Covid Section-Cover SQR-Mural

Meragukan Data Kasus Corona di Indonesia

6 April 2020 18:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rapid test corona di Kota Bandung. Foto: ANTARA/Novrian Arbi
zoom-in-whitePerbesar
Rapid test corona di Kota Bandung. Foto: ANTARA/Novrian Arbi

Data kasus corona yang ada dinilai tak mampu merepresentasikan realita. Sebab terlalu sedikit tes, dan terlalu banyak yang tak diketahui.

“Saya meyakini, kasus (COVID-19) kita berlipat-lipat menurut saya. Tapi karena kecepatan ngetes nggak sebanyak yang kita harapkan, maka data-data itu datang seolah-seolah sedikit,” ucap Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat bertelekonferensi, Jumat (3/4).
Pernyataan Ridwan, yang diyakini kebenarannya oleh banyak pihak, berdasarkan pada laporan bahwa 677 orang dari 15 ribu warga yang telah menjalani rapid test dinyatakan positif terjangkit corona. Itu artinya tubuh 677 orang tersebut telah mengeluarkan antibodi sebagai bentuk reaksi alami pertahanan terhadap virus.
Permasalahannya, antibodi baru bisa muncul setelah kurang lebih sepekan virus corona bernama SARS-CoV-2 itu memasuki tubuh manusia. Dengan kata lain, dalam kurun waktu satu minggu, orang tersebut bisa menjadi carrier atau inang bagi virus corona tersebut dan menularkannya pada orang lain.
Andai kata tes pertama hasilnya negatif, orang itu mesti tetap melakukan rapid test kedua. Sebab bisa saja pada saat dites, tubuhnya belum mengeluarkan antibodi. Sementara hasil rapid test juga mesti tetap divalidasi kembali dengan uji swab (sampel lendir) menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).
Sampai hari ini, 6 April 2020, tercatat 252 kasus positif corona di Jawa Barat dan 28 di antaranya meninggal dunia (Case Fatality Rate 11,1 persen).
“Semakin kita banyak mengetes, semakin kita tahu virus-virus ini sedang beredar di mana saja,” ujar RK, sapaan sang gubernur.
Perbandingan rasio tes di sejumlah negara. Foto: Dok. kumparan
Sehari sebelumnya, Ma’ruf Amin juga melakukan teleconference bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Tak jauh berbeda dengan RK, Anies pun memperkirakan bahwa jumlah kasus COVID-19 ini lebih besar dari angka yang tercatat di Kementerian Kesehatan.
Dari 1.124 kasus yang tercatat, 95 di antaranya meninggal dunia. Artinya, rasio kematian di ibu kota mencapai 8,5 persen. “Jadi kalau kita lihat begitu, angka global 4,4 persen, Jakarta angkanya hampir 10 persen case fatality-nya. Ini sangat mengkhawatirkan,” ucap Anies kepada Ma’ruf Amin, Kamis (2/4).
Ia kemudian menambahkan bahwa Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta mencatat sudah ada 401 kematian dengan tata cara penguburan dan pengurusan jenazah COVID-19.
“Misalnya saat ini ada 400 orang meninggal dunia, sebutlah tingkat kematian 10 persen, maka proyeksi kita saat ini sudah ada 4.000 kasus bila itu 10 persen, bila meninggal 5 persen maka kita ada 8.000 kasus di Jakarta,” paparnya.
Bagi Anies, hal tersebut mengindikasikan bahwa data saat ini tak merefleksikan realita di lapangan. Sebab jumlah orang yang dites terlalu sedikit.
“Jadi jumlah yang dites hasil positif tergantung jumlah kecepatan kita testing, kalau yang dites banyak dan orang-orang yang mungkin relevan dengan interaksi mereka yang confirmed positif, mungkin kita temukan angka lebih tinggi.”
Berapa kemampuan tes swab dengan metode PCR yang dimiliki Indonesia?
“Pak Menkes menyampaikan di depan Presiden, Litbangkes hanya sanggup 200 sampel per hari. Kira-kira begitu. Padahal, Korsel itu bisa mengetes 15.000 sampel per hari,” ucap RK kepada Ma’ruf Amin.
