Menjalani Hidup di Tujuh Negara yang Dilarang Masuk ke AS

30 Januari 2017 16:54 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Konflik di Aleppo, Suriah (Foto: Reuters/Abdalrhman Ismail)
zoom-in-whitePerbesar
Konflik di Aleppo, Suriah (Foto: Reuters/Abdalrhman Ismail)
Pemerintah Amerika Serikat tidak sepenuhnya salah ketika mengelompokkan tujuh negara mayoritas muslim dalam radar keamanan mereka. Suriah, Iran, Irak, Yaman, Libya, Somalia, dan Sudan memang dikenal dengan daerah konflik dan sarang teroris. Namun generalisir yang diikuti oleh pelarangan paspor terhadap tujuh negara adalah kesalahan besar.
ADVERTISEMENT
Ketujuh negara tersebut awalnya dianggap sebagai "countries of concerned" selama masa pemerintahan presiden Barack Obama. Masuk ke era Presiden Donald Trump, ketujuh negara masuk ke dalam executive draft berupa pelarangan masuk ke wilayah AS.
Melansir data Pew Research, jumlah imigran muslim yang masuk ke AS tidak terlalu signifikan. Suriah (12.486 orang), Somalia (9.012), Irak (7.853 ORANG), Myanmar (3.145 orang), Afghanistan (2.664 orang), dan negara muslim lainnya (3.741 orang). Meskipun arus pengungsi yang masuk ke AS mencapai rekor di tahun 2016, angka tersebut masih jauh di bawah jumlah pengungsi yang membutuhkan suaka.
Kebijakan pembatasan imigran ini begitu ironis jika melihat kondisi kehidupan mereka yang terkepung konflik yang begitu sulit untuk dibayangkan. Tidak ada yang pasti dengan apa yang akan terjadi kehidupan mereka ke depannya. Antara mereka dan dentuman meriam, desingan peluru, dan gemuruh senjata berat tidak mengalami jarak yang berarti.
ADVERTISEMENT
Berikut potret kehidupan tujuh negara yang digelayuti nestapa akibat perang berkepanjangan.
1. Suriah
Konflik di Aleppo, Suriah (Foto: Reuters/Omar Sanadiki)
zoom-in-whitePerbesar
Konflik di Aleppo, Suriah (Foto: Reuters/Omar Sanadiki)
Hidup di Suriah berarti hidup dengan penderitaan tanpa ujung dalam perang selama 7 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, tidak jelas kapan perang akan berakhir, begitu juga kapan kehidupan masyarakat akan kembali normal.
Konflik bersenjata guna menggulingkan Bashar Al Asaad oleh Free Syrian Army (FSA) justru menjadi konflik yang menahun. Belum selesai konflik berlangsung, perang kedatangan pihak baru bernama ISIS. Ditambah, negara lain yang terlibat juga semakin meningkat. Russia, Turki, dan AS ikut menempatkan pasukannya di wilayah Suriah.
Jadilah sitausi rakyat Suriah benar-benar menyedihkan. Bom, serangan, udara, desingan peluru masih menjadi keseharian. Sejauh ini korban yang berjatuhan akibat konflik Suriah telah mencapai sekitar 400 ribu orang, berdasarkan data terbaru PBB.
ADVERTISEMENT
Komisi Pengungsi PBB (UNHCR) menyebutkan jumlah pengungsi asal Suriah pada tahun 2015 mencapai 4 juta orang. Angka itu semakin besar seiring semakin tajamnya konflik yang berlangsung di Aleppo. Hingga saat ini, 700 ribu orang tinggal di kota yang menjadi medan pertempuran dan 6,3 juta warga Suriah berpindah dari kampung halamannya.
2. Libya
Konflik di Libya. (Foto: Reuters.)
zoom-in-whitePerbesar
Konflik di Libya. (Foto: Reuters.)
AS pernah disibukkan dalam membantu perang yang menjatuhkan rezim kediktatoran Khadafi. Ternyata AS sadar bahwa Libya bukan tempat yang mudah ditaklukkan. Konsulat Jenderal AS di Benghazi diserang oleh kelompok bersenjata menjadi tanda awal bahwa kesibukan tentara AS di Libya tidak berhenti di penggulingan Khadafi.
Kejatuhan Khadafi tidak membuat konflik bersenjata mereda. Pasca pemerintahan baru dimulai, masyarakat Libya tidak mendapatkan kemenangan mereka setelah terbebas dari kediktatoran Sang Kolonel selama 40 tahun.
ADVERTISEMENT
Libya juga menjadi medan pertempuran melawan ISIS. Organisasi teror pimpinan Al Baghdadi ini menduduki kota Sirte. Pemerintah baru Libya kemudian dibantu AS melakukan operasi militer untuk membersihkan ISIS dari pesisir utara Libya tersebut. Operasi ini mengakibatkan angka korban perang kembali melonjak pada tahun 2014-2015, mencapai 1.500 orang warga sipil.
