Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pertengahan Desember 2023, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU ) mencopot Kiai Haji Marzuqi Mustamar dari jabatan Ketua Tanfidziah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. Pencopotan itu bikin geger lantaran disoal sejumlah politisi, terutama dari kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).
Cak Imin—sapaan Muhaimin—meyakini pencopotan tersebut politis. Anggapan itu dibantah PBNU, meski pengurus organisasi Islam terbesar di Indonesia itu tak mengungkap terang-benderang alasan sebenarnya di balik pencopotan Kiai Marzuqi yang juga Pimpinan Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek Malang.
Tengara kelindan politik dalam pencopotan KH Marzuqi juga mencuat setelah Cak Imin mengunggah video berisi potongan ceramah sang kiai pada pengajian umum di Ponpes Sirojut Tholibin, Tulungagung, 25 Desember 2023. Dalam video itu, KH Marzuqi mengumpamakan anak-cucunya santri atau alumni suatu ponpes yang mendukung AMIN, maka ia ikut saja mendukung AMIN.
“[Misal] anak cucuku mondok di Gasek, Malang; enggak mondok di Kiai Marzuqi, tapi di Bu Nyai Marzuqi. Kulihat Bu Nyai Marzuqi masuk tim pusatnya AMIN, jadi aku bakal nyoblos AMIN biar diridai, boleh,” ujar Kiai Marzuqi dalam salah satu video itu. Ia menyebut pesantren yang kiainya mendukung AMIN antara lain Al Falah Ploso (Kediri), Al-Anwar Sarang (Rembang), Salaf Tegalrejo (Magelang), Lirboyo (Kediri), dan Sidogiri (Pasuruan).
Namun, sebelum KH Marzuqi mengucapkan kalimat tersebut, ia sebetulnya membeberkan perumpamaan yang sama tentang santri yang belajar di pondok yang mendukung Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran. Itu sebabnya ceramah sepanjang 1 jam yang diunggah di saluran YouTube KH Marzuqi itu diberi judul “Rumus Pilihan Pilpres 2024”.
Dalam video lengkap tersebut, Kiai Marzuqi menyebut semua pasangan capres-cawapres, tidak hanya AMIN. Ia berkata:
Kiai Marzuqi berpesan agar jemaah tidak menghina pilihan pihak lain. Menurutnya, andai ada orang yang menghina pendukung Prabowo, maka ia juga bisa dianggap menghina Habib Lutfi yang ikut mendukung Prabowo.
Saat ini, para ulama atau kiai, termasuk dari NU, baik NU struktural maupun NU kultural, banyak yang sudah melabuhkan dukungan politik, baik ke Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, atau Ganjar-Mahfud.
Selain yang disebut KH Marzuqi, ulama pendukung Anies lainnya di antaranya Gus Maksum Faqih dari Ponpes Langitan Tuban yang menjadi Co-Captain Timnas AMIN, dan Gus Ahmad Badawi dari Ponpes Darul Falah Kudus.
Di kubu Prabowo ada Nusron Wahid, eks Ketua PBNU yang menjadi Sekretaris TKN Prabowo-Gibran; dan Gus Miftah dari Ponpes Ora Aji Sleman. Sementara di barisan Ganjar terdapat Gus Fuad Plered dari Ponpes Roudlotul Fatihah Bantul; dan KH Imam Pituduh, eks Wasekjen PBNU yang kini Koordinator Wilayah Jaringan Ganjar Nusantara Jawa Barat.
Kiai Marzuqi menyatakan, politik tak lepas dari agama, sebab muslim yang berkecimpung di dunia politik atau bidang apa pun tak boleh melupakan nilai-nilai agama. Yang tidak boleh, tegasnya, ialah memperalat agama demi kepentingan politik.
“Tapi kalau mendedikasikan ikhtiar politik untuk bangsa, agama, dan negara, tentu itu harus,” katanya kepada kumparan, Kamis (4/1/2024).
Gus Miftah bahkan menyebut, penting bagi seorang agamawan atau kiai masuk ke dunia politik. Merujuk sejarah, ujarnya, pemimpin hebat di Nusantara seperti Raden Patah dari Kerajaan Demak dikawal oleh agamawan seperti Wali Songo. Selain itu, Joko Tingkir dari Kerajaan Pajang juga menjadi raja hebat lantaran dikawal gurunya yang tak lain adalah Sunan Kalijaga.
“Posisi itu (kiai masuk politik) harus saya ambil dalam kerangka mengedukasi umat bahwa sebenarnya kiai juga harus paham dengan politik,” kata Gus Miftah.
Magnet Politik Para Kiai
Setelah Indonesia merdeka, peran kiai dalam dunia politik masih terus relevan. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang menaungi ulama, tokoh pergerakan, dan cendekiawan muslim, bahkan berdiri sebelum Indonesia merdeka, yakni NU pada 1926 dan Muhammadiyah pada 1912.
Para kiai NU, misalnya, punya kiprah dan peran besar dalam kehidupan bernegara. Pendiri NU KH Wahab Chasbullah dan KH Hasyim Asyari menjadi rujukan tokoh nasional terkait ideologi kebangsaan, mulai dari perumusan Pancasila hingga pemutus dilema antara Indonesia sebagai negara nasionalis, komunis, atau agama.
