MK Dinilai Tak Berwenang Putus Batas Usia Capres-Cawapres: Bukan Isu Konstitusi

10 Oktober 2023 11:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Konstitusi (MK) hingga saat ini belum juga memberikan sinyal akan memutus permohonan soal syarat capres-cawapres di UU Pemilu. Khususnya permohonan syarat capres-cawapres minimal berumur 35 tahun.
ADVERTISEMENT
Permohonan soal umur tersebut teregister dengan nomor perkara 29/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Parpol PSI, Anthony Winza Prabowo, Danik Eka Rahmaningtyas, Dedek Prayudi, dan Mikhael Gorbachev Dom.
Kemudian, ada permohonan serupa lainnya yang menguji soal syarat umur, meski angkanya berbeda-beda, yakni permohonan nomor 107/PUU-XXI/2023; 105/PUU-XXI/2023; 104/PUU-XXI/2023; 102/PUU-XXI/2023; 100/PUU-XXI/2023; 96/PUU-XXI/2023; 93/PUU-XXI/2023; 92/PUU-XXI/2023; 91/PUU-XXI/2023; 55/PUU-XXI/2023; dan 51/PUU-XXI/2023.
Adapun saat ini syarat umur capres-cawapres adalah minimal 40 tahun.
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, MK sejatinya tidak punya wewenang untuk memutus permohonan tersebut. Karena sudah masuk ranah kewenangan pembentuk undang-undang, dan bukan norma konstitusi.
"Tidak berwenang," kata Bivitri saat dihubungi, Selasa (10/10).
"Batasan umur sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden bukanlah isu konstitusional, sehingga Mahkamah Konstitusi harus konsisten dengan putusan-putusannya selama ini mengenai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Apa alasannya?
Bivitri mengatakan, pembatasan usia minimum atau maksimum dalam politik sebetulnya bukan isu yang lazim diatur secara ketat, karena kapasitas politik seorang politikus umumnya diukur dari pengalaman politik, tergambar dari rekam jejaknya.
"Berbagai negara menerapkan usia yang berbeda-beda mengenai batasan umur ini, karena memang sejauh ini tidak ada pembuktian secara ilmiah mengenai pengaruh usia pada kapasitas politik," kata Bivitri.
Dia menilai, isu soal usia ini tidak ada kaitannya dengan hukum.
"Mengukur kemampuan seseorang untuk mengemban tanggung jawab tertentu sama sekali bukan isu hukum, selain mengenai hak," kata dia.
Sehingga, satu-satunya keterkaitan hukum dengan isu usia adalah soal batas usia dewasa, yang dikenal di wilayah hukum secara luas dalam hal kemampuan untuk melakukan tindakan hukum. Dalam konteks kepemiluan, batasan inilah yang dijadikan batas usia minimum untuk memilih.
ADVERTISEMENT
"Ini pun sebenarnya masih bisa diperdebatkan karena masuk pula ketentuan mengenai “sudah menikah” yang bisa dianggap dewasa," ucapnya.
"Karena itulah, pertanyaan mengenai pada usia berapa seseorang sudah mampu menjadi presiden atau wakil presiden, bukanlah suatu isu hukum, apalagi isu konstitusional," sambungnya.
Ilustrasi ruangan Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Dalam permohonan ini, apabila pembentuk kebijakan ingin membangun konsistensi mengenai hak, menurut Bivitri, maka usia minimum untuk dipilih sama dengan usia minimum untuk memilih.
Namun nyatanya, kata Bivitri, bukan model seperti ini yang dibangun, karena ada asumsi mengenai masih belum matangnya kultur politik di Indonesia dan budaya feodalisme bisa membuat rekam jejak politik tenggelam di dalam menterengnya latar belakang keluarga dan gelar.
Bivitri menilai, perdebatan mengenai batas usia minimum untuk dipilih harusnya dibiarkan berada dalam wilayah kebijakan, bukan konstitusional.
ADVERTISEMENT
Jika MK yang mengaturnya, fleksibilitas ini akan hilang karena batas usia akan menjadi isu konstitusional yang kembali harus diperiksa Mahkamah dengan logika yang sangat mungkin akan inkonsisten.
"Inkonsistensi ini sudah terlihat dalam Permohonan a quo, yang, bila diadopsi oleh Mahkamah, menurut saya akan membuka inkonsistensi putusan Mahkamah," ucapnya.
Dalam permohonannya, pemohon mengemukakan argumen tentang ketidakadilan dan diskriminasi. Bivitri mengatakan, jika proporsi utamanya adalah adanya pembatasan umur menimbulkan diskriminasi bagi sebagian warga negara Indonesia yang berusia di bawah batasan usia minimum tersebut (40 tahun), maka seharusnya kesimpulan seharusnya adalah menghilangkan sama sekali batasan umur ini, bukan menurunkannya.
"Sebab bila batas usia diturunkan, maka diskriminasi juga terjadi, hanya kali ini bagi orang-orang yang berusia di bawah 35 tahun," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, MK juga dalam beberapa permohonan menyatakan uji materi soal batasan umur, merupakan wewenang open legal policy milik pembentuk undang-undang. Tujuh putusan di antaranya yakni: Putusan MK No. 15/PUUV/2007; No. 37-39/PUU-VII/2010; No. 49/PUUIX/2011; 56/PUUX/2012; No. 7/PUUXI/2013; No. 65/PUUXV/2017; dan No. 58/PUUXVII/2019.
"Mahkamah Konstitusi harus konsisten dengan putusan-putusannya selama ini mengenai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Mengingat isu politik yang sangat kuat dalam perkara a quo, bila memang ada perubahan yang dianggap penting oleh Mahkamah, maka perubahan itu harus dilakukan setelah Pemilu 2024 dan oleh pembentuk undang-undang," pungkas Bivitri.