Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Misteri Alice Guo sang 'Mata-Mata': dari China, Filipina, sampai Indonesia
16 September 2024 17:03 WIB
·
waktu baca 11 menitAlice baru tinggal beberapa hari di rumah itu bersama seorang biksuni. Menurut Ketua RT setempat, Jeremy, tamu Alice berada di sana untuk ‘mengamankan’ rumah lantaran berposisi tusuk sate alias berhadapan dengan pertigaan jalan yang dianggap kurang baik bagi pemilik rumah.
Meski begitu, petaka tetap saja menghampiri si penghuni rumah. Saat digerebek polisi, Alice masih mengenakan piyama satin merah muda dibalut atasan lengan panjang berwarna putih. Ia lalu dibawa ke Polda Metro Jaya bersama barangnya berupa koper berisi uang.
Esoknya (4/12), Alice tak ditahan. Ia didudukkan di suatu ruangan di unit Jatanras Polda Metro. Sampai kemudian jelang siang pada 5 September, Alice bertemu dengan pengacaranya, Gugum Ridho Putra dan Dharma Rozali Azhar. Gugum baru mengetahui penangkapan Alice setelah keluarganya dari Filipina mengontak kantor hukumnya.
Tak ada raut tegang atau gentar di wajah Alice. Perempuan berusia 34 tahun itu justru disebut lebih banyak tersenyum ceria. Ia juga sempat bercanda dengan para penyidik di kantor polisi tersebut sampai fasih belajar mengucap ungkapan “Menyala Abangku”.
Menurut Gugum, tidak ada pemeriksaan atau pembicaraan substansial terhadap Alice oleh polisi sehingga situasinya cair. Namun, berbeda dengan di Indonesia, penangkapan Alice membuat geger Filipina.
Presiden Filipina Ferdinand “Bongbong” Romualdez Marcos Jr. membuat konferensi pers soal penangkapan ini. Selain berterima kasih pada Indonesia, Marcos turut menyampaikan bahwa Alice akan menghadapi ancaman penegakan hukum di negaranya.
“Dia (Alice) geleng-geleng kepala saja waktu kami kasih tahu Presiden [Filipina] menyebut namanya di konferensi pers soal penangkapannya. Dia senyum-senyum saja, [bilang] ‘Ya, saya sudah tahu,’” terang Dharma kepada kumparan, Kamis (12/9).
Kamis petang (5/9), Alice dideportasi ke negaranya setelah diskusi dengan otoritas Filipina yang menjemput Alice di Polda Metro. Alice tampak begitu penting sehingga penjemputannya dikawal langsung oleh Sekretaris Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Lokal Benhur Abalos, Kepala Polisi Filipina Jenderal Rommel Marbil, dan para pejabat dari Biro Investigasi Nasional (NBI).
Penyerahan Alice ke Filipina ditukar dengan keinginan Indonesia untuk mendapatkan Gregor Johann Hass, anggota kartel narkoba Meksiko yang jadi buronan Badan Narkotika Nasional (BNN).
‘Mata-mata’ China Jadi Wali Kota Filipina
Sebelum menjadi buronan, Alice Guo mengemban jabatan terhormat sebagai Wali Kota Bamban, Provinsi Tarlac. Ia memenangi pemilu kota kecil di Pulau Luzon itu pada 2022 dengan torehan suara 42,98%. Capaian yang luar biasa karena ia maju dari jalur independen dan tidak memiliki pengalaman politik sebelumnya.
Citra publik yang ditampilkan Alice sebagai wali kota ialah pribadi yang ramah dan murah senyum. Ia bahkan terang-terangan menyukai warna merah muda yang kalem dan feminin, dan hampir seluruh alat di meja kerjanya memiliki kelir tersebut.
Dalam akun YouTube-nya pada 2022, Alice mengemas video kampanyenya sebagai vlog kegiatan sehari-hari di mana ia beternak ayam, blusukan bertemu warga, hingga memasak dengan tim suksesnya.
Setelah menjadi wali kota selama kurang lebih 2 tahun, kursi jabatan perempuan tersebut mulai digoyang. Namanya mencuat usai tim gabungan yang dipimpin Komisi Anti-Kejahatan Terorganisir Kepresidenenan (PAOCC) menggerebek fasilitas Operator Permainan Lepas Pantai Filipina (POGO) di Bamban pada 13 Maret 2024. Aktivitas POGO berada di bawah bendera Zun Yuan Technology Inc.
