Menyulap Rawa Menjadi Sawah, Sebuah Terobosan untuk Pertanian

3 September 2019 11:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Lahan sawah rawa di Desa Kolam Kiri Dalam, Kalimantan Selatan Foto: Deshana Ryan Prasastya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
com-Lahan sawah rawa di Desa Kolam Kiri Dalam, Kalimantan Selatan Foto: Deshana Ryan Prasastya/kumparan
Hamid, 39 tahun, terlihat sederhana. Namun di balik kesederhanaannya, Hamid punya harta yang mungkin tidak Anda punya: lahan seluas satu hektare di Desa Kolam Kiri Dalam, Kuala Barito, Kalimantan Selatan. Di atas lahan itulah Hamid mencari sesuap nasi dengan menanam padi.
Tapi berdekade-dekade yang lalu, lahan Hamid tersebut mungkin tidak akan mungkin bisa ditanam padi. Pasalnya, lahannya — serta lahan puluhan petani lainnya di desa yang sama — adalah lahan rawa. Lahan ini kemudian diperbaiki agar bisa menjadi sawah, karena Desa Kolam Kiri Dalam menjadi desa tujuan untuk program transmigrasi pemerintah pada tahun 1970-1971.
“Kita semua di sini ini kan, aslinya transmigran dari Gunungkidul. Tahun 1970 sampai 1971 untuk daerah ini. Dulu daerah ini rawa semua. Ada daratan ini karena ditimbun,” kata Purwanto, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kolam Kiri Dalam I.
Tetap saja, karena sifatnya sebagai bekas rawa, lahan pertanian di Kokida — sebutan untuk Desa Kolam Kiri Dalam — tidak bisa benar-benar efektif sebagai lahan pertanian. Sebabnya, lahan tersebut hanya bisa ditanam dan dipanen sekali selama setahun. Padahal, lahan ini sangat potensial untuk dijadikan lahan pertanian produktif.
Kokida bukan satu-satunya. Di seluruh Indonesia ada begitu banyak lahan rawa yang punya potensi untuk dimanfaatkan untuk menjadi lahan produktif. Menurut data Kementerian Pertanian, jumlahnya mencapai 33,4 juta hektare.
com-Grafis potensi lahan rawa di Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian Foto: PSPKementan/YouTube
Potensi lahan rawa yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi lahan produktif tersebut sangat sayang jika tidak dimaksimalkan. Hal itupun coba dimanfaatkan oleh Kementerian Pertanian, yang melihat lahan rawa dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah persawahan di Indonesia. Apalagi, perkembangan jumlah lahan sawah di Indonesia relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir.
“Indonesia ini mempunyai potensi. Lahan rawa lebak ini lebih kurang 34 juta hektare dan berdasarkan penelitian para ahli, ada lebih kurang 17 juta hektare yang dapat dijadikan sebagai lahan pertanian produktif,” terang Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Sarwo Edhy.
Itulah yang mendorong Kementerian Pertanian melalui Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian pada 2018 lalu membuat sebuah terobosan dengan menghadirkan program Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani atau Serasi. Program ini bertujuan mengubah lahan rawa untuk menjadi lahan persawahan yang produktif dan mengoptimalkan sawah rawa untuk lebih produktif.
Kokida masuk dalam kategori kedua. Lahan rawa di Kokida sudah berubah menjadi lahan sawah yang produktif sejak lama. Namun, lahan ini masih belum optimal karena pengaturan air di Kokida, dulunya, masih belum baik.
com-Sebuah kanal air di Desa Kolam Kiri Dalam. Saluran air ini memastikan lahan persawahan di Kokida terus mendapatkan air dalam jumlah yang lancar sepanjang tahun. Foto: Rony B. Kuncoro/kumparan
“Aslinya, tanah di sini itu tanah produktif. Cuma tata kelolanya—termasuk sistem pengairannya—saja yang belum betul,” terang Purwanto.
“Kalau dibilang musim kemarau panjang kering kalau musim penghujan tergenang, memang sudah tradisinya di pertanian rawa. Jelas itu jadi kendala bagi petani. Sangat berpengaruh di pertanian,” lanjutnya.
Kementan hadir memberikan solusinya lewat program Serasi. Salah satu program yang dijalankan di tahun 2019 ini adalah pengerukan dan pembersihan saluran air, baik saluran sekunder, tersier, maupun mikro. Purwanto menjelaskan, pengerukan saluran air menjadi program pertama yang diwujudkan lewat kerja sama Ditjen PSP dengan para petani di Kokida I.
“Setelah kita mendapatkan program Serasi, kita olah (saluran airnya). Jadi mulai saluran konektornya, mikronya, tersiernya, semuanya diperbaiki,” terang Purwanto.
“Jadi kita diberi bantuan yang jelas, satu untuk pembersihan sungai, yang kedua pembikinan saluran konektor, yang ketiga pemasangan gorong-gorong, dan yang keempat adalah pembikinan saluran mikro,” lanjutnya.
Tidak hanya pengerukan saluran sekunder yang menjadi saluran air utama di area persawahan Kokida I, pembuatan gorong-gorong dan saluran konektor juga menjadi penting bagi para petani. Jika gorong-gorong membantu petani menyalurkan air dari saluran sekunder ke area sawah, saluran konektor berguna menjadi penampung air dari saluran sekunder sebelum masuk ke sawah.
com-Hamid, salah seorang petani di Desa Kolam Kiri Dalam, sedang mengatur pintu air yang mengatur arus air dari saluran sekunder ke saluran konektor. Foto: Muhammad Rezky Agustyananto/kumparan
Selain menjadi penampung air, saluran konektor juga berguna membantu petani menurunkan kadar asam pada air sebelum masuk ke area sawah. Ini menjadi penting karena sebagai lahan sawah rawa, persawahan di Kokida memang rentan dengan kadar asam yang tinggi, baik di air maupun di tanah. Padahal jika air di sawah memiliki kadar asam yang tinggi, padi bisa mati.
Dengan perbaikan saluran air, para petani di Kokida I pun merasakan dampak yang nyata. Jika dulu sawah-sawah di Kokida I hanya bisa dipanen sekali setahun, sekarang hal itu sudah berubah sama sekali. Memanfaatkan bibit padi unggul yang juga sudah mulai digunakan di Kokida, para petani seperti Purwanto dan Hamid kini bahkan bisa panen dua atau bahkan tiga kali dalam setahun.
“Kalau kemarin hasil panennya bisa kita jual setahun sekali, sekarang bisa dua kali. Bisa ada tambahan pendapatan dari hasil itu yang jelas,” aku Purwanto. “Jelas ekonomi keluarga juga ada peningkatan.”
Kementerian Pertanian jelas berharap akan semakin banyak petani yang mendapatkan dampak positif seperti Purwanto berkat program Serasi. Tetapi di luar itu, harapan terbesarnya adalah bagaimana program ini dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan pemanfaatan lahan yang selama ini tidak produktif.
“Kami harapkan dengan program optimalisasi lahan rawa ini, kami dapat meningkatkan produktivitas dari dua ton per hektar menjadi 6-7 ton per hektar. Kemudian meningkatkan indeks prestasi dari satu kali panen menjadi dua kali panen, dan dari dua kali panen menjadi tiga kali panen. Sehingga dapat menyejahterakan petani-petani di lahan rawa dan tentunya meningkatkan produksi secara nasional menuju lumbung pangan dunia,” terang Sarwo Edhy.
“Kita harapkan lahan rawa ini merupakan andalan masa depan bangsa Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan, dan menuju lumbung pangan dunia di 2045,” tutupnya.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama dengan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian.