Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menyangga Tiongkok dengan Diaspora China
3 Februari 2018 11:27 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
ADVERTISEMENT
Meski negara yang ia pimpin telah menjadi kekuatan ekonomi nomor satu dunia versi World Bank , ia tak berhenti memperbesar cadangan kas negara lewat jalan apapun: menimba bergalon-galon minyak di Afrika , membangun kembali Jalur Sutra ke Asia Tengah ke Eropa, sampai membikin puluhan pelabuhan di sepanjang Asia Tenggara hingga Australia.
ADVERTISEMENT
Apapun.
Yang terbaru, Jinping ingin memanfaatkan keturunan etnis China di seluruh dunia untuk turut berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi negeri nenek moyang mereka.
Sejak 1 Februari 2018, pemerintah China menyediakan visa khusus bagi keturunan etnis China di seluruh dunia untuk tinggal atau berkunjung ke China. Visa tersebut memungkinkan mereka tinggal selama lima tahun, atau berkunjung ke China daratan berkali-kali dalam kurun waktu tersebut.
Kebijakan ini adalah upaya pemerintah China untuk menarik pundi-pundi keturunan etnis China di seluruh dunia kembali ke China. Seperti diungkapkan oleh Qu Yunhai dari Bureau of Exit and Entry Administration saat mengumumkan kebijakan ini minggu lalu, langkah ini diharapkan menarik etnis China di luar negeri untuk “berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi China”.
ADVERTISEMENT
Caranya? Sering-sering melakukan bisnis atau bahkan tinggal di China.
Meski begitu, model visa ini bukan pertama kali ada. Sebelumnya, visa serupa sudah ada meski kurun waktu yang diberikan hanya untuk satu tahun.
Selain itu, kemudahan lain yang ditawarkan visa jenis terbaru kali ini adalah tidak adanya batasan soal alasan apa seorang keturunan etnis China dari negara lain berkunjung ke negeri nenek moyangnya.
Yang diperlukan hanya bukti bahwa seseorang adalah keturunan warga negara China. Tak peduli sekarang ia berada di mana, menjadi warga negara mana, atau keturunan nomor berapa dari seorang warga China asli.
Seseorang hanya perlu menunjukkan sebuah dokumen yang menyatakan bahwa ayah, ibu, kakek, nenek, ataupun salah satu kakek moyangnya adalah etnis China yang pernah menjadi warga negara China. Hanya itu.
ADVERTISEMENT
Model visa ini memang berbeda dari yang sebelum-sebelumnya ada. Namun demikian, bukan berarti kebijakan pelonggaran visa yang dikeluarkan pemerintah China eksklusif bagi keturunan etnis China. Awal Januari 2018, Biro State Administration of Foreign Experts Affairs China sudah terlebih dulu mengeluarkan kebijakan pelonggaran visa untuk Foreign High-end Talent (Talenta Top Asing).
Mereka yang dianggap termasuk dalam kategori Talenta Top Asing tersebut akan diberi sertifikat khusus. Sertifikat ini nantinya menjadi syarat dari visa gratis tinggal dan berkunjung yang berlaku selama 10 tahun.
Menurut pedoman yang dikeluarkan pemerintah China, yang dimaksud Talenta Top Asing antara lain peraih hadiah Nobel, editor senior yang bekerja di media milik pemerintah China di luar negeri, pelatih dan pemain asing di klub-klub olah raga di China, mahasiswa post-doctoral dari universitas kelas dunia di luar China, dan warga asing yang punya pendapatan enam kali lipat dari pendapatan rata-rata warga China (sekitar Rp 200 juta).
ADVERTISEMENT
Kebijakan pelonggaran visa bertujuan untuk meningkatkan jumlah warga asing berkeahlian khusus agar tinggal dan bekerja di China. Visa ini khususnya ditujukan bagi para ahli di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan, yang dinilai sebagai faktor pendorong melejitnya pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Randy Wirasta Nandyatama, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan pemerhati China, berpendapat kebijakan China tersebut tidaklah aneh. Dan China bukan satu-satunya.
“India misalnya, telah memiliki kebijakan kemudahan visa bagi warga keturunan India sejak 2002,” kata dia kepada kumparan, Jumat (2/2).
Pada 2002, pemerintah India mengeluarkan Persons of Indian Origin Card atau Kartu Keturunan India. Kartu ini diberikan pada keturunan India yang berkewarganegaraan selain Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, China, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka.
ADVERTISEMENT
Pemegang kartu itu mendapat hak khusus seperti visa gratis untuk memasuki India lebih dari enam bulan, bahkan berhak memperoleh fasilitas ekonomi dan pendidikan meski tidak mendapatkan hak memilih dalam pemilu. Kebijakan ini berakhir pada Januari 2015, digantikan kartu Overseas Citizen of India.
“Indonesia pun sebenarnya mencoba memberikan kebijakan yang senada melalui Kartu Masyarakat Indonesia di Luar Negeri. Namun tampaknya kebijakan ini minimum manfaatnya bagi warga keturunan Indonesia di luar negeri,” ujar Randy.
Upaya menarik keturunan etnis China untuk kembali ke negeri nenek moyangnya seperti yang dilakukan Xi Jinping bukanlah hal aneh --meski tetap menarik dan penting.
Selama ini, keturunan etnis China yang berada di luar negeri terus menjadi pilar penting, baik dalam perkembangan politik dan ekonomi China.