Dalam penggerebekan tersebut, selain aktivitas judi ilegal, ditemukan pula jejak praktik penipuan cinta (love scamming) online. PAOCC kemudian mengamankan 371 warga Filipina, 432 WN Tiongkok, 8 WN Malaysia, 57 WN Vietnam, 3 WN Taiwan, 2 WN Indonesia, dan 2 WN Rwanda yang sebagian di antaranya diduga sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
POGO di Bamban mulai disangkutpautkan dengan Alice pada 25 Maret oleh Senator Sherwin Gatchalian yang mengaku mendapat dokumen berupa tagihan listrik Zun Yuan Technology Inc. dan dokumen kepemilikan kendaraan di sana yang diterbitkan atas nama Alice.
Tudingan keterlibatan Alice dengan aktivitas POGO semakin serius saat Kementerian Dalam Negeri Filipina mulai melakukan penyelidikan pada 5 April. Pada 7 dan 22 Mei, Senat parlemen Filipina juga menggelar sidang untuk menyelidiki dugaan yang serupa dengan memanggil Alice.
Senator Risa Hontiveros membuka sidang itu dengan wanti-wanti bahaya agen China yang beroperasi di sejumlah negara di Asia Tenggara, khususnya negara yang bersinggungan dengan Laut China Selatan. Ia pun memaparkan bukti dokumen yang meragukan Alice sebagai warga kelahiran Filipina.
Alice juga dituding oleh Hontiveros memiliki hubungan dengan dua terpidana kasus pencucian uang senilai USD 3 miliar dolar di Singapura, yakni warga negara China Zhang Ruijin dan Lin Baoying. Bersama keduanya, Alice disebut sempat membangun perusahaan Baofu Land Development pada 2019 di atas tanah miliknya yang kini terbangun Zun Yuan Technology Inc.
Dengan alasan-alasan itulah, Senat Filipina mempertanyakan apakah Alice merupakan aset ‘mata-mata’ China dan terlibat pelbagai kegiatan ilegal seperti pencucian uang, TPPO, dan terkait dengan POGO.
Alice membantah tuduhan sebagai mata-mata dan menolak keterlibatannya dengan POGO. Namun, ia gagal menjelaskan rinci tentang kehidupannya, termasuk tempat lahirnya dan alasan mengapa akta kelahirannya baru diajukan di usia 17 tahun.
Alice juga mengaku mengikuti home schooling, tetapi ia tidak mengingat penyedia layanan jasa home schooling itu kecuali nama gurunya saja. Ia pun tidak memiliki dokumen yang membuktikan bahwa ia pernah menyelesaikan program sekolah itu.
Kementerian Dalam Negeri Filipina pada 24 Mei mengajukan tuntutan korupsi terhadap Alice karena keterlibatannya dengan POGO. Karena kelindan kasusnya, pada 3 Juni Ombudsman Filipina turut menangguhkan jabatan wali kota Alice selama 6 bulan.
Senat Filipina pada 18 Juni menyatakan bahwa keluarga Alice pernah mengajukan Visa Tinggal Investor Khusus. Catatan tersebut menunjukkan bahwa Alice disinyalir kuat sebagai warga negara China bernama Guo Hua Ping, yang masuk Filipina pada 12 Januari 2003 pada usia 13 tahun. Meskipun demikian, Alice membantah identitas tersebut.
Pada 21 Juni, Alice kembali menghadapi tuntutan atas dugaan perdagangan manusia yang terkait operasional POGO. PAOCC dan Kepolisian Nasional Filipina mengajukan tuntutan itu ke Departemen Kehakiman.
Dalam sidang pada 26 Juni, Senat Filipina mengungkap dokumen dari Biro Investigasi Nasional (NBI) yang memperlihatkan adanya foto wanita lain bernama Alice Leal Guo, yang memiliki tanggal lahir yang sama dan nama yang sama.
Namun, Alice tidak hadir dalam sidang tersebut karena alasan kesehatan. Senat pun mengeluarkan surat panggilan dengan ancaman penangkapan jika Alice tidak hadir pada sidang 10 Juli.
Kejaksaan Agung Filipina lalu mengeluarkan surat perintah larangan menjabat jabatan publik (quo warranto) terhadap Alice pada 27 Juni. Larangan ini muncul setelah NBI mengonfirmasi bahwa sidik jarinya cocok dengan pemegang paspor China, Guo Hua Ping.
Namun di sisi lain, NBI juga menemukan adanya data Alice Guo lain dengan tanggal lahir yang sama di data sertifikat pendaftaran orang asing pada 2005. Tapi sidik jari data itu dengan Alice Guo ‘sang wali kota’ tidak cocok–yang kemudian diduga NBI sebagai upaya untuk mengelabui penyelidikan.