“Akhirnya siapa yang menyeimbangkan [dilema nasionalisme/agama/komunisme]? Saya sebut Kiai [Wahab] sebagai penyeimbang antara perpolitikan yang praktis dan dinamis,” kata peneliti politik Islam, Rangga Sa’adillah dari STAI Taswirul Afkar Surabaya. Dalam sejarah, KH. Wahab menerima konsep Nasakom Soekarno yang tertuang pada Amanat Presiden 17 Agustus 1960.
Namun, kiprah kiai kemudian agak diredam pada era Soeharto. Para kiai dipaksa menerima program pemerintah jika tidak mau dikucilkan atau dipenjara. Pada era 1980–1990an, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (cucu KH Hasyim Asyari) getol melawan rezim Orde Baru yang dianggap mematikan demokrasi selama 32 tahun berkuasa.
Begitu pintu Reformasi terbuka, Gus Dur yang Ketua Umum PBNU periode 1984–1999 itu menjadi kiai pertama yang menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Kehidupan pesantren tak lagi terkekang, berubah bagai “burung” dan “gadis cantik”—istilah yang tercantum dalam artikel jurnal “Advancing the discourse of Muslim politics in Indonesia: A study on political orientation of Kiai as religious elites in Nahdlatul Ulama” (2022) yang ditulis M. Turhan Yani dkk, dengan Rangga sebagai salah satu penulisnya.
Sejak era Reformasi, para kiai menikmati kebebasan berpolitik seumpama burung keluar dari sangkar. Yani dkk menulis, “Ketika kebebasan itu terbuka lebar, banyak kiai tertarik membentuk parpol, maju sebagai anggota dewan dan pejabat pemerintahan dengan motivasi untuk membenahi perpolitikan di Indonesia.”
Kiai juga disebut bak gadis cantik lantaran kerap didekati politisi. Para kiai dianggap punya modal sosial untuk membantu memuluskan jalan meraih kekuasaan. Dijelaskan oleh Yani dkk, “Dalam pandangan kiai, kuasa itu merupakan sarana ketaatan terhadap Tuhan demi mencapai kesejahteraan.”
Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa mengatakan, meski NU sebagai ormas tidak berpolitik praktis, namun dukungan individu kiai NU dinilai signifikan dalam upaya pemenangan capres.
“Terbukti para capres selalu minta dukungan para kiai NU—kecuali ke saya atau beberapa tokoh yang tidak punya signifikansi terhadap elektoral mereka. Tergantung daerahnya,” kata Kiai Zulfa kepada kumparan.
Gus Miftah sebagai warga NU kultural pun mengaku diminta secara khusus oleh Prabowo untuk sowan ke kiai-kiai guna menggalang dukungan. Prabowo memandati Gus Mifath melalui sepucuk surat yang ia sampaikan pada Milad Ponpes Ora Aji, September 2023.
“... NU ini seksi karena jumlah warganya yang sangat besar, sehingga wajar kalau [suara] NU diperebutkan,” kata Gus Miftah soal Nahdliyin dan kiainya yang selalu diincar tiap musim pemilu.
Pengamat politik Islam UIN Walisongo Prof. Imam Yahya mengatakan, perebutan ulama oleh tokoh politik dalam politik praktis bertujuan untuk menarik suara massa (vote-getter). Namun, menurutnya, kiai mesti punya sikap politik tersendiri agar tidak hanya disowani dalam pilpres lima tahunan.
“Jangan sampai mendukung salah satu paslon, kemudian nanti ditinggalkan oleh paslonnya [setelah jadi presiden]. Kebiasaannya seperti itu,” ujar Imam.
Rangga Sa’adillah menilai, ada beberapa alasan yang membuat kiai kerap disowani menjelang pilpres. Alasan itu tergantung pada tipe kiai yang bersangkutan.
Pertama, ada kiai sumur, yakni kiai yang kerap diambil kebijaksanaan dan ilmunya, bak orang menimba air dari sumur. Kiai seperti ini hanya mengurusi ilmu, bukan politik praktis. Contohnya KH Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha, pengasuh Ponpes Tahfidzul Quran LP3iA, Rembang, yang dikunjungi dua capres—Anies dan Ganjar—dalam waktu berdekatan.
Kedua, kiai catur, yakni kiai yang berkecimpung langsung dalam dunia politik. Ada yang menjadi politisi karena memiliki kecakapan di bidang politik. Ada pula yang menduduki jabatan penting karena jalur nasab atau keturunan membuatnya dihormati banyak orang.
Ketiga, kiai sembur, yakni kiai yang punya kelebihan dalam hal mengobati dan mendoakan. Golongan kiai ini biasanya karismatik sehingga sering didatangi politikus untuk dimintai restu. Contohnya almarhum KH Maimoen Zubair yang dianggap bisa membangkitkan semangat orang.
