Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kita barangkali lebih sering bertemu rekan beragama Katolik atau Kristen Protestan. Tapi, tahukah Anda, ada banyak komunitas agama Kristiani yang jumlahnya jauh lebih kecil? Kristen Ortodoks adalah salah satunya.
ADVERTISEMENT
Kepada kumparan, sejumlah umat Ortodoks berbicara soal menjadi bagian dari masyarakat minoritas dan bagaimana proses perjalanan iman mereka.
Tak banyak orang berlalu lalang saat kumparan tiba di Gereja Epifani Suci, Kalimalang, Jakarta Timur pada Minggu (3/7). Sekelompok anak muda tampak tengah bersantai di gazebo di luar gereja. Maklum, siang itu ibadah Minggu telah selesai.
Kami lantas disambut Risha Theodora beserta Romo Prochoros Rinus Manukallo. Risha adalah salah satu umat gereja yang baru beberapa tahun terakhir mendalami Kristen Ortodoks.
Sempat Jadi Ateis
Perempuan asal Lampung itu bercerita, ia tumbuh dengan ajaran Katolik Roma. Perjalanan spiritualnya lalu berawal di masa kuliah pada tahun 2013. Kala itu, Risha yang masih jadi mahasiswi Sastra Rusia Universitas Indonesia menghadapi cobaan bertubi-tubi.
ADVERTISEMENT
Ia tak menjelaskan secara detail soal apa. Namun yang pasti, masalah itu mengguncang kondisi mental dan imannya. Dia pun merasa sendirian melewati masa sulit itu. Puncaknya, dia merasa marah pada Tuhan.
“Makanya kemudian aku beralih kayak… no, I don’t need God gitu. Aku bahkan tidak merasakan kehadiran-Nya. Tuhan, tuh, kayaknya enggak megang gue, deh. And then itu kayak selama kuliah. Udah bodo amatlah,” kenang perempuan berkacamata itu kepada kumparan, Minggu (9/7).
Risha lalu ‘mantap’ menjalani hidup sebagai seorang Ateis selama kuliah, yakni dari tahun 2013 sampai 2017. Jangankan ke gereja, dia bahkan tak lagi mengucap doa atau melakukan praktik keagamaan lainnya.
“I was a full-flat-sh*t Atheis-lah,” selorohnya sambil tertawa.
Selama masa itu, Risha tak memberi tahu orang tua soal dirinya yang jarang ke gereja dan jadi lebih sekuler. Ia lantas mengalami titik balik di tahun 2018. Masalah yang berat membuat Risha butuh pegangan agar tak sendirian menghadapinya.
ADVERTISEMENT
Dia pun tergerak untuk kembali ke gereja Katolik tempatnya dulu beribadah. Alih-alih mendapat ketenangan, batin Risha justru masih merasa kosong. Perempuan kelahiran 1996 itu lantas berkelana mendalami ajaran-ajaran lain, termasuk Hindu dan Budha.
Risha mengatakan, dia sebenarnya tak asing dengan ajaran Ortodoks. Pasalnya, selama kuliah ia banyak belajar soal sejarah Rusia yang punya banyak penganut Ortodoks. Namun, dia belum tertarik mendalaminya.
Suatu hari tahun 2020, Risha menemukan meme dari akun Instagram @kresten.selubung soal Kristen Ortodoks. Akun ini lalu membuka rekrutmen member grup WA yang isinya orang-orang Kristen dari berbagai denominasi (aliran), termasuk Katolik, Kristen Protestan, dan Kristen Ortodoks, serta orang-orang yang baru belajar.
Dari grup itu, Risha masuk ke grup terpisah dan menjadi lebih dekat dengan member. Nah, salah satu membernya adalah umat Ortodoks di Gereja Epifani Suci. Merekalah yang bikin Risha semangat mendalami ajaran Kristen Ortodoks.
ADVERTISEMENT
“Selama ini aku missing out banyak banget, ya, ternyata. Kayak kekristenan itu, tuh, sangat-sangat kaya. Cuma akunya aja yang kayak I blocked myself from that, aku enggak belajar lebih dalam,” ujarnya.
