Mereka yang Rela Tinggal di Hutan demi Orang Utan

17 Desember 2018 12:27 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perapian di Camp Mayang, Batang Toru (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Perapian di Camp Mayang, Batang Toru (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sore itu, Selasa (4/12), cuaca di hutan Batang Toru, Tapanuli, Sumatera Utara, terasa lebih dingin dibanding hari sebelumnya. Maklum, hujan lebat baru saja mengguyur kawasan hutan primer itu.
ADVERTISEMENT
Saya banyak menghabiskan waktu di depan perapian Camp Mayang, salah satu stasiun penelitian milik YEL/SOCP, sambil menyeduh kopi hangat. Dari tempat saya duduk, terlihat air sungai yang jernih mengalir deras. Iramanya semakin merdu saat nyanyian katak dan serangga terdengar saling bersahutan.
Sungai di Batang Toru. (Foto: Nur khafifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sungai di Batang Toru. (Foto: Nur khafifah/kumparan)
Di bawah sana, ikan-ikan tampak jelas berenang di sungai. Seekor tupai liar sempat singgah di pohon yang tepat berada di samping perapian. Dia lompat menjauh saat menyadari ada saya di depan api. Sungguh, alam tak pernah sesempurna ini bagi saya.
Pantas saja 6 anak muda dari LSM Yayasan Ekosistem Lestari/Sumatran Orang Utan Conservation Programme (YEL/SOCP) betah berlama-lama tinggal di Harangan Tapanuli (sebutan hutan Batang Toru dalam bahasa Batak). Mereka adalah Sheila Kharismadewi Silitonga, Andayani Oerta Ginting, Ulil Amri Silitonga, Dosmartua Sitompul, Ananda Simanungkalit, dan Jevi Sumakti Gultom.
Andayani Ginting (kaus biru) dan tim saat menjelajah Batang Toru (Foto: Sumarwan/HII)
zoom-in-whitePerbesar
Andayani Ginting (kaus biru) dan tim saat menjelajah Batang Toru (Foto: Sumarwan/HII)
Tapi memutuskan tinggal di hutan bukanlah hal mudah. Sebab segalanya sangat terbatas di sini, termasuk bahan makanan dan bahkan sinar matahari.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi kondisi medan Batang Toru yang terjal selalu menguras fisik dan energi. Saya yang baru 3 hari menginap di Camp Mayang saja sudah penuh luka di sana-sini dan badan pegal-pegal. Belum lagi cuaca yang kerap tak menentu.
Ancaman binatang buas bisa terjadi kapan saja. Oleh karena itu, tak hanya bekal fisik yang harus kuat, tapi ilmu pengetahuan dan mental juga harus siap.
“Enak nih kopinya,” kata Sheila memecah lamunan saya. Dia kemudian ikut duduk di depan perapian.
Sambil menghangatkan badan, kami lantas bercengkerama. Sheila yang baru lulus dari jurusan Biologi IPB, menceritakan pengalamannya selama tinggal di hutan lebat dan liar ini. Bermula dari skripsi soal Orang Utan Tapanuli yang kemudian membawa Sheila tinggal di Camp Mayang sejak April 2018 lalu. Rekannya sesama alumni IPB, Andayani atau yang akrab disapa Anda, sudah tinggal di camp itu sejak sebulan sebelumnya.
Sheila Silitonga, peneliti Orang Utan Tapanuli (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sheila Silitonga, peneliti Orang Utan Tapanuli (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
Setelah skripsi tuntas, Sheila tetap melanjutkan penelitian soal orang utan dan resmi menjadi bagian dari YEL/SOCP. Penelitian ini membuatnya familiar dengan beberapa Orang Utan Tapanuli yang kini populasinya terancam punah. Meski demikian ia dan teman-teman YEL/SOCP tetap membiarkan mereka liar.
ADVERTISEMENT
Kegiatan rutin YEL/SOCP fokus pada pengamatan Orang Utan dan fenologi. Fenologi yang dimaksud adalah mengamati pengaruh iklim dan lingkungan sekitar terhadap perkembangan Orang Utan Tapanuli.
“Sehari-hari kita nyari dan mengamati Orang Utan. Kalau ketemu kita kejar sampai ke sarangnya. Cuma kan medan hutan Batang Toru ini terjal, jadi kadang enggak kekejar,” ujarnya.
