news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menyelamatkan Generasi Muda dari Kecanduan Rebusan Pembalut

22 November 2018 11:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Spesial Konten Mabuk Rebusan Pembalut (Foto: Fira Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Spesial Konten Mabuk Rebusan Pembalut (Foto: Fira Andrianto/kumparan)
ADVERTISEMENT
Bodi (bukan nama sebenarnya), remaja berusia 17 tahun itu masih rutin menjalani rehabilitasi rawat jalan di sebuah panti di kawasan Demak, Jawa Tengah. Seminggu sekali dia datang untuk mengikuti kegiatan yang diadakan oleh panti demi pemulihan diri.
ADVERTISEMENT
Sehari-hari Bodi menghabiskan waktu di jalanan, mulai dari mengamen hingga berkumpul dengan teman-teman. Meski masih memiliki orang tua, namun Bodi lebih memilih jalanan sebagai tempat asuhan.
Bodi mengaku sudah menjadi anak jalanan dan mengonsumsi berbagai macam pil penenang sejak umur 9 tahun. Aktivitas hariannya ngamen keliling kota Demak dan minta makan siang dengan paksa di warung-warung makan.
“Ya ngamen terus minta makan di rumah-rumah makan seperti itu to, dan uangnya buat beli minuman keras,” kata Bodi saat ditemui kumparan di sebuah panti rehab di Desa Sayung, Demak, Kamis (15/11).
Ilustrasi Mabuk Rebusan Pembalut. (Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mabuk Rebusan Pembalut. (Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan)
Bersama dengan teman-temannya dia kerap meracik ramuan untuk mabuk, salah satunya dengan minum air rebusan pembalut. Terhitung, sudah 4 kali Bodi minum air rebusan pembalut wanita agar bisa merasakan ‘fly’. Meski nyatanya, jelas-jelas BNN dan peneliti LIPI menyebut air rebusan pembalut tidak bisa membuat mabuk. Hanya sugesti atau campuran lain yang diduga jadi penyebab mereka mabuk.
ADVERTISEMENT
Bodi dan anak jalanan lainnya adalah contoh bagaimana mabuk pembalut ini menjadi tren di kalangan anak remaja, khususnya mereka yang hidup di jalanan. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Demak, tetapi juga ditemukan di beberapa daerah seperti Grobogon, Pati, Kudus, Rembang, Semarang, Karawang, Bekasi, Jakarta hingga Belitung.
Hal ini membuat prihatin Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Menurut Komisioner KPAI Retno Listyarti pilihan remaja untuk mabuk dengan rebusan pembalut ini merupakan kegiatan coba-coba, dan juga dorongan dari faktor ekonomipilihan remaja untuk mabuk dengan rebusan pembalut ini merupakan kegiatan coba-coba, dan juga dorongan dari faktor ekonomi.
“Faktor ekonomi membuat mereka memilih rebusan air pembalut karena tidak memiliki uang membeli narkoba, sabu dan minuman yang memabukkan lainnya, kata Retno saat ditemui kumparan di Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (17/11).
Retno Listyarti di Women Talk LBH Jakarta (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Retno Listyarti di Women Talk LBH Jakarta (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Faktor lainnya yang menjadi pemicu adalah lingkungan dan minimnya pengawasan keluarga. Di kasus anak-anak jalanan ini, tanggung jawab bukan hanya ada pada orang tua, tetapi juga jadi tanggung jawab Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas PPA, hingga Dinas Kesehatan. Harusnya mereka bisa memberikan perhatian lebih pada kasus ini.
ADVERTISEMENT
"Mestinya duduk bareng, Dinas PPA perdampingan psikologis misalnya, atau Dinas Pendidikan yang memikirkan pendidikan mereka, mereka kan tidak mungkin sekolah di sekolah reguler, bisa di PKBN (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). PKBN banyak yang negeri juga jadi bisa dibiayai oleh pemerintah, kemudian Dinsos yang ngurusin rumah singgah dan kesehatan ya Dinas Kesehatan," ujar Retno.
Retno menyarankan agar pemerintah bisa membedakan sistem sekolah untuk anak-anak jalanan agar mereka betah menjalankan pendidikannya. Seperti durasi belajar di sekolah, anak jalanan sebaiknya tak lebih dari 3 jam, karena mereka cenderung cepat bosan.
Selebihnya mereka bisa gunakan untuk belajar di luar mata pelajaran seperti bernyanyi, belajar alat musik, atau belajar apa yang mereka senangi. Mereka juga sebaiknya tetap diizinkan bekerja.
ADVERTISEMENT
Retno mencontohkan sistem pendidikan yang diterapkan oleh Sanggar Akar di Jakarta Timur. Di sana anak-anak jalanan tidak diberi pelajaran seperti sekolah pada umumnya. Mereka lebih banyak diajarkan olah vokal untuk bekal mengamen.
“Guru mengajak untuk belajar nyanyi agar pas ngamen suara bagus dan dapat uang, diajarkan alat musik, akhirnya jumlah mereka banyak, dan seiring dengan itu lalu diajarkan baca tulis, berhitung, bahasa Inggris," kata Retno
Menurutnya, upaya pemerintah untuk melayani anak jalanan dengan baik bisa mencegah kasus serupa tak terulang. Tak hanya itu, dengan pola didik yang benar, anak-anak jalanan bisa mendapatkan masa depan yang lebih baik.
-----------------------------------------------------
Simak penjelasan lainnya dalam konten spesial dengan follow topik Mabuk Rebusan Pembalut.
ADVERTISEMENT