Menyoal Tarif Pajak Royalti Penulis Buku yang Dikeluhkan Tere Liye

6 September 2017 9:43 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Darwis 'Tere Liye' (Foto: Universitas Brawijaya)
zoom-in-whitePerbesar
Darwis 'Tere Liye' (Foto: Universitas Brawijaya)
ADVERTISEMENT
Tere Liye, penulis yang hasil karyanya kerap dijumpai di toko-toko buku, memutus kontraknya dengan penerbit. Dia selanjutnya memilih untuk menulis di laman facebooknya.
ADVERTISEMENT
Pangkal persoalannya adalah masalah pajak bagi penulis. Dia merasa tarif pajak royalti terlampau tinggi, bahkan dia menilai lebih tinggi dibandingkan profesi dokter atau artis sekalipun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, menilai keluhan yang disampaikan Tere Liye tidak berlebihan. Menurut dia, penulis secara administrasi pajak diakui sebagai pekerja bebas, sehingga boleh menghitung pajak dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.
"Intinya, penulis yang penghasilan setahun tidak melebihi Rp 4,8 miliar boleh menggunakan ini, dan penghasilan nettonya diakui (deemed) sebesar 50%, baru dikurangi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan dikenai pajak sesuai tarif berlaku," kata Prastowo seperti dikutip dari laman facebooknya, Rab (6/9).
Yang jadi masalah, kata Prastowo, adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas royalti penulis buku yang dipotong 15% atas jumlah bruto. Tarif tersebut dinilai cukup berat, karena umumnya jatah royalti penulis hanya 10% dari penjualan.
ADVERTISEMENT
Prastowo mencontohkan jika tarif 15% berlaku untuk rentang penghasilan kena pajak antara Rp 150 juta-Rp 250 juta, maka sang penulis setidaknya setara mendapat penghasilan setara Rp 1,5 miliar - Rp 2,5 miliar. Andai satu buku harganya Rp 100 ribu, maka harus bisa menjual 15 ribu eksemplar.
"Fantastis! Karena jumlah potongan pajak lebih besar dibanding kewajiban pajaknya, maka para penulis berpotensi lebih bayar di akhir tahun," kata Prastowo yang juga penulis buku.
Melihat kondisi tersebut, Prastowo menilai tarif PPh pemotongan untuk royalti penulis sebaiknya diturunkan, supaya lebih adil, masuk akal, dan membantu cash flow penulis.
"Apalagi pembayaran royalti biasanya berkala, semesteran. Di sinilah isu fairness relevan. Hak mengkreditkan sebenarnya sudah bagus, terlebih jika diimbangi restitusi yang lebih mudah dan cepat," ujarnya.
ADVERTISEMENT