Alice kembali dipanggil ke sidang Senat pada 10 Juli, tetapi ia mangkir karena trauma. Senat Filipina kemudian mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Alice dan keluarganya yang disebarluaskan pada 13 Juli.
Pada 18 Juli, Alice bersama dua saudaranya, Shiela Guo dan Wesley Guo, kabur menggunakan yacht dari Metro Manila. Mereka kemudian berpindah-pindah kapal hingga sampai ke Malaysia. Pada 21 Juli, Alice terpotret berada di Bandara Kuala Lumpur, Malaysia, sebelum menuju Singapura, di mana ia tinggal selama hampir sebulan.
Cari Suaka ke Indonesia
Pertengahan Agustus 2024, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM mendapat surat dari Biro Imigrasi Filipina mengenai kemungkinan adanya empat orang WN mereka yang masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah buronan pemerintah, Alice Guo.
Dirjen Imigrasi Silmy Karim menjelaskan setelah mengecek data perlintasan, ternyata benar terdapat 4 orang yang dicari tersebut ditemani oleh 1 orang WN Singapura. Mereka masuk Indonesia via Batam pada 18 Agustus 2024. Mereka memesan kamar di Hotel Santika Batam. Tetapi ketika petugas imigrasi mendatangi hotel itu, kelimanya sudah tak ada di sana.
“Anggota kita mengejar di tempat perlintasan imigrasi dan berhasil dapat dua orang, Shiela Guo dan Cassandra Ong. Namun Alice dan satu lagi, Wesley Guo, sudah tidak ada. Wesley sudah keburu pergi dan ditangkap di Hong Kong,” terang Silmy kepada kumparan, Sabtu (14/9).
Shiela dan Wesley merupakan saudara Alice, sedangkan Cassandra diduga merupakan salah satu perwakilan POGO ilegal yang digerebek di Provinsi Tarlac.
Silmy menyebut, berdasarkan data perlintasan Alice kabur dari Batam ke Tangerang. Tetapi ia tidak bisa memastikan melalui jalur apa eks Wali Kota Bamban itu pergi ke sana.
“Kita terus bekerja sama dengan Polri ketika kemudian bisa mendapatkan Alice Guo [di Tangerang],” ujar Silmy. Alice ditangkap setelah sekitar 18 hari berada di Indonesia.
Pengacara Alice, Gugum Ridho Putra, menyebut Alice masuk ke Indonesia secara legal menggunakan paspor. Namun berdasarkan cerita Alice, Gugum menyebut kliennya masuk ke Indonesia melalui penerbangan dari Singapura ke Bandara Soekarno Hatta di Tangerang.
“Ada cap Imigrasinya, paspornya juga hidup. Jadi dia memang gak ada masalah apa-apa di Jakarta,” timpal pengacara Alice yang juga partner Gugum, Dharma Rozali Azhar. Ia mengaku ditunjukkan cap paspor oleh Alice langsung.
Silmy mengakui Alice Guo cs masuk Indonesia secara legal karena saat itu belum ada catatan permohonan red notice dari Interpol Filipina. Maka dari itu mereka lolos pemeriksaan imigrasi. Setelah di Indonesia barulah Alice cs masuk daftar Interpol sehingga Indonesia berkewajiban untuk mencari.
“Lalu dia paspornya dibatalkan oleh negara asal, artinya yang bersangkutan sudah menjadi warga ilegal karena tidak memiliki paspor yang sah. Di situlah kita bisa menangkap,” terang Silmy.
Menurut Gugum, Alice pergi ke Indonesia karena merasa ada tekanan politik di Filipina. Ia dituding sebagai WN China. Alice, kata Gugum, sebenarnya bisa membuktikan dirinya asli Filipina, hanya saja belum memiliki kesempatan untuk membela diri.
“Dia juga merasa ada ancaman pembunuhan sehingga meninggalkan Filipina, lari ke Indonesia. Salah satu tujuannya [ke Indonesia] meminta supaya ada suaka politik. Political asylum sebenarnya itu memungkinkan diberikan untuk alasan background politik, kecuali kalau memang tindak pidana murni aja,” kata Gugum.
Sejak Agustus, Alice diberhentikan sebagai wali kota Bamban. Pada akhir bulan yang sama, PAOCC-NBI-Dewan Anti-Pencucian Uang (AMLC) menuntutnya bersama 35 orang lain dengan 87 kasus pencucian uang di Departemen Kehakiman dengan tuduhan telah mencuci lebih dari 100 juta peso (sekitar Rp 27,7 miliar) dari hasil kegiatan kriminal.
AMLC juga membidik aset Alice dkk setara 6 miliar peso (sekitar Rp 1,68 triliun) yang terdiri dari properti di Tarlac, Pampanga, dan Las Piñas City, kendaraan mewah, berbagai akun bank, hingga helikopter yang diduga digunakan untuk operasi kriminal.
Soal apakah Alice terkait dengan POGO, pencucian uang, TPPO, hingga merupakan mata-mata China, Gugum dan Dharma menyatakan kliennya belum bercerita secara rinci sehingga hal itu belum dapat dikonfirmasi.
Yang jelas, menurut Gugum, posisi Alice saat ini masih sebatas diselidiki di kamar Senat parlemen atau semacam panitia khusus di parlemen Indonesia. Gugum juga merasa proses pengembalian Alice ke Filipina terlalu cepat, padahal kliennya tidak melakukan pelanggaran hukum di Indonesia.
“Itu baru tuduhan di negaranya yang belum ada proses hukum. Kalau dari kacamata kita, POGO sebelum rezim sekarang masih sah, tapi kemudian ketika pemerintahan berganti dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebenarnya tuduhan pidananya berlatar belakang politik,” jelas Gugum.
Soal cepatnya proses deportasi Alice, Silmy Karim justru merasa hal itu mesti dilihat secara positif. Sebab negara-negara di ASEAN memiliki kerja sama dalam hal kejahatan transnasional. Pengembalian cepat Alice ke negaranya justru membuat Indonesia dianggap sebagai mitra yang baik.
“Saya mendapatkan penghargaan bersama jajaran imigrasi di Indonesia oleh pemerintah Filipina karena keberhasilan kita dengan cepat menangkap mereka dan kita langsung serahkan,” kata Silmy.
Langkah Kontra-Intelijen Indonesia
Pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Rizki Ananda Ramadhan, menilai pengembalian Alice Guo kepada Filipina secara cepat menunjukkan bahwa Indonesia ingin menghindari risiko yang timbul jika Alice lama-lama ditahan di Indonesia.
“Apalagi memang bila Alice terindikasi sebagai agen dari China. Daripada Indonesia jadi sibuk dan repot berhadapan dengan pihak lain, atau semakin banyak tuntutan untuk memeriksa ini siapa dan bagaimana aktivitas dia di Indonesia. Saya melihatnya ini suatu [langkah] kontra intelijen saja,” kata Rizki.
Peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Internasional FISIP Unpad ini mengamini jika pemulangan Alice ditunda-tunda, bisa berdampak pada buruknya hubungan Indonesia-Filipina.
“Kemudian juga akan semakin banyak otoritas intelijen yang dipertanyakan. Misalnya, kok bisa [agen intelijen China] masuk di Indonesia? Ya meskipun bagi saya itu hal yang lumrah sebetulnya, karena intelijen asing di Indonesia sudah ada aktivitasnya sejak era Presiden Soekarno,” katanya.
Mengenai tujuan Alice mencari suaka ke Indonesia, Rizki berpandangan belum ada motif kemanusiaan yang kuat sehingga pemerintah Indonesia perlu memberi suaka.
Sementara itu pemerintah China melalui Kedutaan Besarnya di Manila tidak pernah menyangkal atau mengamini bahwa Alice merupakan agennya. Dalam sejumlah pernyataan sejak isu penggerebekan POGO mengemuka, Kedubes China justru mendukung upaya Filipina mengatasi perjudian lepas pantai dan mendorong agar operasi POGO dilarang.
Menurut Rizki, tak disinggungnya penyangkalan terhadap Alice sebagai respons resmi China merupakan langkah yang wajar. Sebab, jika memang benar Alice merupakan agen China, respons diam China justru demi keamanan Alice dan menjaga citra China di ASEAN, khususnya di Indonesia dan Filipina.
Adapun soal narasi Alice yang kemudian dikait-kaitkan dengan konflik di Laut China Selatan, Rizki memandang hal itu bukan menjadi faktor utama. Sebab, kemungkinannya agen ditempatkan hanya untuk mencari bagaimana strategi Filipina dalam berurusan dengan Laut China Selatan.
“Kalau yang lebih relevan kemungkinan [mencari informasi] arah kebijakan Filipina yang sangat berpengaruh terhadap China [secara umum],” ujarnya.