Menyelami Dunia Fans JKT48, Wota dan Cerita yang Melatarinya

15 Juli 2023 10:31 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wota saat nonton konser JKT48 di Pakansari, Bogor. Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wota saat nonton konser JKT48 di Pakansari, Bogor. Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
JKT48 adalah sebuah anomali. Ia melawan keteraturan yang dianggap lazim dalam industri musik di Indonesia. Idol Group itu, misalnya, punya 210 member yang tersebar di 11 generasi. Mereka juga punya teater pribadi di fX Sudirman. Itu semua kemudian digenapi dengan keberadaan fans fanatik yang seringkali dicap sebagai wota.
ADVERTISEMENT
Wota adalah bahan bakar yang membuat JKT48 tetap menyala. Mereka biasanya adalah para pemuda tanggung hingga pria paruh baya yang berseliweran membawa light stick. Mereka memang terlihat pendiam sebelum pertunjukan dimulai. Tapi ekspresi itu segera berubah ketika JKT48 muncul dan musik mulai diputar.
Teriakan-teriakan chant mix dari wota pun akan bertalu-talu. Menyemangati para gadis berpakaian seragam yang menari di atas panggung.
Wota saat nonton konser JKT48 di Pakansari, Bogor. Foto: Rizki Baiquni Pratama/kumparan

Serba-serbi Fans JKT48

Menurut Peneliti Budaya Populer BRIN, Ranny Rastati, istilah wota yang melekat pada JKT48 sebetulnya tidak sepenunya tepat. Sebab, menurutnya, istilah tersebut merujuk pada idol group secara umum. Bukan hanya terbatas pada 48 Familly, apalagi JKT48 saja.
Istilah wota juga erat kaitannya dengan otaku yang dulunya berarti penggemar budaya pop Jepang. Namun kini maknanya menyempit jadi orang-orang yang suka manga/komik.
ADVERTISEMENT
"Ketika budaya pop Jepang lain berkembang seperti idol group, para fans ini merasa tidak cocok ketika mendefinisikan diri sebagai otaku. Akhirnya dikenallah istilah lain yaitu wota untuk mendefinisikan fans idol group jepang seperti AKB48 dan JKT48. Wota sendiri berasal dari kata wotaku (sama dengan otaku), lalu disingkat menjadi wota," kata Ranny saat dihubungi kumparan, Jumat (14/7).
Peneliti BRIN Ranny Rastati. Foto: Dok. Pribadi
Berdasarkan survei yang dirilis Mamen.id pada 22 Oktober 2020, mayoritas pekerjaan utama dari fans JKT48 adalah mahasiswa (41,3%). Diikuti dengan pegawai swasta (23,6%) dan pelajar (14%). Ada pula fans yang berasal dari PNS hingga ibu rumah tangga.
Mamen.id merupakan media bagi fans JKT48 untuk mengaktualisasikan diri. Situs itu lahir dari gagasan Shania Gracia (member JKT48 generasi ketiga). Dalam survei ini, respondennya adalah 1.000 orang yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, hingga Makassar.
ADVERTISEMENT
Survei itu disebar secara online ke komunitas-komunitas fans JKT48 sejak 31 Agustus 2020 hingga 13 September 2020. Diketahui pula bahwa 78,1 persen wota adalah laki-laki. Sementara 21,9 persen sisanya adalah perempuan.
Ranny lalu menyebut ada sejumlah alasan mengapa para wota ini terus bertahan. Tak terkecuali dari loyalitas fans-fans militan yang umurnya sudah kepala tiga ke atas. Mereka ini kerap muncul di sejumlah panggung konser, serta di tempat sakral bagi para fans–Theater JKT48.
Di lantai empat Mal fX Sudirman itu, sejumlah kaum adam memang biasa tampil super rapi. Ada yang pakai kemeja, batik, serta pantofel sebagai alas kaki. Mereka ini adalah fans setia JKT48 yang sengaja menyisihkan waktu demi menonton idolanya beraksi sepulang mereka dari kantor. Biasanya dimulai pukul 19.00 WIB.
ADVERTISEMENT
"Pertama, karena visual para member itu cantik, imut, menggemaskan. Visual seperti ini yang disukai laki-laki. Kedua, dengan member yang berganti-ganti (sistem graduation), grup ini jadi fresh terus dan tidak membosankan fans. Ketiga, untuk mengikuti aktivitas fandom secara regular kan perlu uang," kata dia.
Fans JKT48 antri di loket penjualan tiket. Foto: Niken Nurani/kumparan
Menurut Ranny, para fans ini masa kecilnya diisi dengan menonton dan mendengarkan OST anime. Oleh sebab itu, kata dia, selera musik yang terbangun adalah jejepangan yang penyanyinya bersuara kawai/imut.
Suara kawai itu kemudian dipertebal dengan seragam sekolah yang biasa digunakan JKT48. Ranny menyebut seragam memang lazim ditemukan di anime dan manga Jepang. Awalnya, kata dia, seragam sekolah (seifuku) itu dipakai di Jepang pada awal 1800-an sebagai bentuk modernisasi Jepang.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada 1920-an, kata Ranny, siswa-siswi Jepang mulai memakai seragam kerah sailor sebagai bentuk kesetaraan gender. Seragam ini lalu banyak dipakai di anime dan manga sebagai upaya dalam menunjukkan sisi familiar kehidupan sehari-hari di Jepang.
"Seragam itu menyimbolkan masa muda, disiplin, dan persatuan kelompok. Makanya idol group seperti AKB48/JKT48 masih pakai seragam sebagai simbol identitas anak muda dan juga simbol persatuan," katanya.
JKT48 di Pesta Bebas Berselancar. Foto: Alexander Vito/kumparan
Persoalannya, konsep seragam yang digunakan member JKT48 seringkali disalahartikan. Salah satu fans JKT48, Dhimas Ginanjar, menyebut ada saja orang yang mengaitkan JKT48 dengan hal-hal negatif seperti lolita complex hingga pedofilia.
"Saya punya prinsip, mereka yang bukan fans JKT48 akan melihat cerminan penggemar JKT48 melalui perilaku penggemarnya, termasuk saya. Saya memilih untuk melakukan hal positif, mengenalkan dengan cara yang baik, supaya mereka tahu ada fans yang tidak seperti dipikirkan orang-orang itu," kata Dhimas.
Penulis Buku Laptime JKT48 Dhimas Ginanjar. Foto: Iqra Ardini/kumparan
Dhimas kini berusia 37 tahun dan telah memiliki 2 orang anak. Ia mulai mengenal idol group Jepang sejak kuliah pada 2005 silam. Hingga kemudian JKT48 muncul di indonesia pada 11 September 2011. Kecintaanya pada JKT48 itu bahkan mendorongnya untuk menulis buku 'Laptime JKT48: Lima Tahun Penuh Cerita' pada 2017. Buku itu memotret perjalanan JKT48 yang kala itu berusia 5 tahun.
ADVERTISEMENT
"Saya merasa sebagai fans punya tanggung jawab untuk ikut mempopulerkan mereka. Mereka memberikan kesenangan, maka saya menganggap perlu menjaga eksistensi mereka," ungkapnya.

