Menyikapi Kejahatan Keji Manusia: Lawan atau Anggap Cobaan?

15 Maret 2019 7:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kejahatan Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kejahatan Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan pencabulan yang dilakukan caleg PKS berinisial AH di Pasaman Barat, Sumatera Barat, membuat kita enggan untuk membayangkannya. Ya mau bagaimana lagi, sebagai ayah yang harusnya melindungi anaknya, AH justru tega mencabuli putrinya itu. Bahkan, perbuatan keji itu berlangsung selama 7 tahun.
ADVERTISEMENT
Padahal semua orang tahu, AH adalah sosok yang terpandang di kampungnya. Dia adalah ahli agama. Lebih banyak tahu firman Tuhan dibandingkan yang lainnya. Jika pencabulan ini benar, harusnya dia tahu bahwa perbuatannya itu keliru tak saja secara moral, tetapi juga berdasarkan agama yang dianutnya.
Kekejian seupa mengingatkan kita pada kasus yang terjadi di Bengkulu pada akhir Februari kemarin. Kala itu, Romi Sepriawan tega membunuh istrinya Erni Susanti yang tengah hamil tua.
Pembunuhan itu sendiri berawal dari cek cok mulut pasangan itu. Romi lalu mengambil sebilah parang dan menebas leher istrinya. Tak cuma itu, dia juga membelah perut sang istri demi mengambil bayi yang dikandung.
Pelaku yang bunuh dan belah perut istrinya di Bengkulu. Foto: Dok. Polres Bengkulu
Kalau dipikir-pikir, harusnya Romi tak mungkin melakukan hal keji tersebut. Itu karena, Romi tahu bahwa dia mencintai Erni. Paling tidak, itu yang diikrarkan olehnya kala memasukan cincin ke tangan istrinya pada akad nikah beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Dalam filsafat, problem kejahatan dan bagaimana memaknainya salah satunya diulas Albert Camus. Filsuf Perancis yang lahir pada 1913 itu melihat kejahatan atau penderitaan selalu ditafsirkan secara dua hal.
Pertama, melihatnya sebagai hal yang biasa dan memang sudah demikian jalan takdirnya. kedua, melihat berita tersebut sebagai hal yang tak pantas dan harus dilawan, bagaimana pun caranya.
Elaborasi Camus terhadap pemaknaan kejahatan itu dengan apik dirangkum dalam novelnya yang berjudul ‘Sampar’. Novel yang diterbitkan pada 1947 itu mengajak siapa pun yang membacanya untuk berpikir bagaimana sebaiknya memahami kejahatan.
Kejahatan dan Bagaimana Memaknainya
Camus bercerita tentang adanya kejahatan berupa wabah sampar (pes) yang menimpa 200 ribu orang di Kota Oran, Aljazair. Kota yang awalnya riuh dan penuh kehangatan itu mendadak menjadi kota mati. Orang-orang dilanda rasa cemas, menderita, bahkan putus asa.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi yang mengerikan itu, muncul seorang dokter bernama Bernard Rieux. Rieux tampil berbeda dengan dokter-dokter lainnya. Sebab, dokter lain hanya mediagnosa tanpa berupaya menyembuhkan.
Namun, tidak dengan Rieux. Dia dengan telaten berusaha menyembuhkan penyakit yang diderita warga Oran. Memang, Rieux paham betul bahwa dia tak bisa melenyapkan penderitaan mereka, selain hanya menundanya. Hingga, kematian demi kematian silih berganti dia saksikan.
Ilustrasi Kota Oran, Aljazair. Foto: Shutter Stock
Di tengah upaya keras yang dilakoni Rieux, muncul pula seorang pastur bernama Paneloux. Peneloux dengan lantang menyebut, wabah penyakit itu disebabkan murka Tuhan.
Bagi Paneloux, Tuhan yang selama ini memberkati Kora Oran kecewa dengan sikap warganya. Untuk itu, Paneloux mendorong agar seisi kota pasrah menerimanya, serta merenungi dosa-dosa yang telah dilakukan.
ADVERTISEMENT
Rieux jelas tak setuju dengan pendapat Paneloux. Bagi dia, Paneloux hanya berbicara tanpa menyaksikan sendiri orang yang sekarat. Rieux menambahkan, apabila dirinya percaya pada Tuhan, maka dia akan berhenti mengobati orang-orang. Justru karena dia tak percaya, sehingga tetap semangat untuk melakukan yang terbaik.
“Karena dunia diatur melalui kematian, mungkin lebih baik jika orang tidak percaya kepada-Nya. Supaya orang berjuang sekuat tenaga melawan kematian tanpa mengangkat pandang ke langit di mana Dia berada, sambil berdiam diri," kata Rieux.
Camus dan Upayanya Melawan Kejahatan
Menurut jurnal yang ditulis Yonky Karman berjudul ‘Antropodisi dan Problematik teodisi’, kritik yang dilontarkan Camus melalui novel tersebut diarahkan untuk teodisi. Suatu pandangan filsafat yang memikirkan keadilan Tuhan. Sekaligus suatu filsafat yang merasionalisasikan kejahatan dengan keberadaan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Bagi Camus, sebagaimana yang ditulis Yonky, ketaksetujuan Rieux terhadap Paneloux merupakan bentuk ateisme modern. Dalam hal ini ditujukan dengan cara mengkritik sikap agamawan yang kerap terperangkap dalam narasi besar tentang Tuhan.
Seolah, Tuhan dapat berbuat sesuka hatinya terhadap manusia. Sementara manusia, hanya dapat pasrah atasnya.