Melepas lelah saat menjelajah hutan Batang Toru (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Melepas lelah saat menjelajah hutan Batang Toru (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
Selain Orang Utan, ada banyak binatang lain yang mereka temui. Namun tim YEL/SOCP memfokuskan penelitiannya pada Orang Utan Tapanuli yang kini populasinya tinggal 800 ekor.
Bagi Sheila, hidup di hutan membuatnya bahagia. Suasananya tenang, segar, dan jauh dari hiruk pikuk kota.
"Kebetulan aku orangnya emang enggak suka keramaian, jadi lebih senang di hutan," kata perempuan asal Bekasi, Jawa Barat, ini.
ADVERTISEMENT
Sheila mengaku tak dilarang oleh kedua orang tuanya untuk tinggal di hutan. Sebab mereka juga berlatar belakang sebagai mahasiswa kehutanan.
Pepohonan di Hutan Batang Toru. (Foto: Dok. Sumarwan/HII)
zoom-in-whitePerbesar
Pepohonan di Hutan Batang Toru. (Foto: Dok. Sumarwan/HII)
Selain sebagai mahasiswa Biologi, Sheila juga aktif di UKM Mapala Lawalata dan mengambil divisi arung jeram. Tak heran insting adventure dan cinta alam begitu melekat pada dirinya.
"Kapan lagi coba lo tinggal di hutan, dibayar pula," ujarnya seraya tertawa.
Meski demikian, Sheila tetaplah anak milenial pada umumnya yang terkadang rindu dengan gadget dan sosial media. Di sela-sela riset, dia dan teman-temannya terkadang menyempatkan diri mencari sinyal.
"Kadang-kadang kangen juga main Instagram, nonton Youtube. Kita pernah kok jalan kaki 1 jam buat nyari sinyal," katanya.
Mencari sinyal di hutan (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mencari sinyal di hutan (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
Sheila begitu menikmati kehidupannya di hutan, hingga tak kuasa menjawab kapan akan meninggalkan hutan Batang Toru. Meski tak lahir dan dibesarkan di Tanah Batak, dia sangat mencintai Harangan Tapanuli.
ADVERTISEMENT
Para 'penjaga' orang utan ini terdiri dari berbagai latar belakang. Selain Sheila dan Anda yang mengenal hutan Batang Toru sejak menjadi mahasiswa, personel Camp Mayang lainnya adalah warga lokal.
Seperti Ulil Amri yang sebelumnya menjadi pendaras getah karet. Bang Ulil, demikian ia kerap disapa, adalah yang paling senior di antara lainnya. Dia telah tinggal di Camp Mayang selama sekitar 7 tahun.
Ulil Amri Silitonga, 'penjaga' Orang Utan Tapanuli (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ulil Amri Silitonga, 'penjaga' Orang Utan Tapanuli (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
Sedangkan Ananda Simanungkalit (Nanda) sebelumnya adalah penebang kayu ilegal. Sejak mengenal YEL/SOCP, dia menyadari bahwa aktivitasnya selama ini membuat Harangan Tapanuli semakin terancam.
Tinggal berenam di hutan dalam waktu lama membuat mereka akrab satu sama lain. Mereka membagi tugas sama rata, tak peduli pria maupun wanita. Saat senggang, mereka bernyanyi dengan gitar yang dibawa khusus dari rumah untuk menemani hari-hari yang sunyi dan damai di hutan Batang Toru.
Jevi Sumakti Gultom, 'penjaga' Orang Utan Tapanuli (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jevi Sumakti Gultom, 'penjaga' Orang Utan Tapanuli (Foto: Nur Khafifah/kumparan)
Tim ini kerap kedatangan tamu dari berbagai daerah dan negara yang ingin mengenal lebih jauh Orang Utan Tapanuli dan ekosistem Batang Toru. Biasanya mereka adalah peneliti dan media.
ADVERTISEMENT
Kepada rombongan dari HII termasuk kumparan, mereka berpesan agar informasi mengenai kekayaan ekosistem Batang Toru disebarluaskan. Mereka juga meminta semua pihak untuk terus mencintai alam melalui caranya masing-masing.
"Masyarakat Indonesia banyak yang belum tahu kalau kita punya Orang Utan Tapanuli yang sudah sangat terancam punah, padahal di dunia internasional isu ini sangat kuat. Oleh karena itu dengan kedatangan kalian, semoga banyak cerita positif yang bisa disebarluaskan ke masyarakat," kata Sheila.