Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Menkes Klarifikasi, Skor E Jakarta Tak Terkait Kinerja tapi Risiko Corona
28 Mei 2021 14:40 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Menkes Budi Gunadi Sadikin mengklarifikasi terkait skor E yang didapat DKI Jakarta terkait COVID-19 bukan penilaian penanganan pandemi. Hal itu merupakan indikator risiko dan baru digunakan sebagai analisa internal Kemenkes.
ADVERTISEMENT
"Saya ingin menjelaskan mengenai penilaian penanganan COVID-19 yang khususnya berdampak bagi beberapa provinsi yang dimuat di berita. Sebenarnya apa yang disampaikan, data-data dan angka adalah merupakan indikator risiko berdasarkan pedoman WHO terbaru. Ini digunakan untuk analisa internal Kemenkes, untuk melihat persiapan kita menghadapi lonjakan kasus sesudah libur Lebaran kemarin," dalam siaran pers virtual Kemenkes yang disaksikan kumparan, Jumat (28/5).
Budi melanjutkan, angka-angka dan pedoman yang menentukan skor risiko penanganan pandemi di DKI tersebut juga baru didiskusikan dan masih dipelajari. Ia menegaskan kembali, indikator tersebut bukan penilaian.
"Terus terang saya juga baru diskusikan pedoman atau angka-angka ini sekitar 4 minggu lalu. Kita lagi mempelajari bagaimana penerapannya, apa cocok atau tidak, dan kita sedang melakukan simulasi di beberapa daerah baik provinsi, kabupaten/kota. Indikator risiko ini saya tegaskan bukan merupakan penilaian kerja dari daerah baik provinsi, kabupaten, atau kota," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Indikator tersebut adalah indikator risiko, yang digunakan untuk melihat laju penularan provinsi di suatu daerah. Apabila merujuk pada perkataan Budi, DKI Jakarta mendapat skor E karena risiko penularan COVID-19 yang tinggi dan dalam level waspada dalam penanganan pandemi.
Namun, bukan berarti penanganan COVID-19 di DKI Jakarta buruk.
"Itu indikator risiko yang digunakan Kemenkes secara internal untuk melihat laju penularan pandemi, dan bagaimana kita harus merespons serta kesiapan kapasitas responsnya sesuai masing-masing daerah. Sehingga kita bisa melihat intervensi atau bantuan apa yang kita lakukan," tutur Budi.
"Even kita masih mendalami apa ada faktor-faktor lain yang perlu kita lihat berdasarkan pengalaman sebelumnya untuk bisa memperbaiki respons atau intervensi, kebijakan, keputusan program, yang kita bisa lakukan untuk mengatasi pandemi," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ia menerangkan indikator risiko penangan COVID-19 dibutuhkan untuk mencari kebijakan mana yang paling ampuh untuk mengatasi pandemi. Budi mengingatkan kalau indikator tersebut juga akan berubah-ubah.
"Sudah satu tahun lebih menangani pandemi, Kemenkes melihat tidak ada negara di dunia termasuk WHO juga yang sudah menemukan resep yang lengkap, komperhensif, dan terbukti bisa 100 persen mengatasi pandemi. Semua negara, organisasi di seluruh dunia, masih terus melakukan modifikasi dari kebijakan dan intervensi untuk cari mana yang paling pas," ucapnya.
"Karena kebijakan yang kita lihat baik, tapi 6 bulan kemudian dengan adanya mutasi baru kita harus mengubah kebijakan tersebut. Untuk itu kajian/review atau kebijakan mengenai indikator strategi kita bener-bener untuk mengatasi pandemi, memang selalu berubah-ubah," pungkas dia.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, soal skor E itu disampaikan Wamenkes Dante Saksono dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR, Kamis (27/5). Ia melampirkan tabel terkait skor provinsi dengan 2 indikator.
"Berdasarkan rekomendasi tersebut maka kami perlihatkan bahwa masih banyak daerah yang masih dalam kondisi terkendali. Kecuali DKI, ini kapasitasnya E. Karena di DKI BOR-nya sudah mulai meningkat dan kasus tracingnya tidak terlalu baik," jelas Dante
Tabel yang ditampilkan Wamenkes berjudul "Penilaian Kualitas Pengendalian Pandemi dan Penguatan Kapasitas Respons".