“Gus Dur pernah menyebut dia santri, [tapi] disuruh kiai untuk nyalon [presiden]. Santri yang disuruh nyebur sumur [oleh kiai] ya nyebur sumur. Ada beberapa kiai yang jadi sumber semangat Gus Dur. Ssemburan mereka jadi sumber semangatnya,” terang Rangga, mencontohkan peran kiai sembur.
Menakar Taji Dukungan Kiai
Suara kiai adalah suara santri. Inilah gambaran kekuatan kiai dalam percaturan politik Indonesia. Penelitian Yani dkk yang didasarkan pada wawancara 10 kiai dan 25 santri memperlihatkan, dalam studi kasus di Lamongan atau Madura, suara kiai di akar rumput dan perdesaan amat dipatuhi.
“Di Madura, kiai itu figur yang luar biasa. Penarik suara yang luar biasa besar karena mereka orang yang ditaati. Orang Madura sangat loyal terhadap figur keagamaan, terutama kiai,” kata Rangga.
Fenomena ikut dawuh (perintah) kiai, menurut Prof. Imam Yahya, tak lepas dari tradisi masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan santri, yang bersifat paternalistik: apa yang dilakukan oleh tokoh, khususnya ulama, pasti akan diikuti oleh umat atau pengikutnya.
Perilaku nderek kiai terkait pilihan politik itu pun sempat disinggung KH Marzuqi Mustamar dalam ceramahnya yang menegaskan bahwa hal itu wajar dan boleh-boleh saja.
Gus Fuad Plered juga percaya bahwa kiai menjadi kekuatan kultural yang bisa memberi saran atau fatwa kepada masyarakat—entah mereka percaya fatwa itu atau tidak.
“Saya lihat secara elektoral dan elektabilitas, setelah kami beri dukungan, sekarang trennya Pak Ganjar naik. Selama ini kekuatan NU lebih percaya pada kiai kultural (warga pengikut ajaran NU) bukan struktural (pengurus),” kata Gus Fuad yang berada di kubu Ganjar.
Taji politik kiai juga membuat Gus Miftah membentuk Relawan Gerakan Menangkan 08 (GM-08) berisi kiai-kiai kampung yang kerap bersentuhan dengan masyarakat. Kiai-kiai di akar rumput ini pun bak infantri dalam menyukseskan pemilu.
Gus Miftah mengklaim sudah mendatangi hampir seluruh kiai kampung di Pulau Jawa. Ia juga menyowani kiai-kiai yang memiliki pondok pesantren dengan jumlah santri 20.000–25.000 orang.
“Sebagian [beri dukungan] ke Mas Prabowo. Contoh yang mengamanahi saya ke Mas Prabowo itu Kiai Huda Jazuli, pengasuh Ponpes Ploso, bapaknya Gus Kautsar. Dari awal beliau mengatakan, ‘Siapa pun presidennya, saya wakafkan Gus Miftah untuk Mas Prabowo.’ Artinya saya direstui [membantu Prabowo],” kata Gus Miftah.
Pemilik nama asli Miftah Maulana Habiburrahman itu menyakini, ketika sudah jatuh dawuh kiai, maka mayoritas jemaah akan mengikuti pilihannya. Apalagi jika yang didawuhi adalah santri di pesantrennya sendiri.
Dalam survei nasional SMRC periode 29 November–8 Desember 2023, responden yang menganggap diri mereka adalah Nahdliyin berjumlah 23,3%. Angka ini, bila diproyeksikan pada jumlah daftar pemilih tetap yang totalnya 203,05 juta, setara dengan 46 juta suara.
Jumlah sebesar itu jelas menjadikan NU dan para kiainya memiliki bobot politik strategis bagi calon mana pun.
“Mereka yang mengaku anggota NU, maka cenderung akan memilih Prabowo (46%), memilih Ganjar (30%), dan memilih Anies-Muhaimin (12%). Jadi walaupun Cak Imin adalah kader NU, eks Ketua PMII, dan Ketum PKB, tapi lebih menarik Ganjar-Mahfud,” ujar pendiri SMRC Saiful Mujani.
Dukungan mayoritas warga NU terhadap Prabowo-Gibran juga tampak pada survei Starpoll sebesar 41,2%, disusul Anies-Muhaimin 33,4% dan Ganjar-Mahfud 16,9%. Survei itu digelar 10–24 Desember di enam provinsi di Pulau Jawa.
Meski dukungan para kiai dan pengikutnya ke para capres telah terpetakan di atas kertas, namun ini tak serta-merta menunjukkan dukungan dari masyarakat muslim secara umum, misalnya Islam abangan (nasionalis) atau orang yang terkena pengaruh politik uang.
Apalagi, menurut Imam Yahya, masyarakat kini sudah mulai memisahkan ketaatan terhadap kiai dengan urusan politik. Artinya, bisa jadi seorang kiai diikuti umat dalam urusan agama, tapi belum tentu dalam hal politik.
“Di Jateng dan Jatim kan mayoritas NU, tapi yang menang partai lain (PDIP pada Pemilu 2019). Jadi masyarakat sudah cerdas, bisa membedakan antara persoalan agama—yang harus diikuti secara mutlak—dengan persoalan politik yang lebih berdasarkan rasionalitas,” tutup Imam Yahya.