Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Merasakan Kesakralan Monumen Holocaust yang Dikunjungi Syahrini
22 Maret 2018 17:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Syahrini dianggap tidak menghormati kesakralan monumen tersebut. Ya, di Monumen tersebut terkenang peristiwa memillukan, dua pertiga penduduk Yahudi di Eropa dihabisi dalam sebuah genosida oleh Nazi.
Monumen yang didesain oleh Peter Eisenman ini berdiri di atas tanah 19 ribu meter persegi. Pada 2005 lalu, monumen ini mulai dibuka untuk umum. Balok-balok kotak berwarna abu-abu mendominasi bangunan yang disebut warga Jerman sebagai Denkmal für die ermordeten Juden Europas atau Monumen untuk mengenang kematian orang-orang Yahudi Eropa.
Di bawah balok-balok tersebut terdapat sebuah museum yang menyimpan sejarah tragedi genosida tersebut.
Tahun 2016 lalu, Tomy Utomo, mahasiswa Sastra Jerman Universitas Indonesia yang kini bekerja di kumparan berkesempatan mengunjungi Monumen Holocaust di Berlin. Kala itu, memasuki musim panas. Terik matahari menghangatkan tubuh Tomy. Suasana travelling pun terasa menyenangkan meski hanya seorang diri.
ADVERTISEMENT
"Jadi bangunan itu enggak cuma blok-bloknya saja, ada bangunan juga di bawahnya, museum. Cuma kalau kata orang yang pernah ke bawahnya, ke museumnya hening banget. Jadi ada informasi tentang pembunuhan holocaustnya itu kayak gimana, terus tentang monumen itu siapa yang buat, konsepnya kayak gimana itu di situ. Jadi kalau di museum itu kalau kita bisik-bisik itu antar teman yang dekat saja itu kedengeran," cerita Tomy saat berbincang dengan kumparan (kumparan.com), Kamis, (22/3).
Tomy pun terus berjalan mengelilingi Monumen Holocaust. Dia merasakan semakin ke tengah, balok-balok yang ada semakin tinggi. Ternyata, monumen tersebut didesain semakin ke tengah semakin cekung alasnya.
"Makin ke tengah, tanahnya makin cekung ke dalam, makanya makin tinggi blok-bloknya. Dan saat ngomong di sana, itu sangat bergema," jelas Tommy.
ADVERTISEMENT
Tak hanya balok-balok, di sana juga ada beberapa tembok yang tegak berdiri. Bila berbicara di sekitar tembok tersebut suara manusia akan begitu menggema, meski hanya terucap pelan.
Sembari langkah kaki terus berjalan, banyak wisatawan mancanegara berkeliling monumen. Di antara mereka ada yang berfoto, berdiskusi, menyantap makanan, bahkan ada juga yang duduk di atas balok monumen. Padahal, duduk di atas monumen adalah hal yang tabu.
Mengapa? Bila diingat kembali, monumen tersebut dibangun untuk mengenang kesedihan yang mendalam atas peristiwa pembataian.
Sementara, di sekitar Monumen Holocaust terdapat beberapa kedai makanan yang menjual makanan khas Jerman. Di antara kedai tersebut banyak penjual yang menjajakan bir. Bir pun menjadi minuman yang banyak dipilih wisatawan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, banyak wisatawan kemudian memakan dan meminum apa yang mereka beli di Monumen Holocaust.
"Cuma sayangnya di Monumen itu ada beberapa kedai makanan Jerman gitu di sana yang ngejual bir, sosis-sosis khas-khas Jerman kan banyak di sana . Kebanyakan wisatawan enggak tahu kalau itu monumen sakral. Kalau warga sekitar pasti tahu," sebut Tomy.
"Terus banyak wisatawan yang beli minuman, beli bir di sekitar monumen itu, akhirnya minum bir di monumen tersebut," imbuh dia.
Selama tiga jam Tomy menghabiskan waktunya di Monumen Holocaust. Dari pengalamannya, Tomy berpesan kepada seluruh wisatawan yang hendak mengunjungi monumen bersejarah tersebu, ada baiknya membaca peraturan yang ada di monumen itu.
Membaca peraturan akan membawa langkah kaki dan tindak diri lebih bijak dalam mengunjungi suatu tempat wisata.
ADVERTISEMENT