Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Rois Bawono Hadi, pengasuh Panti Asuhan Manarul Mabrur, Semarang, kerap mendapat bingkisan memilukan: bayi-bayi di luar nikah.
Biasanya, bayi-bayi itu dibawa perempuan berusia muda. Kebanyakan masih mahasiswa. Saat disorongkan ke hadapannya, sang perempuan yang tak lain ibu si bayi berkata, “Enggak ada yang mau [nerima], enggak ada yang peduli.”
Ibu si bayi yang dianggap berselubung aib tak kuat lagi menanggung beban, sedangkan ayah si bayi entah di mana. Alhasil, anak yang lahir tanpa rencana pun jadi korban.
Menurut Rois, panti asuhannya banyak menampung anak-anak yang lahir di luar nikah. Mereka dititipkan kepadanya sementara kedua orang tua mudanya mencari jalan keluar, mematangkan kesiapan mental, dan mencoba peruntungan ekonomi.
Panti Asuhan Manarul Mabrur bukan cuma menampung bayi-bayi tanpa ayah, tapi juga perempuan-perempuan muda dengan usia kehamilan 7–9 bulan. Bukan cuma mahasiswi, tapi juga pelajar sekolah menengah, santri, buruh pabrik, dan pekerja kantoran.
“Mereka datang ke sini dari seluruh Indonesia, bahkan ada yang dari Hong Kong, Singapura, Arab Saudi. Mereka ke sini untuk menyembunyikan aib. Kami kasih tempat tinggal gratis, biaya hidup gratis, biaya melahirkan gratis,” kata Rois.
Menurutnya, latar belakang religius tak jadi jaminan seorang perempuan terhindar dari kasus kehamilan di luar nikah.
“Ada anak-anak pesantren ke sini, hafal Quran 9 juz, hamil [di luar nikah]. Ada anaknya kiai, guru madrasah, juga ke sini,” tutur Rois.
Setelah persalinan, perempuan-perempuan muda itu ditanyai tentang nasib sang anak. Mereka bisa membawa pulang anak itu, atau dititipkan ke panti asuhan.
“Ada yang satu hari langsung ditinggal. Ada yang tiga hari. Ada yang seminggu sampai 10 hari kemudian ditinggal,” tutur Rois.
Di panti itu, kehidupan anak-anak ditanggung bersama. Mereka bersekolah di luar sambil saling membiayai diri mereka sendiri.
“Ada kafetaria. Anak-anak bisa jadi barista, bisa ngelas, bisa sablon, bisa membuat sabun cair untuk kemudian dijual… Untung Rp 5.000 ditabung, untung Rp 3 juta beli motor,” kata Rois.
Sejak 2013, Panti Manarul Mabrur telah merawat 280 anak. Dari jumlah sebanyak itu, paling tidak ada 7 orang yang lulus sarjana. Kini, di panti tersebut ada 80 anak—50 perempuan dan 37 laki-laki.
Manarul Mabrur bukan satu-satunya panti yang menerima bayi di luar nikah. Di Jakarta, di tepi Setu Babakan, ada Panti Asuhan Boncel yang juga merawat bayi-bayi di luar nikah. Panti Boncel yang berada di bawah Perhimpunan Vincentius Jakarta berdiri sejak 1970-an.
Panti Boncel kerap menampung anak-anak yang lahir dari orang tua yang masih mengenyam pendidikan, sehingga belum siap menjadi ibu dan ayah.
“Mungkin karena saling mencintai tapi belum punya kesempatan untuk menikah, sehingga untuk menutupi aib atau kesalahan, anaknya dititipkan di sini,” kata Suster Lusia Kusrini, pimpinan Panti Boncel.
Panti Boncel bahkan pernah menerima dua anak dari satu ibu yang berbeda ayah.
“Jadi karena pergaulan yang nakal, bibitnya beda, ayahnya beda,” ujar Lusia.
Berbeda dengan Panti Manarul Mabrur, Panti Boncel menghidupi anak-anak yang mereka asuh dari donasi para donatur yang bersimpati.
“Ada banyak pengusaha yang saya telepon, saya ceritain, langsung mereka berdonasi. Sumbangan-sumbangan juga banyak,” kata Suster Lusia.
Panti Boncel menerima anak usia 0–7 tahun. Setelah anak memasuki masa sekolah, yang laki-laki akan dipindahkan ke Panti Asuhan Vincentius Putra, dan yang perempuan ke Panti Asuhan Vincentius Putri.
Agar tak menimbulkan masalah di kemudian hari, Panti Boncel mengharuskan ibu yang akan menitipkan anak untuk mengisi formulir legalitas sebagai pernyataan bahwa benar anaknya dititipkan ke panti asuhan itu.
“Karena kami tidak ingin dituduh mencuri bayi. Seandainya orang tuanya belum punya identitas, bisa dari nenek atau dari siapa pun [kerabat anak] untuk kami urus dan kami daftarkan. Ada peninjauan dari pemerintah dan desa,” terang Lusia.
