Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Menkes soal AstraZeneca Picu Pembekuan Darah: Kita Sudah Tak Pakai Sejak 2022
21 Mei 2024 13:01 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Menkes Budi Gunadi Sadikin menjelaskan soal isu salah satu KIPI vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca yang disebut bisa memicu pembekuan darah kepada komisi IX DPR.
ADVERTISEMENT
Budi mengatakan, KIPI pembekuan darah atau thrombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) vaksin AstraZeneca sangat jarang terjadi.
"Nah, TTS ini di definisi KIPI memang masuk kategori yang sangat jarang. Sangat jarang artinya kurang dari satu insiden per 10.000 orang. Jadi KIPI ada kelompok-kelompoknya mana KIPI yang umum, pegel-pegel atau demam itu sangat umum tapi kalau sampai sangat jarang, yang sangat jarang ini TTS," kata Budi dalam raker dengan Komisi IX DPR di Senayan, Jakarta, Selasa (21/5).
Apalagi, Budi menuturkan, Indonesia sudah tidak memakai vaksin AstraZeneca sejak tahun 2022. Sejauh ini, pemerintah belum menemukan kasus pembekuan darah akibat vaksin AstraZeneca.
"AstraZeneca sudah tidak dipakai lagi sejak Oktober 2022. Sampai sekarang kita belum menemukan adanya yang terkena KIPI khususnya masalah trombosis ini, TTS," tutur lulusan fisika nuklir dari ITB ini.
Budi menjelaskan, dampak pembekuan darah akibat vaksin juga sudah diidentifikasi sejak awal. Karena itu, saat vaksin diberikan, WHO sudah menjelaskan tentang KIPI yang akan dirasakan oleh penerima.
ADVERTISEMENT
"TTS ini risikonya amat sangat jarang dan sudah diidentifikasi sejak awal, jadi kalau kita lihat laporan WHO ketika pertama kali memberikan approval penggunaan AstraZeneca itu disebut. Saya lupa ada faktornya disebut bahwa ini sudah diidentifikasi seperti ini, tapi risikonya jauh lebih kecil dibandingkan benefitnya," ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan penggunaan AstraZeneca sebagai vaksin karena memiliki lebih banyak manfaat untuk meminimalisasi masyarakat terpapar COVID-19.
"Jadi dia bisa selamatin beberapa orang yang kemungkinan meninggal jadi hidup, tapi dari 1 juta orang mungkin ada satu atau dua yang berisiko kena dan mungkin bisa ditangani sehingga tidak harus meninggal. Jadi WHO pada saat mereka melakukan persetujuan memberikan vaksin ada pertimbangan seperti itu," jelas Budi.
ADVERTISEMENT
Live Update