Pengungsi dari Libya yang berusaha kabur memenuhi daftar korban insiden kapal karam di laut Mediterrania. Menurut catatan UNHCR, tidak kurang dari 5.000 orang ikut tenggelam bersama kapal yang membawa harapannya mereka ke Eropa.
3. Yaman
Konflik di Yaman. (Foto: Reuters.)
zoom-in-whitePerbesar
Konflik di Yaman. (Foto: Reuters.)
Yaman dikenal sebagai markas Al Qaidah di semenanjung Arab (AQAP), salah satu cabang terbesar Al Qaidah di luar Afghanistan. Perang antara AQAP dan tentara Yaman pecah pada tahun 2009 dan mencapai puncaknya pada tahun 2010.
ADVERTISEMENT
Konflik bersenjata berubah wujud ke arah perebutan kekuasaan. Tentara Arab Saudi ikut terlibat setelah presiden yang mereka dukung, Abd-Rabbu Mansour Hadi, digulingkan oleh pemberontak Houthi dari Yaman utara. Tentu saja AQAP masih bergeliat yang sedikit banyak ikut merusak kehidupan masyarakat Yaman.
Saat ini, perang di Yaman disebut sebagai "forgotten war", karena luput dari pemberitaan media global. Padahal, Yaman adalah negara termiskin di semenanjung Arab. Perang meluas dari ibu kota Sana'a hingga daerah-daerah miskin.
Menurut PBB, perang di Yaman telah membunuh 10 ribu orang dan memaksa 6 juta orang mengungsi.
4. Iran
Konflik di Iran. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Konflik di Iran. (Foto: Reuters)
Kehidupan masyarakat Iran saat ini tidak terlalu dipusingkan oleh konflik bersenjata. Namun banyak warga Iran pergi ke luar wilayah negaranya karena keterbatasan ruang gerak yang disebabkan oleh rezim otoriter pimpinan Ayatullah Khamenei.
ADVERTISEMENT
Di Iran, kebebasan berekspresi adalah barang mahal. Untuk menyatakan pendapat, warga terus dibayangi oleh kekhawatiran akan penyiksaan.
Namun banyak pakar menduga bahwa pelarangan masuk warga Iran ini lebih bersifat politis dibanding faktor pertimbangan keamanan. Trump ingin menunjukkan tekanan kepada rival lama AS tersebut.
5. Somalia
Konflik di Somalia. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Konflik di Somalia. (Foto: Reuters)
Bagi warga Somalia, lebih baik pergi daripada hidup sebagai perompak dan bernafas di bawah penindasan kelompok radikal. Konflik bersenjata telah berkecamuk sejak awal 1991. Tidak ada yang bisa diharapkan tinggal di negara yang menjadi salah satu yang termiskin di dunia sekaligus tergempur oleh konflik bersenjata.
Somalia merupakan negara dengan pemerintahan yang begitu lemah. Otoritas setempat tidak berdaya menghadapi organisasi teror yang bernama Al Shaabaab.
ADVERTISEMENT
Organisasi bernama asli Harakaat Shabaab al-Mujahidin ini dikenal bengis dalam menjalankan aksi teror. Al Shabaab banyak melakukan serangan di ibu kota Khartoum melalui serangan bom bunuh diri yang mengincar pejabat pemerintah. Mereka juga tidak pandang bulu untuk membunuh aktivis kemanusiaan dan anggota medis yang seharusnya dilindungi dalam konflik bersenjata.
Sebanyak 260 ribu pengungsi Somalia mengungsi di Dadaab, Kenya. Kamp pengungsi di Dadaab merupakan salah satu yang terbesar di dunia.
6. Sudan
Konflik di Sudan. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Konflik di Sudan. (Foto: Reuters)
Konflik horizontal meletus di Sudan dan bersifat sektarian. Di utara, Sudan dipimpin dengan kepemimpinan Muslim. Sedangkan di Sudan Selatan merupakan Kristen. Segregasi ini menimbulkan konflik mematikan.
Kekerasan yang dibumbui oleh identitas bisa benar-benar membahayakan. Warga Sudan hidup dalam kebencian satu sama lain karena sentimen yang dibangun warganya. Konflik tidak hanya berlangsung antara pasukan bersenjata, namun juga antar masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT
UNHCR mencatat 265 ribu warga Sudan Selatan menetap di kamp pengungsian.
7. Irak
Perang di Mosul (Foto: Reuters/Muhammad Hamed)
zoom-in-whitePerbesar
Perang di Mosul (Foto: Reuters/Muhammad Hamed)
Sudah berapa generasi warga Irak yang hidup dalam bayang-bayang perang. Mulai dari perang Irak dan Iran di tahun 1980, Perang Teluk pada tahun 1991, hingga invasi militer AS pada tahun 2003, menjadikan kisah perang sebagai narasi hidup bagi tiga generasi.
Setelah menjamu medan pertempuran antar negara, muncul satu masalah baru yaitu ISIS.
Di negara inilah terdapat kota penting ISIS, yaitu Mosul. Mosul saat ini menjadi medan perang antara pasukan Irak dan ISIS, yang oleh PBB disebut "perang kota paling mengerikan setelah Perang Dunia ke II".