Panti Boncel kini merawat 48 anak-anak—24 putri dan 24 putra. Dari jumlah tersebut, 13 anak lahir di luar nikah.
Menurut amatan Suster Lusia, ada perbedaan psikologis antara anak-anak yang dilahirkan dengan orang tua lengkap, dengan anak-anak yang lahir di luar pernikahan, terutama mereka yang sempat akan digugurkan.
“Kebanyakan tidak percaya diri, ada yang tumbuh kembangnya lambat. Ada yang sudah usia 3 tahun tapi masih memberontak dan emosional seperti anak berusia 10 bulan,” papar Lusia.
Untuk itu, Panti Boncel menggandeng Ad Familia Indonesia, lembaga layanan kesehatan mental yang fokus pada keluarga, untuk mendampingi anak-anak rentan tersebut.
Panti Boncel juga memiliki tiga dokter, termasuk dokter umum dan dokter gigi, untuk memastikan kesehatan fisik anak-anak yang mereka asuh.
Panti Boncel dan Panti Manarul Mabrur mempersilakan anak-anak asuh mereka diadopsi bila pengadopsi dan ibu asli si anak telah tuntas berunding. Biasanya, panti memilih pasangan pengadopsi yang usia pernikahannya sudah lama.
“Tunjukkan bukti surat nikah, KK, dan KTP. Difoto saja. [Pasangan] di atas 10 tahun [usia perkawinan] kami prioritaskan. Buat perjanjian sendiri, jadi personal,” kata Rois.
Sementara di Panti Boncel, ada pula anak yang kembali ke orang tuanya. Basanya panti akan meninjau dulu latar belakang orang tua atau kerabat si anak untuk menimbang apakah situasi anak akan lebih baik bila kembali ke orang tuanya, atau justru lebih buruk.
“Kesadaran ini juga muncul dari orang tua. Sedikit sekali orang tua yang sudah mampu (mapan). Dari 8 anak [di luar nikah], hanya 2 yang kembali ke orang tuanya,” ujar Lusia.
Umumnya, anak-anak yang tidak disarankan kembali ke orang tuanya adalah karena lingkungan tempat tinggal orang tuanya yang buruk, sehingga dapat memengaruhi tumbuh kembang anak secara negatif.
Ini bukan berarti anak-anak di luar nikah itu tidak bisa bertemu dengan ibu mereka. Di masa liburan, mereka bisa berkunjung ke rumah orang tua masing-masing.
Merindukan Sosok Ayah
Suster Lusia kerap melihat anak-anak yang lahir di luar nikah merindukan sosok ayah dalam keseharian mereka. Bila ada lelaki dewasa yang memberi perhatian seperti memeluk dan menggendong mereka, maka mereka akan memperebutkannya.
“Biasanya kalau ada laki-laki datang dan gendong, mereka bilang, ‘Itu papaku’” ucap Lusia.
Terlebih, mayoritas pengasuh di Panti Boncel adalah perempuan. Itu sebabnya anak-anak senang bila ada pastor datang untuk memimpin ibadat.
“Romo-romo datang ke sini saat misa. Anak-anak dia berkati, dipeluk, dipegang kepalanya, itu mereka senang sekali,” ujar Lusia.
Namun, imbuhnya, Panti Boncel tidak menerapkan ajaran Katolik ke semua anak. Mereka menjunjung perbedaan keyakinan yang ada di antara kerabat anak-anak tersebut.
“Ajaran kami bela rasa, cinta kasih, dan itu universal. Doa-doa setiap hari juga doa spontan,” kata Lusia.
Bagi panti-panti asuhan ini, salah satu tantangan dalam mengasuh ialah untuk meyakinkan anak-anak bahwa keberadaan mereka di dunia adalah berharga.
Sebagian anak yang kerap mengkhayalkan keberadaan orang tuanya pun tidak boleh dibuat putus harapan.
“Biasanya mereka ngomong ‘Oh, papaku kerja di luar negeri’ atau ‘Oh, papaku di kota lain.’ Yang kami lakukan adalah mencoba untuk mengarahkan mereka dengan baik, supaya tidak kecewa dan tetap punya semangat hidup,” jelas Lusia.
Tak semua anak mengimajinasikan atau menanyakan orang tua mereka. Di Panti Manarul Mabrur, beberapa anak justru tak pernah menanyakan orang tuanya.
“Ada usia 10 tahun, kelas 3 SD, belum tanya [di mana orang tuanya]. Kenyataannya bapaknya sudah menikah dengan orang lain, dan ibunya juga menikah dengan orang lain. Tapi kedua orang tuanya sama-sama tidak jujur,” kata Rois.
Bisa jadi, di dalam hati anak-anak itu, mereka sudah menduga kenyataan buruknya sehingga tak pernah bertanya sama sekali. Untuk mereka, hidup bersama orang-orang seperti Rois Bawono dan Suster Lusia mungkin terasa sudah cukup menenteramkan.