Menjemput Asa Siswa Kelas Jauh di Pedalaman Aceh

30 Agustus 2022 18:09 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menjemput Asa Siswa Kelas Jauh di Pedalaman Aceh.
 Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menjemput Asa Siswa Kelas Jauh di Pedalaman Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Jalanannya menanjak, terus lurus, lalu ke kiri, kemudian berbelok ke kanan. Mobil yang dikendarai Mahlil (46) terus meliuk-liuk, bahkan tak jarang ia terpaksa menginjak pedal rem dalam-dalam menghindari jalan berlubang dan berlumpur.
ADVERTISEMENT
Pandangan Mahlil tetap fokus ke depan, kedua tangannya menggenggam erat kemudi. Meski, sesekali keningnya mengerut akibat pandangan terhalang kabut yang mengembus kaca mobil.
Bukti-bukit barisan kecil yang mengapit badan jalan menjadi satu-satunya cara untuk memanjakan mata dari rasa kantuk, selama menempuh tiga jam perjalanan dari pusat Kota Takengon menuju ke Kecamatan Rusip Antara, Aceh Tengah.
Ibadah salat Jumat (26/8), baru saja usai tatkala kumparan bersama rombongan Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh tiba di Kemukiman Pameu, Kecamatan Rusip Antara. Mahlil kemudian menghentikan mobil di salah satu persimpangan jalan, kendaraan roda empat hanya bisa berhenti sampai di sana.
“Alhamdulillah kita sudah sampai,” ucap Mahlil yang sudah tiga tahun bertugas menjadi sopir di Disdik Aceh.
ADVERTISEMENT
Rombongan lalu berjalan kaki masuk ke Desa Merandeh Paya, melewati jembatan gantung kecil beralaskan papan. Siang itu, tidak ada aktivitas apa-apa di sana. Suasana perkampungan sepi, beberapa anak-anak masih mengenakan baju koko dan peci jalan beriringan sembari tertawa.
Sebuah balai desa berdinding tripleks terpaut beberapa meter dari bibir sungai, di dalamnya telah disekat menjadi tiga bagian. Selain sebagai tempat berkumpulnya warga, bangunan itu kini dimanfaatkan sebagai ruang belajar kelas jauh SMA Negeri 19 Takengon.
Menjemput Asa Siswa Kelas Jauh di Pedalaman Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Para siswa harus berbagi ruang dengan warga di sana. Pada hari-hari tertentu seperti maulid nabi dan perayaan hari-hari besar lainnya, kelas yang telah disekat itu terpaksa dibongkar.
Kemukiman Pameu merupakan salah satu wilayah pedalaman di Kecamatan Rusip Antara, Aceh Tengah. Di sini hanya terdapat lima desa yaitu Paya Tumpu, Merandeh Paya, Kuala Rawa, Tanjung, dan Laut Jaya.
ADVERTISEMENT
Faktor jarak dan tidak adanya fasilitas pendidikan setingkat SMA, anak-anak Kemukiman Pameu kebanyakan putus sekolah setelah menyelesaikan pendidikan di bangku SMP. Hanya beberapa di antara mereka yang memilih untuk melanjutkan sekolah ke Kota Takengon.
Mereka yang berkeinginan melanjutkan pendidikan terpaksa harus keluar dari desa, dengan jarak tempuh 1,5 jam perjalanan ke sekolah induk SMA Negeri 19 Takengon di jalan Angkup – Pameu, Kelurahan Pantan Tengah. Serta sekitar tiga jam menuju ke pusat ibu kota dengan kondisi jalan dan medan yang begitu sulit.
Menjemput Asa Siswa Kelas Jauh di Pedalaman Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Sekolah kelas jauh di Pameu mulai digagas sejak tiga tahun silam dan telah diresmikan oleh Disdik Aceh. Kelas jarak jauh itu bertujuan untuk mendekatkan akses ke sekolah bagi warga di desa tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari jumlah yang awalnya cuma sembilan siswa perlahan kini bertambah sebanyak 31 orang. Terdiri dari kelas satu sembilan orang, kelas dua 17, dan kelas tiga sebanyak 5 siswa.
Sementara guru yang mengajar berjumlah 12 orang, empat di antaranya warga asli Pameu sedangkan enam lainnya didatangkan dari sekolah induk. Para guru yang berasal dari luar desa tersebut, harus menempuh jarak 1,5 jam menggunakan sepeda motor.
Para guru-guru ini telah disediakan dua rumah untuk ditempati. Satu untuk guru laki-laki, dan satunya lagi untuk guru perempuan. Kendati demikian, di saat kondisi-kondisi tertentu mereka kerap tak bisa hadir seperti cuaca hujan hingga mengalami bocor ban motor di tengah perjalanan.