Albert Camus. Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
Karena kejahatan serta penderitaan dapat dirasakan manusia, maka hidup yang dijalani manusia itu, menurut Camus, absurd (tidak masuk akal). Hal itu tergambar dalam sikap Rieux yang meski tahu bahwa dirinya tak bisa berbuat banyak mengatasi wabah sampar, tetapi tetap menolong orang lain.
Dalam sebuah wawancara dengan seniman bernama Émile Simon pada 1948, Camus mengatakan bahwa problem kejahatan itu dilematis. Hal ini karena ada dua aktor yang ‘mungkin’ bermain dalam penciptaan kejahatan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
“Kesulitan terbesar yang tidak dapat diatasi bagi saya adalah masalah kejahatan. Ada kematian orang tak berdosa yang menandakan kesewenang-wenangan Ilahi, tetapi ada juga pembunuhan bayi yang berupa kesewenang-wenangan manusia,” kata Camus.
Ilustrasi Kejahatan. Foto: Shutter Stock
Meski demikian, itu bukan berarti manusia harus menyerah dalam menerima fenomena kejahatan. Sebaliknya, bagi Camus, tokoh Rieux merupakan representasi pahlawan absurd. Yakni, memilih untuk hadir sebaik-baiknya, serta dengan penuh sukacita melaksanakan hal yang bisa dilakukan untuk mengatisipasi datangnya penderitaan.
Dalam The Rebelion, Camus menampik bila filsafatnya dituduh menyodorkan pesimisme. Sebaliknya, Camus justru menawarkan suatu bentuk pemberontakan metafisik terhadap dunia kehidupan.
“Pemberontakan metafisik adalah gerakan di mana manusia memprotes kondisinya dan melawan seluruh ciptaan. Itu adalah metafisik karena ia memperdebatkan tujuan manusia dan penciptaan,” katanya.
Albert Camus. Foto: Dok. Wikimedia Commons
Dengan begitu, sebagaimana yang ditulis Matthew Sharpe dalam ‘Camus, Philosophe: To Return to our Beginnings’, Tuhan bukan lagi sesuatu yang diperhitungkan dalam memaknai kejahatan maupun penderitaan.
ADVERTISEMENT
Ada atau tidaknya Tuhan tak mengubah apa pun. Itu yang menjadi alasan mengapa rasa benci Camus terhadap Tuhan lebih besar daripada kebenciannya terhadap borjuasi maupun kapitalisme.
Memikirkan Kembali Adanya Kejahatan
Lima tahun sebelum menciptakan tokoh Rieux, Camus sudah lebih dulu menciptakan tokoh dengan kepahlawanan yang absurd. Tokoh itu adalah Sisifus yang ada dalam novel ‘The Myth of Sisyphus’.
Dalam novel itu, Sisifus dikisahkan mengerjakan sesuatu yang amat membosankan. Tiap kali Sisifus mengangkat batu besar ke puncak gunung, tiap kali pula batu itu menggelinding jatuh.
Jika sudah demikian, Sisifus akan terus mengulanginya lagi. Dia memang dikutuk Zeus untuk terus melakukan itu.
Sisyphus. Foto: Dok. Wikimedia Commons
Kehidupan Sisifus yang repetitif itu barangkali tak bermakna--absurd. Namun, bagi Camus, kehidupan manusia tak ubahnya seperti Sisifus. Yakni selalu menjumpai situasi yang penuh kontradiksi dan pertanyaan. Selalu bertanya mengapa ada kejahatan, mengapa ada penderitaan, mengapa kebaikan itu tak abadi.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, Sisifus tetap gigih dan tak pernah menyerah. Betapapun sulitnya hidupnya atau bahkan sedemikian tak bermaknanya, kehidupan harus terus berjalan. Hingga kemudian Camus menyebut Sisifus sebagai pahlawan absurd.
“Perjuangan (Sisifus) menuju ke puncak itu sudah cukup mengisi hati manusia; orang harus membayangkan Sisyphus bahagia,” tulisnya.
Dengan demikian, Camus mengajak manusia untuk menyadari kejahatan dan penderitaan sebagai hal yang sementara. Kejahatan memang akan selalu ada, tetapi ini tentang bagaimana cara manusia memandang kejahatan.
Baik Camus, Rieux atau Sisifus adalah contoh dari dua pahlawan absurd karena memahami hal tersebut.
Ilustrasi pahlawan absurd Foto: Shutter Stock
Kata-kata yang diucapkan politikus AS Adlai Stevenson barangkali tepat menggambarkan pemikiran Camus. ‘Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan’. Meski kita tahu, pada akhirnya, lilin tersebut akan habis dan padam. Dan saat kita menyalakannya lagi, kita tahu bahwa lilin tersebut akan padam seperti sebelumnya, saat itulah kegelapan akan kembali tiba.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, upaya Camus melenyapkan Tuhan untuk melihat kejahatan sebagai hal yang harus dihadapi tak lepas dari kritik. Terutama, kritik dari teolog maupun filsuf yang percaya adanya Tuhan.
Para pengkritik Camus berpendapat, tanpa harus menjadi ateisme pun problem kejahatan dapat dijelaskan secara rasional. Seperti yang disodorkan filsuf Inggris Alfred North Whitehead. Filsuf yang lahir pada 1861 itu percaya, kejahatan tercipta dari Tuhan agar manusia belajar mengenai visi kebaikan Tuhan.
Terlepas dari itu semua, Camus telah menantang kita untuk berpikir dua kali dalam memahami kejahatan yang terjadi. Yakni, apakah kita mau pasrah dan berdiam diri atasnya, atau terus berupaya untuk menghentikannya.
Jadi apa rencanamu kala melihat ada kejahatan yang menimpa orang lain, diam atau melawan?
ADVERTISEMENT