news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menyapa Masyarakat Jawa di Desa Transmigrasi Halmahera Utara

3 Agustus 2018 19:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Desa Makarti, Desa Transmigrasi di Halmahera Utara, Jumat (3/8). (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Desa Makarti, Desa Transmigrasi di Halmahera Utara, Jumat (3/8). (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tim Dompet Dhuafa bersama kumparan berkesempatan meninjau Desa Transmigrasi di Halmahera Utara, tepatnya di Desa Makarti, Kecamatan Kao Barat, Halmahera Utara. Di desa ini, tim Dompet Dhuafa melaksanakan quality control (QC) sapi-sapi yang akan dijadikan hewan kurban Idul Adha 1439 H.
ADVERTISEMENT
Desa Makarti merupakan salah satu wilayah penyokong ketersediaan sapi di Halmahera Utara. Jika ditelisik lebih jauh, penduduk desa ini sebagian besar bersuku Jawa, baik dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Ya, mereka adalah masyarakat keturunan Jawa yang ikut dalam program transmigrasi pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto pada 1991. Jadi jangan kaget jika datang ke desa ini, bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat adalah bahasa Jawa.
Dari kejauhan desa dengan 172 KK ini memang sudah tampak beda daripada kebanyakan desa di Halmahera Utara. Yang tampak jelas terlihat, gapura desa berbentuk gunungan, persis gapura desa yang ada di Jawa. Rumah bertembok semen, jalan beraspal, dan ketersediaan listrik membuat Desa Makarti dinilai sebagai desa transmigrasi yang cukup maju.
ADVERTISEMENT
Perekonomian Halmahera Utara Meningkat
Desa Makarti, Desa Transmigrasi di Halmahera Utara, Jumat (3/8). (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Desa Makarti, Desa Transmigrasi di Halmahera Utara, Jumat (3/8). (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
Mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani dan peternak sapi. Profesi ini cukup unik di Halmahera Utara, pasalnya mayoritas penduduk lokal berprofesi sebagai pedagang kopra. Terlebih kondisi geografis Pulau Halmahera susah dan jarang diolah sebagai lahan pertanian.
Pertanian di Desa Makarti cukup membantu ketersediaan beras di Halmahera Utara, khususnya di Kecamatan Kao Barat. Lahan pertanian ini merupakan bantuan pemerintah Orde Baru, seluas 2 hektare termasuk tanah untuk tempat tinggal.
Kemajuan ini seakan mendobrak pandangan bahwa pembangunan desa transmigrasi di luar Pulau Jawa tertinggal jauh dari desa di Pulau Jawa. Namun, untuk mencapai kemajuan ini, masyarakat Desa Makarti harus melewati sekelumit masalah masyarakat transmigrasi. Mulai dari bantuan pemerintah yang tak tepat sasaran hingga konflik masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
“Sekarang banyak bantuan pemerintah sudah sampai ke tangan warga. Kalau dulu pas awal-awal ada bantuan tapi banyak bantuan yang tak sampai ke warga,” kata Jarno, salah seorang warga Desa Makarti di lokasi, Jumat (3/8).
Jarno, salah seorang warga Desa Makarti, Jumat (3/8) (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jarno, salah seorang warga Desa Makarti, Jumat (3/8) (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
Meski demikian, kata Jarno, lambat laut bantuan dan kepekaan pemerintah terhadap Desa Makarti mulai berjalan setelah Orde Baru. Penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat dari pemerintah mulai ditingkatkan, khususnya di daerah pelosok.
“Sekarang jalan aspal, masyarakat sudah bisa bangun rumah pakai semen, dulu pakai kayu,” jelas pria keturunan Banyuwangi, Jawa Timur, itu.
Jarno pindah ke Halmahera Utara bersama ayah dan ibunya pada 1991. Saat itu, kata Jarno, masyarakat Jawa banyak yang kaget dengan kondisi geografis dan sosial masyarakat Halmahera Utara. Hampir setengah dari masyarakat tak betah dan pulang ke Jawa.
ADVERTISEMENT
“Dulu akses memang susah, kita yang biasanya bertani di Jawa kudu mulai lagi bercocok tanam, mulai dari awal. Kondisi masyarakat asli sini kan beda sama Jawa. Pada syok,” bebernya.
Desa Makarti, Desa Transmigrasi di Halmahera Utara, Jumat (3/8). (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Desa Makarti, Desa Transmigrasi di Halmahera Utara, Jumat (3/8). (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
Meski masalah sosial menjadi salah satu alasan pulangnya warga ke Jawa, namun kata Jarno, sejak awal warga asli Halmahera Utara sudah terbuka dengan para pendatang. Bahkan, warga asli menganggap warga dari Jawa adalah penolong bagi mereka.