Nyaman Walau di Pedalaman

Salah seorang siswa, Angga, kini memilih pindah ke sekolah kelas jauh SMAN 19 Takengon. Sebelumnya ia mengenyam pendidikan di salah satu sekolah di Kota Takengon. Faktor jarak dan biaya mahal, menjadi salah satu alasan Angga pindah.
ADVERTISEMENT
“Memilih untuk pindah agar tidak jauh sekali sekolahnya. Selama sekolah di Kota Takengon saya indekos sehingga perlu biaya lebih. Kalau langsung pergi dari sini (Pameu) mana sempat, jauh kali,” ucapnya berbagi cerita.
Selama belajar di kelas jauh, Angga tetap nyaman dan sama seperti di sekolah pada umumnya. Hanya saja, yang membedakan adalah suasana kota dan pedesaan.
“Bedanya cuma suasana mungkin, di sana (kota) lebih ramai. Tapi, kalau belajarnya sama dan tetap nyaman,” katanya.
Hal sama juga dituturkan Muhammad Riza. Semenjak dibukanya kelas jauh di Pameu ia kini memilih kembali ke kampung halaman.
“Saya pindahan juga di kelas jauh ini,” sebutnya.
Menurut Riza, sebelum sekolah kelas jauh itu dibuka kebanyakan dari teman-temannya memilih untuk berhenti sekolah.
Menjemput Asa Siswa Kelas Jauh di Pedalaman Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
“Kalau tidak keluar, tamat SMP langsung tidak sekolah lagi. Kalau orang sini dulu-dulunya banyak gitu. Sekarang semenjak sudah ada kelas jauh, mulai ada lagi minat anak-anak nyambung sekolah,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Angga dan Riza, mengharapkan sekolah kelas jauh di Pameu memiliki gedung permanen dan fasilitas lengkap. Selama ini, kendala mereka harus belajar dalam satu atap mulai dari kelas satu hingga tiga (sekarang kelas 9 hingga 12).
Menjemput Asa Siswa Kelas Jauh di Pedalaman Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
“Kalau lagi belajar itu susahnya ketika mendengar guru menjelaskan. Karena dalam satu ruangan itu disekat menjadi tiga kelas. Jadi, ketika guru di sebelah menjelaskan lain, di sini lain, yang sana lain. Payah mendengarnya,” keluh keduanya.
Selain itu, kata Angga, mereka ikut kasihan saat melihat perjuangan guru-guru yang datang dari jauh demi mengajar ke desa Pameu. Bahkan, ada guru berangkat dari pukul 06.00 WIB pagi menuju ke sekolah dengan kondisi jalan sepi dan jauh.
Menjemput Asa Siswa Kelas Jauh di Pedalaman Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
“Kadang ada guru yang baru datang jam setengah sembilan. Belum lagi kalau ada kendala ketika jalan longsor, sakit, bocor ban motor itu sering karena jarak jauh bengkel pun susah. Tapi kalau dari sisi mengajar enak, sama aja seperti sekolah lainnya,” kata Riza.
ADVERTISEMENT
Meski sekolah di pedalaman, Angga dan Riza tetap memiliki cita-cita tinggi sama halnya seperti anak-anak di perkotaan. Usai tamat SMA, Riza ingin melanjutkan kuliah di fakultas teknik salah satu universitas dan Angga menjadi polisi.
“Tidak malu biasa aja. Walau pun pedalaman kami bangga karena ini desa kami sendiri,” tutur keduanya.

