news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menristek: 94% Alat Kesehatan Masih Impor, Bahkan Alat Penusuk Hidung saat Swab

8 Desember 2020 12:10 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menristek Bambang Brodjonegoro di Istana Merdeka, Jakarta.  Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Menristek Bambang Brodjonegoro di Istana Merdeka, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Menristek Bambang Brodjonegoro mengakui Indonesia telah lama terbuai untuk membeli produk alat kesehatan secara impor. Akibatnya, Indonesia pun sangat bergantung pada produk impor, termasuk ketika pandemi corona melandai.
ADVERTISEMENT
"Ketika COVID-19 menjadi pandemi, barulah kita sadar data-data muncul ke permukaan bahwa 94 persen kebutuhan alat kesehatan kita impor," kata dia dalam keterangannya melalui video conference di Gedung Sate Bandung, Selasa (8/12).
Bambang kemudian mencontohkan pada awal pandemi merebak. Ketika itu, Indonesia harus mengimpor barang sederhana bernama flock swab yang digunakan dalam proses melakukan tes swab. Dengan begitu, tak hanya mesin PCR saja yang diimpor oleh Indonesia.
"Ketika kita mulai melakukan swab test untuk PCR dan bapak ibu harus ditusuk hidung dan tenggorokannya dengan flock swab. Kita tidak menyadari bahwa bukan hanya mesin PCR-nya saja yang impor sampai kepada flock swab yang bentuknya sederhana itu pun harus impor pada waktu itu," ucap dia.
ADVERTISEMENT
Hingga, lanjut Bambang, muncul kesadaran bahwa flock swab merupakan alat sederhana yang dapat dibuat dan dikembangkan di dalam negeri. Hal itu menjadi contoh bila Indonesia begitu bergantung pada impor. Jika ada kebutuhan maka biasanya langsung melihat katalog, lokasi pembelian, dan harganya.
Seorang petugas medis mengambil sampel dari seorang siswa sekolah menengah untuk menguji virus Corona, di Surabaya. Foto: AFP/JUNI KRISWANTO
Soal harga, Bambang mengatakan, Indonesia padahal belum menjadi negara kaya yang ditandai dengan Gross National Income berada di angka 4 ribu dollar. Untuk jadi negara maju, Gross National Income mesti berada di angka 12 hingga 13 ribu dollar. Meski bukan masuk negara maju, Indonesia selalu membeli produk impor.
"Tetapi, entah kenapa kalau membeli produk impor seolah harga itu bukan konstrain, seolah argumennya kita harus mencari yang terbaik tanpa jelas apakah itu betul-betul terbaik atau tidak atau itu berlebihan atau tidak. Nah kemudian dari situlah ekosistem inovasi hasil riset menjadi tidak berkembang ya," ucap dia.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain ketergantungan pada produk impor, lembaga riset atau lembaga penelitian di Indonesia sering kali meneliti didasarkan selera penelitinya tanpa melihat situasi terkini yang terjadi di lingkungannya. Marak muncul publikasi ilmiah tanpa disertai dengan hasil konkret.
"Akhirnya orang menganggap peneliti Indonesia belum sampai ke sana atau pabrik industri belum sampai ke sana sehingga ujungnya kalau ada apa-apa impor saja. Itulah yang akhirnya terefleksikan kita mulai mengalami masa pandemi," kata dia.
Senada dengan Bambang, Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengakui Indonesia terlalu bergantung untuk membeli produk impor.
"Kita disetir dari sisi penggunaan dan pembelian oleh alat-alat yang cenderung impor, kira-kira begitu. Saya melihat, contoh kecil proyek ventilator ini kan sangat afordable harganya untuk fungsi yang sama, dari yang biasa kita beli bertahun-tahun, ibaratnya pakai Avanza cukup dan kenapa harus Mercy?" tutur dia.
ADVERTISEMENT