Tahun 2021 akhir, salah satu teman mengundangnya datang ke acara pembaptisan di Epifani Suci. Saat itulah Risha mantap menjadi umat Ortodoks.
Keputusan itu diambilnya bukan tanpa alasan. Selain sreg dengan ajaran dan lingkungannya, Risha yang sempat skeptis dengan agama selama jadi Ateis itu merasa banyak pertanyaan soal ketuhanan yang terjawab dalam Kristen Ortodoks.
“Di sini tuh semuanya terdokumentasi dengan baik. Jadi, ya, enggak ada keraguan lagi, karena apa pun yang ada di sini ya benar-benar otentik dan apa adanya. Skeptisisme-ku pun di sini tuh terjawab. Ya, aku masih skeptis sampai sekarang–maksudnya aku masih berpikir begitulah, kenapa gini kenapa gitu. Tapi aku selalu menemukan jawabannya di sini,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Ia mengaku tidak kesulitan beradaptasi dari seorang Ateis menjadi penganut Ortodoks, termasuk ibadah rutin. Ada kejadian menarik yang dialaminya soal ini.
Setiap minggu, dia datang ke gereja untuk melakukan liturgi (ibadah) yang salah satu rangkaiannya menggunakan dupa. Baunya justru ‘nempel’ berhari-hari, padahal Risha juga tak punya pendupaan di rumah.
“Enggak tahu, baunya ke mana-mana. Kantor juga sama, ‘Bau dupa, lu’. Ya, kagak tau gua,” kata Risha.
Risha sempat menyebut dirinya ‘Ateis hardcore’ lantaran sering berdebat dengan orang lain yang percaya Tuhan. Ia pun meyakini teman-teman dekatnya menyadari itu. Usai mantap mendalami Kristen Ortodoks, respons orang terdekatnya pun cukup baik.
Orang tua pun tak mempermasalahkan dirinya menjadi umat Ortodoks. Yang kaget justru teman-temannya.
ADVERTISEMENT
“Kawan-kawanku yang bilang diri mereka sekuler segala macem, ‘Wah, kok balik lagi?! Udah dapet hidayah, lo, ya?!’ ‘Eh, balik gereja lagi, lu’, tapi mereka sih enggak apa-apa. Ya, mungkin mereka bakal, ‘Ih, itu si Risha balik lagi ke gereja’ ya bodo amat,” ujar Risha.
Sebagai minoritas, dia mengaku tak ada diskriminasi yang dialami. Justru lingkungan sekitarnya penasaran soal ajaran Kristen Ortodoks. Termasuk juga soal kaitannya dengan konflik Rusia-Ukraina. Risha dengan senang hati menjelaskan itu.
Kini, Risha memang belum dibaptis sebagai Kristen Ortodoks. Dia masih harus menjalani proses Katekumen, yakni belajar agama selama sekitar setahun sebelum nantinya dibaptis.
“Aku merasa setelah mengenal (ajaran) di sini, whatever you do, everything will be fine aja. Kayak ada reassurance aja. Orang-orang juga kayak, ‘Kamu biasanya petakilan, segala macem’ di sini, tuh, kayak enggak tahu kenapa jadi lebih clear-headed,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Berawal dari Haus Ilmu
Serupa dengan pengalaman Risha, Basilius Basar, umat Kristen Ortodoks di Epifani Suci juga mendalami Kristen Ortodoks setelah dewasa. Ia awalnya dibesarkan sebagai Kristen Protestan lalu mantap menjadi Ortodoks pada tahun 2000.
Semua bermula saat ia mempertanyakan ayat-ayat yang bisa bermakna beda di gereja lainnya. Dia pun mempertanyakan mengapa dia yang Protestan dan istri yang seorang Katolik, meskipun sama-sama mengakui Yesus Kristus, namun beribadah di gereja yang berbeda.
“Itu yang membuat saya akhirnya ‘Aku harus cari, nih, gereja mula-mulanya seperti apa’ dulu awalnya kayak apa, kenapa bisa bergeser,” ujar Basar saat ditemui kumparan, Minggu (3/7).
Ia lantas memperdalam agama , hingga sampai ke ajaran Kristen Ortodoks.
