Menjejakkan Kaki di Kamp Vokasi Muslim Uighur, Xinjiang
ADVERTISEMENT
Laporan ini dibuat berdasarkan pandangan mata dari Daerah Otonomi Xinjiang, China, pengujung Februari 2019. Dalam lawatan ASEAN Elite Tour 2019, jurnalis Indonesia dan Malaysia, salah satunya kumparan, melihat langsung potret kamp vokasi di wilayah paling barat negeri Tirai Bambu tersebut.
ADVERTISEMENT
Selama lima hari di Xinjiang, kami menyambangi empat kamp, yakni di Artux (Atush) City, Distrik Kashgar, Kabupaten Shule, dan Kabupaten Hotan. Adalah Muslim Uighur, etnis minoritas China yang menjadi penghuni terbanyak.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) per 2018 melaporkan sebanyak satu juta Muslim Uighur yang diduga terpapar radikalisme, terorisme, dan ekstremisme, dimasukkan ke dalam kamp. Tujuannya tak lain untuk melaksanakan program deradikalisasi.
Alih-alih mendapat sambutan positif, empat tempat ini, dan kamp-kamp lainnya yang tersebar tanpa diketahui pasti jumlahnya, sedang disorot dunia atas dugaan persekusi, diskriminasi, indoktrinasi, pencekokan ideologi komunis, hingga paksaan meninggalkan agama.
Versi Presiden Xi Jinping dan jajarannya, kamp itu dibangun untuk menangkal paham radikal dan ekstremis yang tengah menyusupi wilayah barat dan perbatasan. Mereka juga menyebut 'kamp' dengan istilah vocational training center: pusat pelatihan vokasi. Usai dididik sesuai konstitusi China, mereka bisa turun ke masyarakat dengan bekal keterampilan.
Minggu, 24 Februari 2019, bus yang membawa rombongan jurnalis Indonesia-Malaysia berhenti tepat di depan lapangan Atush Vocational Training Center. Tak berapa lama, kepala sekolah, Haereti Julaeti, menyambut kami yang sudah wira-wiri mengambil gambar.
ADVERTISEMENT
Seraya Haereti menjelaskan kapan dan untuk apa bangunan lima lantai itu dibangun, kami melihat lapangan seluas 10 x 15 meter yang diisi puluhan orang berusia 20 tahunan. Para penghuni kamp ini adalah mereka yang dianggap terpapar radikalisme.
Kelompok perempuan bermain bola voli, bulu tangkis, dan tenis meja. Di lapangan seberang--dengan ukuran hampir sama-- kelompok laki-laki fokus bertanding basket, di bawah pengawasan para petugas.
Sama halnya dengan kami yang memantau gerak-gerik, beberapa di antara mereka tertangkap tengah melirik, berbisik, lalu kembali menatap kami dengan guratan senyum.
Dua perempuan di antaranya juga menyapa ramah, "Ni Hao". Tak ada raut wajah takut atau khawatir. Semua tersenyum, terlihat modis, dan perempuan tak segan memoles mekap.
ADVERTISEMENT
Ya, sebagian besar mereka adalah orang-orang yang sejak awal menjadi topik utama tulisan: Uighurs.
"Kamp ini dibangun sejak 2016, menampung hampir 200 peserta," ujar Haereti.
Kami lalu memereteli satu per satu aduan media arus dunia yang menyebutkan bahwa kamp tersebut 'dihantui' pantauan CCTV dan ribuan sipir bersenjata. Dan, ketika kami berkeliling, laporan soal CCTV itu memang benar adanya.
Dimulai dari gerbang utama, tiga hingga empat CCTV terpampang. Termasuk bagian atas tembok beton yang mengelilingi kamp, lengkap dengan lilitan kawat berduri.
Saat diizinkan masuk ke dalam gedung, CCTV juga siaga di sepanjang lorong dan masing-masing kelas. Padahal, jika dilihat dari lokasinya, Atush Vocational Center berada di tengah-tengah Gobi (bukit berbatu) dan jauh dari permukiman, sehingga mustahil jika berniat melarikan diri.
Usai memantau lokasi CCTV, petugas mengarahkan kami melihat ruangan pertama, yakni bilik telepon. Ruangan seluas kurang lebih 7x7 meter tersebut dibagi dalam beberapa sekat dengan fasilitas meja, kursi, dan telepon di masing-masing bilik yang bisa dipakai untuk berkomunikasi dengan keluarga.
ADVERTISEMENT
"Semua murid bisa telepon keluarga mereka sesuka hati, setelah mengikuti pelajaran di kelas," tutur Haereti. Ada dua murid perempuan yang sedang menggunakan telepon saat kami datang.
Tak sampai lima menit, kami dialihkan ke ruangan vokasi atau kejuruan pertama, kelas menjahit. Sekitar dua puluhan murid tengah membuat rompi dengan mesin jahit saat kami tiba.
Di situ, kami berinteraksi dengan salah satu di antara mereka. kumparan lalu berbincang dengan Maidingjiang Yilimu (30), pria berdarah Uighur asal Kecamatan Gedaliang, Atush, yang sudah setahun menempuh pelatihan di kamp ini. Saat berinteraksi, kami dikelilingi lima hingga enam petugas --tanpa senjata-- namun membuat ruang gerak kami cukup terbatas.
Sepuluh menit setelahnya, petugas meminta kami ke ruangan berikutnya, minimarket. Ini salah satu fasilitas yang bisa digunakan mereka untuk berbelanja memenuhi segala kebutuhan, mulai dari makanan ringan, makanan berat, obat, perlengkapan musim dingin, hingga pembalut.
Fasilitas ini juga masuk dalam salah satu kejuruan yang diajarkan, yakni berbisnis dan wirausaha. Begitu pula dengan dua ruangan berikutnya, kelas olahraga dan salon di lantai dua.