“Kami dulu disambut baik, ada perayaan besar-besaran. Para kepala suku senang dengan suku Jawa karena bisa bantu perekonomian warga lokal,” ungkap Jarno.
Pernyataan Jarno soal perekonomian dan pembangunan Halmahera Utara yang tertinggal dari daerah lainnya memang tak berlebihan. Selama ini, perekonomian warga Halmahera Utara hanya berdasarkan pada perkebunan kopra.
ADVERTISEMENT
“Untuk makan mereka jarang makan beras, dulu di sini enggak ada padi dan pertanian. Makanya mereka senang dengan kami. Kami ajari mereka bercocok tanam dan bertani,” terangnya.
Desa Makarti, Desa Transmigrasi di Halmahera Utara, Jumat (3/8). (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Desa Makarti, Desa Transmigrasi di Halmahera Utara, Jumat (3/8). (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
Konflik Suku dan Agama
Meski berhubungan baik dengan warga asli Halmahera Utara, namun masalah sosial tetap tak terhindarkan bagi warga Jawa di Desa Makarti. Pasalnya, pada 1999 di Tobelo, Halmahera Utara, sempat dilanda kerusuhan antarsuku dan agama, yang merupakan dampak dari kerusuhan Ambon.
Hal ini yang membuat sebagian warga Jawa di Desa Makarti trauma dan memilih kembali ke Jawa.
“Sebenarnya orang Jawa dengan suku sini aman-aman saja. Konflik itu kan antardesa, suku mereka, antar-agama. Tapi kan warga Desa Makarti tetap khawatir, kalau ikut kena serang. Banyak yang pulang tahun 1999,” cerita Jarno.
ADVERTISEMENT
Desa Makarti memang tak terlibat dalam konflik 1999, namun letak desa yang berada di perlintasan desa yang berseteru, menjadikan warga was-was selama konflik itu. Jarno yang saat itu masih duduk di bangku SMP mengaku sempat merasakan kengerian konflik tersebut.
Desa Makarti, Desa Transmigrasi di Halmahera Utara, Jumat (3/8). (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Desa Makarti, Desa Transmigrasi di Halmahera Utara, Jumat (3/8). (Foto: Kelik Wahyu/kumparan)
“Ya dulu belum ada listrik, masih gelap, suasana jadi makin mencekam. Mereka baw tombak, panah, pedang, lewat depan desa. Tapi tak menyerang warga Jawa, tapi kita tetap takut kan, namanya rusuh bisa siapa saja kena,” kenang Jarno.
Jarno mengatakan, warga Desa Makarti sebenarnya mendapatkan jaminan keselamatan dari para ketua suku. Namun, warga Desa Makarti harus menyediakan konsumsi bagi warga lokal yang akan berperang.
Akibat konflik yang tak berkesudahan, sebagian besar warga Desa Makarti lebih memilih dievakuasi dan pulang ke Jawa. Mereka mendapatkan bantuan dari TNI.
ADVERTISEMENT
Sayangnya setelah ditinggal penghuninya, Desa Makarti turut menjadi wilayah yang dibakar dan dijarah oleh warga asli yang berperang. Padahal saat itu, Desa Makarti akan panen padi besar-besaran.
Warga Jawa Diminta Kembali ke Halmahera Utara
Awal tahun 2000 konflik akhirnya selesai. Warga Desa Makarti yang pulang ke Jawa diminta untuk kembali ke Halmahera Utara. Bahkan, para kepala suku datang secara langsung ke Jawa untuk meminta kesediaan warga Jawa kembali ke Desa Makarti.
“Mereka juga mikir pembangunan kalau enggak ada orang Jawa, daerah sini enggak berkembang, karena enggak ada yang mengolah,” pungkas Jarno.
Kini 11 tahun berlalu, kondisi Halmahera Utara telah damai. Masyarakat mayoritas dan minoritas saling bergotong royong membangun Halmahera Utara lebih baik. Pun Desa Makartai yang berisi para pendatang nyatanya dapat terus berkembang hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Keberadaan Desa Makarti dan desa-desa transmigrasi di Halmahera Utara berperan penting dalam perekonomian daerah. Pemerintah diharapkan dapat terus memperhatikan desa transmigrasi dan pemerataan kesejahteraan rakyat hingga ke pelosok Indonesia.