“Akhirnya saya mendapat penjelasan sejelas-jelasnya mengenai Trinitas itu ketika saya mulai belajar Ortodoks. Bayangkan, sekian puluh tahun saya hidup dari lahir saya enggak pernah dapat penjelasan itu secara gamblang,” katanya.
ADVERTISEMENT
Menjadi satu-satunya umat Ortodoks di keluarga besar, awalnya merupakan tantangan tersendiri bagi Basilius Basar. Pria yang berprofesi sebagai pengacara ini sempat mendapat cibiran lantaran menganut ajaran yang berbeda.
Sebagai sesama umat beragama, Basar menjelaskan pentingnya saling menghargai satu sama lain. Sebab, menurutnya manusia tidak berhak menentukan apakah ajaran agama orang lain itu salah.
Dia pun mengatakan sebaiknya jangan menghakimi orang lain dari kacamata sendiri. Soalnya, setiap kepercayaan punya kebenarannya sendiri.
“Jalankan saja kepercayaanmu dengan sebaik-baiknya,” pesannya.
Salah satu umat Ortodoks dari Gereja St Thomas, Oscar Hadiwiyanto bercerita soal perjalanan spiritualnya yang dimulai sejak akhir SMA. Sama seperti Basar, dia juga menjadi umat Ortodoks karena rasa ingin memperdalam agama.
Mahasiswa Universitas Bina Nusantara (Binus) itu menjelaskan dia dibesarkan dalam keluarga Kristen Protestan. Oscar sempat belajar di sekolah swasta Katolik hingga kemudian sekolah di SMA negeri. Pengalaman ini membuatnya kenal dengan beragam kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Suatu waktu, Oscar makin ingin memperdalam ajaran Kristen . Namun, dia merasa gerejanya kurang mempelajari Alkitab. Ia juga meminta tolong temannya untuk mengajarkan Alkitab dari asal mulanya.
“Sampai saya menemukan ‘gap’ di dalam sejarah itu. Sampai suatu ketika saya dengar nama satu gereja Ortodoks. Gereja Ortodoks itu apa, sih? Kok enggak pernah dengar? Karena penasaran itu ya saya mulai mempelajari gereja Ortodoks ini,” terangnya.
Sekitar tahun 2018 usai tamat SMA, pemuda berkacamata itu lantas datang langsung ke Gereja St Thomas dan dibimbing oleh kenalannya yang juga umat di sana. Lama-lama, dia mulai tertarik.
Oscar mantap memutuskan ikut katekisasi, yakni fase belajar ajaran Ortodoks selama 9 bulan sebelum dia akhirnya dibaptis. Sang ayah, yang merupakan umat Katolik, saat itu mendukung dan hadir sebagai walinya.
ADVERTISEMENT
Tapi tak demikian dengan ibu. Awalnya pun ibu Oscar belum bisa menerima perubahan itu. Jadi, Oscar memutuskan tidak beritahu sang ibu secara gamblang; hanya tersirat saja.
Bagi Oscar, teman-teman kuliahnya tak terlalu mempermasalahkan identitasnya sebagai minoritas. Sementara bagi kawan sekolahnya, perubahan Oscar itu sesuatu yang menarik.
“Dengan teman-teman saya dulu kadang ada yang nanya, ‘Oscar sekarang pindah Ortodoks, ya?’ atau kadang, ‘Oscar kok sekarang beda? Gerejanya apa?’ Makanya saya jelasin. Mereka kayak tertarik aja, kayak ngerasa, ‘Wah keren ya gerejanya ada gambar-gambarnya. Orang kan enggak sering melihat itu,” jelas pria yang aktif mengurusi urusan eksternal gereja ini.
Dia pun mengaku tak pernah mendapat diskriminasi setelah mendalami Kristen Ortodoks. Yang jadi masalah, kadang banyak pihak yang merasa paling benar.
ADVERTISEMENT
“Dari teman-teman yang mungkin ngerasa kayak ajarannya paling benar, nah itu menyerang kami, itu kadang ada. Sebenarnya mayoritas pun kita aman-aman saja. Cuman mungkin, ya karena hal-hal pribadi atau apa, kita kan enggak tahu. Mungkin kalau di negara lain kan kayak dipersekusi pemerintah, kita enggak ada, sih,” ujar Oscar.