Menyoal Pasal Penghinaan Presiden di RKHUP yang Mati Suri

14 Juni 2021 15:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Demo tolak pabrik semen di Kendeng di depan Istana Negara, Jakarta Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Demo tolak pabrik semen di Kendeng di depan Istana Negara, Jakarta Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Draf RKHUP terbaru yang diusulkan pemerintah menuai polemik karena memuat pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. Sebab, pasal itu sudah mati di tangan Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UUD 1945, namun tiba-tiba hidup lagi di gedung DPR.
ADVERTISEMENT
Dalam pasal 218 poin 1 draf RHUP terbaru memuat aturan tentang 'Penyerangan Harkat Martabat Presiden dan Wakil Presiden'. Bagi penghina presiden dan wakil presiden di depan umum akan diancam penjara 3 tahun enam bulan. Berikut bunyi pasalnya:
"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian bunyi pasal tersebut.
Kategori IV diatur dalam Pasal 79 angka 1 huruf d bahwa denda kategori IV sebanyak Rp 200 Juta.
Draf RKHUP juga mengatur ancaman pidana bagi penghina presiden dan wakil presiden di media sosial selama 4 tahun enam bulan.
ADVERTISEMENT
Padahal, MK menilai pasal terkait penghinaan presiden dan wakil presiden tak perlu. MK menyebut martabat presiden dan wakil presiden berhak dihormati secara protokoler. Namun bukan berarti presiden dan wakil presiden mendapat keistimewaan tertentu yang diberikan kepada mereka.
Putusan MK itu membatalkan sejumlah pasal terkait penghinaan presiden dan wakil presiden pada KUHP yang saat ini berlaku, yakni Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137.
"Kedua pemimpin pilihan rakyat tersebut tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkannya memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Terlebih-lebih, Presiden dan Wakil Presiden tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi, kecuali secara prosedural dalam rangka mendukung fungsinya privilege tertentu dapat diberikan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden," bunyi pertimbangan MK dalam putusan dengan nomor perkara 013-022/PUU-IV/2006.
ADVERTISEMENT

Delik Aduan

Presiden Jokowi saat pimpin ratas tentang Pendisiplinan Melawan Covid-19, Istana Kepresidenan Bogor. Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
Kepada DPR, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebut bahwa sejumlah negara pun menerapkan pasal penghinaan pada presiden/wapres. Namun ia pasal ini merupakan delik aduan.
"Kalau di Thailand lebih parah, Pak, jangan coba-coba menghina raja, itu urusannya berat. Bahkan di Jepang sendiri, atau di beberapa negara hal yang lumrah, sekarang kan bedanya dia jadi delik aduan," kata Yasonna, Rabu (9/6).
Menurut dia, kritik dan hinaan merupakan dua hal yang berbeda. Yasonna mengaku dirinya tidak masalah bila mendapat kritikan. Namun, berbeda bila kemudian yang ditujukan kepada dirinya adalah hinaan.
"Saya kan selalu mengatakan kalau saya dikritik 'Menkumham tak becus lapas, imigrasi' that is fine with me," ujar Yasonna.
"Tapi kalau sekali menyerang harkat martabat saya, misalnya saya dikatakan anak haram jadah, wah itu di kampung saya enggak bisa itu, itu enggak bisa, anak PKI lah, 'kau tunjukkan sama saya bahwa saya anak PKI kalau enggak bisa gua jorokin lu," sambungnya.
ADVERTISEMENT

Jokowi Tak Akan Perkarakan Orang yang Menghina

Menkopolhukam Mahfud MD menyebut Jokowi sebetulnya tak mempermasalahkan ada atau tidaknya pasal yang mengatur pidana bagi penghina presiden. Jokowi menganggap ada atau tidaknya pasal itu, tidak terlalu berdampak besar.
Sebab, kata dia, Jokowi selama ini tidak pernah memperkarakan pihak yang melakukan penghinaan kepada dirinya.
"Sebelum jadi Menko dan ada polemik perlu tidaknya pasal penghinaan kepada Presiden masuk KUHP saya menanyakan sikap Pak Jokowi," ujar Mahfud dalam cuitan di akun twitter pribadinya, Kamis (10/6).
"Jawabnya, 'Terserah legislatif, mana yang bermanfaat bagi negara. Kalau bagi saya pribadi, masuk atau tak masuk sama saja, toh saya sering dihina tapi tak pernah memperkarakan'," sambungnya.

Bungkam Pengkritik

SETARA Institute berpandangan penghidupan kembali pasal-pasal penghinaan pada presiden semakin melegitimasi adanya pembungkaman terhadap freedom of expression setiap warga negara.
ADVERTISEMENT
"Bukan tidak mungkin, delik penghinaan terhadap penguasa hanya akan menghambat berbagai kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah. Padahal, dalam negara yang demokratis, partisipasi publik menjadi kunci utama penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan, dan protes maupun kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari partisipasi publik," paparnya.
Apalagi pasal itu nyata-nyata sudah dibatalkan MK. "Penghidupan kembali pasal penghinaan baik terhadap presiden-wakil presiden maupun pemerintah adalah suatu bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK, yang berarti pembangkangan pula terhadap konstitusi," sambungnya.
Lalu seperti apa kelanjutan pasal tersebut? Kita tunggu proses pembahasan pemerintah bersama DPR.