Sementara bulan lalu, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Corona Achmad Yurianto berkata bahwa kemampuan Litbangkes mencapai ribuan. “Kapasitas Litbangkes untuk memeriksa sekitar 1.700 sampel per hari. Masih mampu,” katanya di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Rabu (11/3).
Merujuk data KawalCovid19.id—platform independen yang memberikan informasi dan menghimpun data tentang kasus corona Indonesia, baik dari pemerintah maupun lembaga tersertifikasi lainnya—sejak muncul kasus corona pertama di Indonesia, tes swab telah dilaksanakan sebanyak 9.292 kali. Itu artinya rata-rata sampel yang diuji sebanyak 290 tes per hari.
Peningkatan drastis uji sampel swab hampir terjadi secara acak. Peningkatan jumlah uji sampel swab tercatat terjadi pada 27 Maret, yakni sebanyak 1.439. Hal itu terjadi seminggu setelah Kemenkes mengumumkan tambahan jejaring laboratorium pemeriksa COVID-19 pada 21 Maret.
Namun hari-hari berikutnya, uji sampel per hari kembali di angka 200-300an saja. Lonjakan kembali tercatat pada 4 April 2020 dengan 1.726 sampel, sehari setelah Yurianto mengumumkan bahwa pemerintah menggandeng 48 laboratorium di seluruh Indonesia.
Meski terdapat kenaikan pengujian sampel, rata-rata kenaikan kasus positif COVID-19 cukup stabil di kisaran 130 per hari.
Menurut Elina dari tim KawalCovid19.id, hal itu terasa janggal. “Kalau kita melihat jumlah kasus yang diumumkan tiap hari, ini kan angkanya naik 100, naik 100. Peningkatan kapasitas labnya itu masih belum terlihat di jumlah angka yang diumumkan tiap hari,” ujarnya saat dihubungi kumparan, Sabtu (4/4).
Kejanggalan lain dirasa Elina ketika melihat data dua hari, 30 Maret dan 31 Maret, di mana jumlah sampel harian yang diuji sama dengan jumlah kasus positif di hari tersebut.
“Jadi misalnya tanggal 30 Maret, jumlah kasus positif naik 129, sementara jumlah yang dites itu juga 129. Berarti positive rate-nya 100 persen. Terus kita lihat hari berikutnya lagi, 31 Maret, jumlah kasus yang positif naik 114 dan jumlah yang dites itu naiknya 114 juga.”
Kenaikan jumlah kasus per hari yang relatif stabil di angka 130-an itu diragukan oleh tim KawalCovid19.id. Sebab, selain adanya peningkatan jumlah jejaring laboratorium pemeriksa COVID-19, sejauh ini pemerintah juga telah melakukan puluhan ribu rapid test.
“Apakah angka-angka yang diumumkan tiap hari itu data sampel hari itu, seminggu yang lalu, atau dua minggu lalu?”
Kasus baru vs jumlah tes harian. Foto: Dok. Istimewa
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/182/2020 tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan COVID-19, ada dua jenis laboratorium. Pertama, Laboratorium Rujukan Nasional Pemeriksaan COVID-19, dan yang kedua adalah Laboratorium Pemeriksa COVID-19.
Laboratorium rujukan, menurut aturan tersebut, hanya menerima, lalu mengirimkan sampel spesimen tersebut ke laboratorium pemeriksa, lantas merekapitalusi hasilnya untuk kemudian dilaporkan kepada Menteri Kesehatan.
Dalam Kepmenkes tersebut hanya 12 laboratorium yang ditunjuk sebagai Laboratorium Pemeriksa, yakni: 1) Balai Besar Laboratorium Jakarta untuk wilayah kerja Maluku, Maluku Utara, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh; 2) Balai Besar Laboratorium Palembang untuk wilayah kerja Bengkulu, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Lampung;
3) Balai Besar Laboratorium Makassar untuk wilayah kerja seluruh Sulawesi; 4) Balai Besar Laboratorium Surabaya untuk wilayah kerja Kalimantan; Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Papua; 5) Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Jakarta untuk wilayah kerja Riau, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Banten;
6) Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya untuk wilayah kerja Bali, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara; 7) Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Yogyakarta untuk wilayah kerja Yogyakarta dan Jawa Tengah; 8) Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman untuk wilayah kerja DKI Jakarta.
