan upaya-upaya tersebut, pemerintah sebenarnya tidak bekerja sendiri. Mereka dibantu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Fauna & Flora International.
Maskot PON XX Papua Drawa dan Kangpho terpasang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (14/7/2021). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Sejalan dengan upaya pemerintah itu, lembaga internasional lainnya yang juga tak lelah terlibat dalam pengupayaan bagi perlindungan dan kelestarian hewan-hewan yang terancam punah, termasuk burung Cenderawasih, adalah WWF.
ADVERTISEMENT
Melalui perwakilannya, WWF Indonesia memanfaatkan momen PON XX Papua kemarin untuk mengampanyekan #SAVECENDERAWASIH. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang terdiri dari beberapa aktivitas yang intinya memberikan pemahaman terkait pentingnya keberadaan Cenderawasih untuk ekosistem.
Meski begitu, upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga swasta lainnya dapat dikatakan sebagai segelintir upaya yang dapat dilakukan secara kelompok. Upaya-upaya tersebut masih bisa dimaksimalkan lagi dengan upaya-upaya yang sifatnya individu atau perorangan.
Untuk itu, merujuk website WWF Indonesia, sebagai seorang individu dapat melakukan setidaknya 1 dari 3 hal di bawah ini demi pelestarian hewan yang dijuluki ‘burung dari surga’ itu:
ADVERTISEMENT