Minat Belajar Rendah hingga Nikah Muda

Perkawinan usia dini juga kerap terjadi di Pameu. Faktor akses pendidikan yang jauh dibarengi masalah ekonomi yang menghimpit, nikah muda jadi alasan dan pilihan remaja di sana.
Salah seorang warga Desa Merandeh Paya, Syarifah (47), mengakui hal itu. Setelah menikah kesempatan perempuan melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA hingga perguruan tinggi jadi terhambat.
“Sebelum ada SMA (kelas jauh) kalau tidak keluar kampung, anak-anak di sini ada yang nikah, dan juga menganggur,” katanya.
ADVERTISEMENT
Syarifah sangat bersyukur sekolah kelas jauh bisa berjalan di Pameu. Akses pendidikan yang dekat kembali menumbuhkan semangat anak-anak di sana untuk melanjutkan pendidikan.
Menjemput Asa Siswa Kelas Jauh di Pedalaman Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
“Sekolahnya jalan, Alhamdulillah sekarang ada kemajuan anak-anak di sini,” ujarnya.
Perjuangan awal mula dibukanya sekolah kelas jauh SMA Negeri 19 Takengon di Pameu, tak terlepas dari hasil jerih payah dan perjuangan sosok seorang guru yang juga sebagai kepala sekolah, Pak Muhammad.
Pertama kali saat ia mulai merencanakan sekolah kelas jauh, kendala yang dihadapi adalah kurangnya semangat dan minat belajar. Hanya sekitar 20 persen anak-anak di sana ingin bersekolah.
“Agak sulit kita untuk membina sebagaimana biasanya. Kemauan anak-anak dan dorongan orang masih lemah. Memang di Pameu ini sejarahnya jauh sebelum Indonesia merdeka, kampung ini sudah ada. Orang tua kebanyakan tidak tamat SD, jadi faktor itulah semangat untuk memberikan pendidikan terhadap anak kurang,” katanya.
ADVERTISEMENT
Beranjak dari rasa keprihatinan itu, perlahan Muhammad mulai berjalan dari rumah ke rumah mengajak dan membina anak-anak di Pameu tentang pentingnya pendidikan.
Muhammad tak segan-segan dan malu, dia nekat mengunjungi rumah-rumah warga di Pameu. Setelah mengumpulkan data anak-anak yang ada di sana, Muhammad langsung mencari dan menemui orangtuanya untuk meyakinkan mereka agar bisa kembali melanjutkan pendidikan.
“Saya ajak pelan-pelan, bukan sekali, bahkan ada ketika kami berkunjung ke satu tempat seorang anak sedang memanjat rambutan. Lalu saya minta dia untuk turun, mengajaknya pulang ke rumah dan meyakinkannya untuk melanjutkan sekolah,” ucapnya.
“Nak, kamu sudah tamat SMP. Sudah pak, kenapa tidak lanjut? Pertama SMA belum ada, kedua ekonomi, dan ketiga kalau keluar biayanya mahal katanya. Lalu saya sampaikan, Alhamdulillah kelas jauh sudah dibuka,” kata Muhammad mengulangi cerita saat dia bertemu salah seorang anak di sana.
ADVERTISEMENT

Mendekatkan Pendidikan ke Depan Pintu Rumah

Selama dua hari berturut-turut sejak Jumat 26 hingga 27 Agustus 2022, Kepala Dinas Pendidikan Aceh Alhudri bersama rombongannya meninjau sekolah kelas jauh yang ada di Aceh Tengah yaitu Pameu dan Wih Dusun Jamat, Kampung Reje Payung, Kecamatan Linge.
Dua lokasi tersebut berada di wilayah pedalaman dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Dari pusat ibu kota Takengon, menuju kedua desa ini harus ditempuh dengan menguras tenaga lantaran faktor jarak yang jauh.
Berbeda halnya seperti di Pameu yang menggunakan balai desa, di Wih Dusun Jamat pembelajaran sekolah kelas jauh menggunakan salah satu ruangan milik SDN 10 Linge.
Menjemput Asa Siswa Kelas Jauh di Pedalaman Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Sementara untuk sekolah induk SMA Negeri 13 Takengon berada di jalan lintas Takengon-Blangkejeren, kilometer 78 Ketapang, Kecamatan Linge. Akan tetapi, jumlah siswa kelas jauh yang ada di Jamat lebih sedikit hanya 10 orang ketimbang siswa di Pameu.
ADVERTISEMENT
Permasalahan dari kedua desa tersebut minat belajar siswa masih rendah dan sama-sama menginginkan adanya gedung sekolah permanen. Namun demikian, keinginan untuk memajukan pendidikan dari para orang tua perlahan mulai tumbuh.
Saat Alhudri bersilaturahmi dengan para guru, tokoh desa, dan orang tua murid dari kedua desa tersebut. Mereka bahkan bersedia menghibahkan tanah demi mendirikan sekolah untuk pendidikan anak-anak di sana.
“Kalau berbicara kondisi dari awal kita rencanakan dulu, tentu saat ini sudah ada perubahan walaupun belum signifikan. Contoh, seperti di Pameu Alhamdulillah berjalan baik,” kata Alhudri.
Alhudri menyebutkan, dibukanya kelas jauh bertujuan untuk mendekatkan akses ke sekolah bagi warga di dua desa tersebut. Dirinya membayangkan betapa jauh anak-anak di sana jika harus bersekolah ke sekolah induk atau ke Kota Takengon.
ADVERTISEMENT
Karena itu, pihaknya berkeinginan akses pendidikan di Aceh itu harus bisa merata baik di kepulauan, pesisir, hingga ke pedalaman Semuanya harus menerima hak sama dalam mendapatkan pendidikan.
“Sehingga, khususnya anak Aceh jangan ada lagi yang tidak memahami atau buta huruf. Itu cukup menyakitkan saya pikir, apalagi dengan konsep Bapak Menteri saat ini merdeka belajar. Belajar itu di mana saja bisa, makanya kita tindak lanjuti terus,” ujarnya.
Lebih lanjut, Alhudri menjelaskan, sementara ini sekolah kelas jauh di Aceh terdapat di tiga lokasi yaitu Sarah Baru, Desa Alue Keujruen, Kemukiman Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan, dan dua di Aceh Tengah.
Menyikapi soal masih rendahnya minat belajar para siswa di pedalaman, sebut Alhudri, tentu hal itu menjadi pekerjaan rumah baginya untuk terus mensosialisasikan betapa pentingnya pendidikan saat ini.
ADVERTISEMENT
“Memang kita akui semangat ini masih kurang, ketika saya tanya pada anak-anak di Jamat ternyata masih banyak teman-teman mereka yang tidak sekolah. Maka kita mengajak mereka untuk sekolah, karena sekolah itu gratis loh,” ucapnya.
Di sisi lain, Alhudri mengimbau, agar pihak sekolah tidak memungut biaya kepada para siswa. Jika pun itu harus dilakukan, maka lebih dulu bermusyawarah dengan para komite.
“Apalagi di pedalaman semakin kita pungut kasihan masyarakat. Kita berkeinginan dekatkan pendidikan itu ke depan pintu rumah masyarakat. Sehingga pelan-pelan kita ajak ayo sekolah. Tetap harus sekolah. Suatu saat kalau mau jadi kepala desa saja jika tidak ada ijazah tidak bisa mencalonkan,” ungkapnya.
Terkait dengan pembangunan gedung sekolah permanen, kata Alhudri, pihaknya akan berusaha untuk mewujudkan keinginan masyarakat tersebut. Akan tetapi warga diminta tidak terlalu terburu-buru, karena membangun gedung sekolah di pedalaman perlu pertimbangan dan harus dipikir secara matang-matang.
ADVERTISEMENT
“Memang warga sudah menyerahkan surat tanah, tetapi pembangunan itu harus betul-betul dipersiapkan seiring dengan pertumbuhan penduduknya. Saya tidak mau bangunan itu nanti jadi monumen dan terbengkalai tidak terpakai,” ucap Alhudri.
“Kalau nanti muridnya sudah banyak ya tidak salahnya kita bangun. Tapi kalau sekarang kita bangun, murid hanya 10 orang itu kan sia-sia saja. Tetapi ini tetap kita persiapkan, seiring waktu murid pasti terus bertambah ya tentu harus kita siapkan sarana dan prasarananya,” kata dia.