Sementara dua tambahan lainnya yakni FKUI untuk wilayah kerja RSCM dan RSUI, serta FK Unair untuk wilayah kerja RSUD Dr. Soetomo dan RS Unair.
Ketika diminta konfirmasi terkait pengujian sampel harian hingga seperti apa bentuk pemberdayaan jejaring laboratorium, Kepala Badan Litbang Kesehatan Kemenkes Siswanto tidak merespon sama sekali. Sementara Yurianto di Garha BNPB hanya menjawab, “Kami akan perbanyak lagi fasilitas penguji untuk pemeriksaan COVID-19. Saat ini sudah ada 48 laboratorium yang beroperasi, tentunya dengan kapasitas masing-masing.”
Sementara di lapangan, alur yang biasanya terjadi adalah rumah sakit rujukan mengambil sampel swab pasien untuk kemudian dikirim ke Litbangkes atau Eijkman.
Presiden Toxinologi Indonesia, Tri Maharani, mengatakan seharusnya pemerintah tidak hanya mengandalkan balai-balai kesehatan milik Litbangkes, tapi juga memberdayakan laboratorium di setiap rumah sakit maupun laboratorium swasta.
“Maksud saya adalah setiap provinsi kan punya rumah sakit besar, punya laboratorium, punya spesialis patologi klinik, dan mempunyai laboratorium swasta. Jadi ya kerja sama sehingga tes-tes itu cepat dilakukan agar sehari bisa sampai 10-20 ribu sampel,” ucapnya saat dihubungi kumparan.
Ia juga mengeluhkan proses terlalu lama yang memakan waktu 3-5 hari untuk mendapatkan kepastian si pasien terjangkit virus corona atau tidak. “Pasien saya keburu meninggal, baru setelah itu diumumkan hasilnya positif. Sehingga banyak orang yang menjenguk, pihak puskesmas, hingga pengubur jenazah yang jadi ODP dan PDP.”
Menurut Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio, laboratorium Eijkman sendiri mampu menguji 180 sampel per harinya. “Satu mesin PCR kan sekali running 90-an (sampel). Kita punya dua dan semoga minggu depan bisa 270-an sampe per hari.”
Namun Amin mencatat bahwa kemampuan masing-masing laboratorium berbeda. Tergantung pada mesin PCR yang dimiliki, dan juga ketersediaan reagen (bahan campuran untuk pengujian kimia/darah).
Sementara Kepala Asosiasi Dokter Patologi Klinik Indonesia, Prof. Aryati, menyebut selain tes yang dilakukaan terlalu sedikit kerap juga ada perbedaan hasil tes. “Saya enggak nyalahin dari Kemenkes karena memang ada variasi dalam hasil, ada yang misal dites di Surabaya negatif, tapi hasil di Jakarta positif. Ya tentu kita percaya lebih ke dalam arti yang rujukan nasionalnya dari Litbangkes.”
Di tengah minimnya kemampuan pengujian PCR per hari, rapid test yang dilaksanakan menjadi kurang efektif. “Kalau untuk memutus rangkai penularan, harusnya pakai PCR, karena dengan demikian kasus lebih dini terdeteksi, maka langsung bisa diisolasi. Kalau dengan rapid test, manfaatnya sedikit sekali. Tidak efektif dalam rangka memutus rantai penularan,” ucap ahli kesehatan masyarakat dr. Tri Yunis Miko.
Menurutnya, memutus rantai penularan virus corona harus dimulai dengan meningkatkan kemampuan deteksi dini. Preventif melebihi kuratif. “Kalau tidak dilakukan, berarti kita nggak punya kemampuan memutus rantai penularan.”
Warga melintas di depan mural corona di Depok, Jawa Barat. Foto: ANTARA/Asprilla Dwi Adha
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk membantu mencegah penyebaran COVID-19. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten