Meriahnya Masyarakat Yogyakarta Berebut Udhik-udhik Setelah 2 Tahun Pandemi

8 Oktober 2022 11:43 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Meriahnya prosesi Kondur Gangsa dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi oleh Kraton Yogyakarta di Masjid Gedhe. Dalam prosesi ini masyarakat turut berebut Udhik-udhik, Jumat (7/10) malam. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Meriahnya prosesi Kondur Gangsa dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi oleh Kraton Yogyakarta di Masjid Gedhe. Dalam prosesi ini masyarakat turut berebut Udhik-udhik, Jumat (7/10) malam. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Rangkaian peringatan Maulid Nabi yang digelar Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat ditutup dengan prosesi Kondur Gangsa. Prosesi ini adalah kembalinya Gamelan Sekati, yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dari Pagongan Kagungan Dalem Masjid Gedhe ke Kraton pada Jumat (7/10) malam.
ADVERTISEMENT
Dalam prosesi itu, Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X (Sultan HB X) menyebar Udhik-udhik mulai dari Pagongan sisi selatan, Pagongan sisi utara, kemudian ke dalam Masjid Gedhe.
Udhik-udhik terdiri dari bunga, uang logam, beras, dan biji-bijian. Makna udhik-udhik adalah lambang sedekah raja bagi rakyatnya.
"Rangkaian penutupan sekaten (peringatan Maulid Nabi) ditandai dengan acara Kondur Gangsa. Prosesi sendiri ini dari tadi Ngarso Dalem (Sultan) miyos (datang). Nyebar Udhik-udhik di Pagongan Selatan di tempat (Gamelan Sekati) Kanjeng Kiai Gunturmadu. Terus di Pagongan Utara di tempat (Gamelan Sekati) Kanjeng Kiai Nagawilaga. Terus terakhir nyebar Udhik-udhik di Masjid Gedhe Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat," kata Penghageng Pengulon, KRT Jayaningrat, ditemui saat sela-sela acara.
KRT Jayaningrat mengatakan, Udhik-udhik yang di Pagongan ini untuk masyarakat umum. Sementara Udhik-udhik di dalam masjid untuk para abdi dalem. Di Pagongan, Udhik-udhik disebar oleh Sri Sultan dan diperebutkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tahun ini, kali pertama prosesi menyebar Udhik-udhik digelar setelah sebelumnya terhenti karena 2 tahun pandemi COVID-19.
Prosesi menyebar Udhik-udhik ini kaya akan makna. Rangkaian ini sudah ada dari zaman Mataram Islam lama, sejak zaman Sunan Kalijaga. Tujuannya adalah untuk menarik masyarakat pada ajaran agama Islam.
"Kenapa dibilang sekaten adalah perumpamaan dari syahadatan. Jadi di mana masyarakat berbondong-bondong untuk merayakan Maulud Nabi ini, berbondong-bondong ke Kraton mendengarkan ditabuhnya Gamelan Kanjeng Kiai Sekati setelah itu masuk mendengarkan, masuk ke acara serambi masjid untuk mendengarkan ceramah atau pengajian bersama dan syahadat di masjid," ujarnya.
Meriahnya prosesi Kondur Gangsa dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi oleh Kraton Yogyakarta di Masjid Gedhe. Dalam prosesi ini masyarakat turut berebut Udhik-udhik, Jumat (7/10) malam. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Meski saat ini mayoritas masyarakat Yogyakarta sudah beragama Islam, KRT Jayaningrat mengatakan tradisi ini tetap dilaksanakan.
Dalam prosesi ini turut pula prajurit pengiring dari Kraton Yogyakarta yaitu prajurit Wirabraja, Patangpuluh, Ketanggung, Mantrijero, dan Nyutra
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, rangkaian peringatan Maulid Nabi di Kraton Yogyakarta dimulai dengan prosesi Miyos Gangsa pada 1 Oktober lalu. Prosesi ini adalah keluarnya Gamelan Sekati, yakni Kanjeng Kiai.
Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dari Kraton dan dibawa ke Pagongan Kagungan Dalem Masjid Gedhe.
Pada tanggal 6 Mulud hingga 12 Mulud dan akan ditabuh setiap hari mulai pukul 10 pagi hingga 10 malam. Prosesi inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah Sekaten.
Antusiasme Masyarakat
Kemeriahan masyarakat dalam prosesi berebut Udhik-udhik ini begitu terasa. Tak hanya masyarakat Yogyakarta. Banyak juga masyarakat dari luar daerah ikut berebut Udhik-udhik.
"Pas lagi (Udhik-udhik) dilempar ikutan alhamdulillah dapat sih (uang koin). Tadi sempat nanya ke bapak-bapak di belakang ini maknanya apa pak, katanya berbagi rizki dari pihak Kraton kepada masyarakat sekitar gitu. Itu makna yang tersirat," kata Adri mahasiswa asal Lampung ini.
ADVERTISEMENT
Menurut Adri acara seperti ini menarik. Terlebih di tempat asalnya tak ada acara seperti ini. Hal ini menjadi daya tarik bagi pendatang seperti dirinya.
"Senang karena di Jogja baru 1 bulan. Saya dari Lampung. Di Lampung tidak ada kaya gini jadi seru sih bagi pendatang. Ini (uang koin) disimpan jadi kenang-kenangan selama kuliah," ujarnya.
Meriahnya prosesi Kondur Gangsa dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi oleh Kraton Yogyakarta di Masjid Gedhe. Dalam prosesi ini masyarakat turut berebut Udhik-udhik, Jumat (7/10) malam. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Khalis Devinta salah satu wisatawan dari Jakarta, mengaku tertarik dengan kegiatan tradisi seperti ini. Dia rela menyempatkan waktu di malam hari untuk hadir dalam prosesi ini.
"Tadi kebetulan baru nyampe siang dan kebetulan baru sampai ke Kraton dan dari abdi dalem ada info kalau nanti malam ada peringatan untuk Maulid Nabi. Jadi menurut saya ini budayanya sudah 2 tahun ke belakang sudah tertunda karena COVID akhirnya memutuskan datang ke sini," jelasnya.
ADVERTISEMENT
"Sebenernya pingin banget dapet (Udhik-udhik) karena sempat dengar juga kalau dapat koin itu lalu di simpan nanti jadi doa untuk rezeki ke depannya," ujarnya.
Tentang Gamelan Kanjeng Kiai Sekati
Kanjeng Kiai Sekati atau Gangsa Sekati adalah gamelan yang hanya dimainkan saat peringatan Maulid Nabi. Gamelan ini menjadi sarana syiar Islam sekaligus memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang telah ada sejak zaman Kerajaan Demak.
Dalam sejarah, dijelaskan bahwa dahulu Kerajaan Mataram memiliki dua perangkat Gangsa Sekati yaitu Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Guntur Sari. Keduanya dibuat saat masa Sultan Agung yaitu tahun 1613-1645 yang ditunjukkan dengan candra sengkalan memet "Rerenggan Woh-Wohan Tinata ing Wadhah" yang dapat diartikan sebagai "Aneka Buah-Buahan Tertata di Wadah". Sengkalan ini menunjuk pada tahun 1566 J atau tahun 1644 M.
Meriahnya prosesi Kondur Gangsa dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi oleh Kraton Yogyakarta di Masjid Gedhe. Dalam prosesi ini masyarakat turut berebut Udhik-udhik, Jumat (7/10) malam. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Lalu, bagian dari Perjanjian Giyanti, Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Guntur Sari dibagi. Masing-masing Kanjeng Kiai Guntur Madu kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta mendapat Kanjeng Kiai Guntur Sari.
ADVERTISEMENT
Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) ingin mengembalikan Gangsa Sekati pada kelengkapan semula. Maka dari itu dibuat putran atau duplikat dari Kanjeng Kiai Guntur Sari yang diberi nama Kanjeng Kiai Nagawilaga.
Pada setiap peringatan Maulid Nabi atau sekaten, Kanjeng Kiai Guntur Madu selalu diletakkan di Pagongan Kidul, di sebelah kanan Sultan saat beliau duduk di Masjid Gedhe.
Sementara Kanjeng Kiai Nagawilaga yang dianggap lebih muda, gamelan itu diletakkan di Pagongan Lor.
Kedua gamelan ini selalu disiapkan dengan baik sebelum upacara dan diperiksa larasnya. Selain itu tiga hari sebelum acara, gamelan dijamas atau dibersihkan. Setelah prosesi sekaten selesai, kembali dilakukan pemeriksaan dan perbaikan terhadap Gangsa Sekati. Kerusakan kerap terjadi akibat benturan-benturan yang diakibatkan banyaknya orang yang berebut koin saat prosesi Udhik-udhik.
ADVERTISEMENT