Mengapa Introvert?

Ada sebuah penelitian menarik tentang orang-orang yang suka budaya pop Jepang. Dalam buku berjudul 'Fandom unbound: Otaku culture in a connected world' (2012), disebutkan bahwa mereka yang menyukai budaya pop Jepang cenderung introvert. Mayoritas di antaranya menarik diri secara sosial dan lebih nyaman berkomunikasi melalui internet.
Wota saat nonton konser JKT48. Foto: Instagram/@jkt48
Sosiolog Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho, menilai budaya pop di Jepang tidak serta merta mempengaruhi mereka yang suka idol group atau anime untuk menarik diri dari dunia sosial. Sebaliknya, kata Wahyu, autisme sosial itu justru sudah kandung muncul karena masifnya perkembangan media sosial.
ADVERTISEMENT
"Jadi begini, seolah karena anak muda di Indonesia itu tidak punya kultur atau budaya yang bisa mengartikulasikan karakter dia, akhirnya dia menggunakan budaya luar untuk mengartikulasikan karakternya," kata Wahyu saat dihubungi terpisah.
Menurut Wahyu, fenomena ini mirip dengan booming-nya kaos Osama bin Laden di Tanah Air pada 2000-an. Kaos tersebut, menurutnya, bisa menyimbolkan ketidaksetujuan publik di Indonesia dengan Amerika.
"Buat saya yang lebih bermain adalah budaya Jepang itu ada yang sesuai dengan kepentingan anak muda di sini," katanya.
Sosiolog Universitas Udayana Wahyu Budi Nugroho. Foto: Dok. Pribadi
Meski begitu, kata Wahyu, Tidak ada orang yang betul-betul sendirian di masyarakat. Yang ada hanyalah individu yang belum bertemu dengan individu yang belum memiliki kesamaan minat. Itulah mengapa seorang fans JKT48 yang pendiam bisa menjadi sangat bersemangat saat oshi-nya menari di atas panggung.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, ada banyak orang dewasa yang menyukai JKT48. Menurut Wahyu, itu ada upaya seorang fans untuk meminjam simbol tentang semangat dan gairah dalam hidupnya. Semua itu, kata Wahyu, dilakukan untuk melengkapi sesuatu dalam hidupnya yang selama ini masih kurang.
"Itu upaya untuk membangun identitas naratif agar masuk akal bagi dirinya. Ini lebih ke motivasi untuk fullfilness, keterpenuhan," pungkasnya.