MK Hapus Ambang Batas 20%, Semua Parpol Bisa Ajukan Capres-Cawapres

2 Januari 2025 15:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
28
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kanan) didampingi hakim konstitusi Saldi Isra (kiri) memimpin sidang pleno khusus Penyampaian Laporan Tahunan 2024 dan Pembukaan Masa Sidang 2025 Mahkamah Konstitusi di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1) Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kanan) didampingi hakim konstitusi Saldi Isra (kiri) memimpin sidang pleno khusus Penyampaian Laporan Tahunan 2024 dan Pembukaan Masa Sidang 2025 Mahkamah Konstitusi di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1) Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang putusan terhadap gugatan nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis (2/1). Gugatan itu terkait uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
ADVERTISEMENT
Pemohon yakni Rizki Maulana Syafei, Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Para pemohon dalam petitumnya mempermasalahkan Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu. Pasal 222 ini mengatur syarat ambang batas atau threshold bagi capres dan cawapres.
Berikut bunyi dari Pasal 222:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.
Pemohon menilai, Pasal 222 ini telah melanggar batasan open legal policy, moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan bagi seluruh warga Indonesia. Akibatnya, mereka yang bisa mencalonkan diri sebagai capres atau capres terhambat oleh syarat ambang batas ini. Pemohon meminta MK menganulir Pasal 222.
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah) didampingi para hakim konstitusi memimpin sidang pleno khusus Penyampaian Laporan Tahunan 2024 dan Pembukaan Masa Sidang 2025 Mahkamah Konstitusi di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
Dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. MK menilai Pasal 222 bertentangan dengan UUD NKRI 1945.
ADVERTISEMENT
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tambah dia.
MK memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) berbincang dengan Hakim MK Saldi Isra saat sidang putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Hakim MK Saldi Isra menjelaskan, berdasarkan pertimbangan hukum, menurut Mahkamah ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.
Namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, ada alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya.
"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," kata Saldi.
Saldi menilai, dalil para pemohon yang menyatakan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah beralasan menurut hukum.
Dalam pertimbangan putusan, MK juga menyampaikan saran revisi UU Nomor 7 Tahun 2017. Berikut lima poinnya:
ADVERTISEMENT
1. Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden;
2. Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politi atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah
kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional;
3. Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai polik sehinga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan waki I presiden serta terbatasnya pilihan pemilih;
4. Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya; dan
ADVERTISEMENT
5. Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 mellbatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di
DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).