Di akhir, kami terhipnotis dengan suguhan tarian etnis Kazakh-Uighur yang disajikan para peserta kejuruan tari. Kami lalu berfoto dan tertawa bersama.
Keesokannya, Senin (26/2), perjalanan dilanjutkan ke Kashgar Vocational Learning Center. Pengawasan di Kashgar tak seketat Atush. Kami sedikit diberi kelonggaran untuk menyusuri area kelas dan berbincang dengan sejumlah murid.
ADVERTISEMENT
Hanya saja pemandangan di lapangan hampir sama. Bermain voli, tenis meja, bulu tangkis dan bola basket --dengan sambutan senyum senada.
Begitu pula suasana di lorong kelas. Mulai dari pantauan CCTV hingga jendela-jendela berlapis teralis besi.
Di Kashgar, kami diajak melihat kamar tidur yang terletak di lantai dua. Dalam satu kamar kira-kira seluas 5x7 meter, terdapat dua ranjang susun (bunk bed) yang bisa ditempati empat murid. Ada satu toilet bersama yang disekat gorden, dengan wastafel dan cermin di sisi atasnya.
Kamar bernuansa biru tersebut juga dilengkapi pendingin ruangan. Meja panjang di tengah diletakkan untuk membatasi kedua bunk bed.
Selebihnya sama. Ruang melukis, menjahit, dan minimarket. Pola penjagaan dan peletakannya serupa.
ADVERTISEMENT
Menutup Kashgar, saat itu kami diarahkan ke kantin dan menyaksikan puluhan murid yang tengah makan siang bersama. Semua terlihat bercengkerama antara satu sama lain, perempuan dan laki-laki, sambil melahap nasi dan sayur brokoli yang diambil sendiri dari petugas di depan mereka.
Sehari usai mengunjungi Kashgar, kami menuju Shule Vocational Learning Center. Dengan pola serupa, petugas mengarahkan kami ke banyak ruangan.
Saat itu pelajaran Bahasa Mandarin, hukum, konstitusi dan perundang-undangan China sedang berlangsung. Dari pengakuan sejumlah murid, mereka begitu antusias mengikuti pelajaran ini.
Dan, lagi-lagi, tak ada ketakutan dari gerak-gerik dan raut wajah mereka seperti yang dibicarakan. Wajah senyum dan pose 'peace' ramai-ramai dilakukan saat kamera ponsel mengarah ke mereka.
27 Februari 2019, kami beralih ke Hotan Vocational Training Center. Penjagaan di Hotan tidak ketat. Aktivitas terlampau sepi.
ADVERTISEMENT
Tak ada murid-murid yang bermain ping pong atau voli seperti sebelum-sebelumnya. Aktivitas belajar mengajar hanya ada di dalam kelas.
Namun, kumparan penasaran dengan bilik telepon --yang katanya bisa dipakai kapanpun mereka mau untuk komunikasi dengan keluarga. Saat kami mencoba saling menelepon ke wartawan lain, saluran tak tersambung.
Rupanya, telepon itu tak bisa sembarang digunakan. Ada kartu akses yang harus diselipkan dalam telepon. Tak diketahui bagaimana sistem kepemilikan dan penggunaan kartu tersebut.
Kamp dan Segala Aturannya
Dimulai dari pukul 08.00 hingga 23.00 waktu Xinjiang. Pukul 08.00, usai bangun tidur di pagi hari, mereka beraktivitas layaknya anak sekolah asrama biasa: mandi, sarapan, olahraga.
Setelah itu kegiatan belajar mengajar di ruang kelas baru akan dimulai pukul 11.00. Mereka digembleng dengan pelajaran bahasa China berjam-jam, belajar vokasi (kejuruan) sesuai pilihan mereka, makan siang, olahraga, dan terus mengulang hingga jam tidur pukul 23.00. Di Xinjiang, wilayah paling barat China, senja memang datang lebih lambat, yakni pukul 23.00.
Kamp Vokasi Akan Terus Berjalan Pun Dihantam Kritik
ADVERTISEMENT
Wakil Menteri Departemen Publisitas Pusat, Jiang Jianguo, sebelumnya mengungkapkan pemerintah akan tetap membuka kamp vokasi itu. Tak peduli dengan desakan Turki --induk klan Uighur-- yang meminta China menutup kamp usai penyanyi berdarah Uighur-Turki, Abdurrahim Heyit, diduga tewas saat menjalani masa tahanan.
Alasannya adalah menangkal serangan. Jianguo bahkan berani mengklaim terdapat lebih dari dua ribuan aksi ekstremisme, radikalisme dan terorisme terjadi di Xinjiang.
Kumpulan informasi tersebut bahkan dimuseumkan. Usai tiba di Urumqi, ibu kota Xinjiang, kami langsung dibawa ke museum 'berdarah'tersebut.
Dalam museum itu dipamerkan foto dan video asli dari rekaman CCTV, tanpa sensor, yang memperlihatkan detik-detik terjadinya serangan dan ledakan di Xinjiang.
Semisal ledakan bom pada 25 Februari 1997 di bus, Urumqi. Sembilan orang tewas. Atau pada 30 Juli 2014, yang diduga tiga warga Uighur membunuh Imam Masjid di Kashgar.
ADVERTISEMENT
Mereka mengklaim dalam 26 bulan terakhir tidak ada ancaman di kawasan Xinjiang.
Xinjiang, sejak dulu, merupakan bagian dari Jalur Sutra untuk mendistribusikan dan mengekspor barang lokal ke wilayah Eropa. Wilayah itu telah menjadi melting pot dari banyak etnis. Dan kini, jalur sutera itu tengah dihidupkan kembali