ADVERTISEMENT
Dampak trivial, misalnya, terbukti pada Bapak Bangsa Republik Rakyat China sendiri, Sun Yat Sen. Tak hanya terpengaruh imigran China yang pernah ke luar negeri, Yat Sen pernah merasakan sendiri hidup sebagai imigran di negeri orang yang akhirnya memberi pengaruh besar ke pemikirannya.
Sejak umur 13 tahun pada 1878, Sun Yat Sen tinggal bersama kakaknya, Sun Mei, di Honolulu, Kerajaan Hawaii. Di sana, ia tergabung dalam Sekolah Iolani. Ia belajar Bahasa Inggris, sejarah Kerajaan Inggris, matematika, ilmu pengetahuan, dan sejarah Kekristenan. Ia bahkan sempat menjajal Oahu College (kini Punahou School) selama satu semester, dan kembali ke China pada 1883.
Menurut beberapa akademisi, misalnya Lorenz Gonschor dalam Revisiting the Hawaiian Influence on the Political Thought of Sun Yat-sen (2017) maupun Zhuang Guotu, profesor dari Universitas Xiamen, masa tinggal di Hawaii itu memberikan dampak besar bagi pemikiran Sun Yat Sen.
ADVERTISEMENT
Yat Sen melihat Kerajaan Hawaii sebagai model untuk visinya membangun China modern. Selain itu, visi Yat Sen soal China modern yang anti-imperialis, aktif secara politik, dan memiliki teknologi modern, mirip dengan kondisi Kerajaan Hawaii yang ia rasakan saat itu.
Singkatnya, pendidikan dan masa menjadi imigran Yat Sen di Honolulu menjadi bekal awalnya dalam menggulingkan Dinasi Qing --dinasti terakhir di Tiongkok.
Warga China di luar negeri kembali punya pengaruh penting di masa pemerintahan Deng Xiaoping. Kebijakan Xiaoping mereformasi dan membuat China lebih terbuka di akhir dekade 1970-an, menurut Zhuang Guotu, telah menempatkan imigran China di posisi yang unik.
“Itulah mengapa, untuk menarik investasi yang lebih banyak, ia (Xiaoping) membuat zona ekonomi khusus di daerah-daerah yang merupakan asal kebanyakan para imigran,” jelas Guotu dalam wawancara dengan Asia Nikkei , April 2017.
ADVERTISEMENT
Xiamen, Fujian adalah salah satunya. Ibu kota provinsi yang terletak di tenggara China dan berbatasan dengan Taiwan itu menjadi satu dari lima zona ekonomi spesial di China selain Shenzhen, Zhuhai, Shantou, dan Kashgar.
Fujian pun secara umum merasakan dampak zona ekonomi khusus tersebut. Menurut Guotu, inilah tempat asal orang-orang etnis China yang kini sukses berbisnis di Filipina, Indonesia, dan Singapura.
Pun di Thailand, populasi imigran China yang besar berasal dari Chaozhou, sebuah daerah yang secara kultur amat dekat dengan Fujian.
“Kalau tidak karena imigran-imigran China, reformasi dan kebijakan terbuka China akan butuh waktu lebih lama lagi untuk sukses,” kata Guotu.
Per April 2017, jumlah imigran China, termasuk mereka yang sudah berkewarganegaraan lain, diperkirakan mencapai 60 juta orang. Angka itu, dalam sudut pandang jumlah populasi, setara dengan negara berpenduduk terbanyak ke-25.
ADVERTISEMENT
Jumlah tersebut juga akan terus meningkat dengan naiknya orang-orang China yang berkuliah di luar negeri. Saat ini, China menjadi negara dengan jumlah mahasiswa terbanyak yang berkuliah di luar negeri.
China memang sempat kesulitan mengembalikan mahasiswa-mahasiswa tersebut ke negaranya. Laporan Reuters tahun 2008, mengutip ucapan pemerintah China, menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa mereka yang berkuliah di luar negeri dan kembali ke China hanya mencapai 25 persen.
Tak hanya soal jumlah orang, aset yang dikuasai keturunan etnis China di luar negeri pun sangat besar: USD 2,5 triliun. Jumlah tersebut setara dengan aset negara terbesar kedelapan di dunia. Sementara Leo Suryadinata dalam The Rise of China and the Chinese Overseas (2017) mengatakan, estimasi aset diaspora China mencapai USD 5 triliun.
ADVERTISEMENT
Maka, wajar saja kalau Jinping menginginkan orang-orang terkaya dari etnisnya kembali ke China.
Lu Miao dan Huiyao Wang dalam Evolution of China’s Immigration Policies: Visa Polices and Talent Attraction Programs (2017) berpendapat, langkah pemerintah China sudah tepat, mengingat mengembalikan orang-orang China sukses di luar negeri merupakan langkah penting bagi strategi ekonomi Tiongkok selanjutnya.
Menurut mereka, mengembalikan orang-orang China dari luar negeri amat vital bagi transisi ekonomi China. Sebab saat ini China tengah bergerak dari ketergantungan pada industri berat dan manufaktur, ke metode ekonomi baru yang mengandalkan kewirausahaan dan inovasi.
“Orang-orang yang kembali dari luar negeri inilah yang seharusnya menjadi agen perubahan penting pada proses ini.”
ADVERTISEMENT
===============
Simak ulasan mendalam lain dengan mengikuti topik Outline .