MK Kabulkan Gugatan Haris Azhar-Fatiah, Pasal 'Berita Bohong Bikin Onar' Dihapus

21 Maret 2024 15:54 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Haris Azhar saat mendengarkan putusan MK terkait permohonan larangan sebarkan hoaks. Foto: Dok. MKRI
zoom-in-whitePerbesar
Haris Azhar saat mendengarkan putusan MK terkait permohonan larangan sebarkan hoaks. Foto: Dok. MKRI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi sejumlah pasal yang diajukan Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti terkait pencemaran nama baik. Pasal 14 dan 15 soal pidana penyebaran berita bohong yang membuat keonaran dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 tidak mempunyai kekuatan mengikat alias dihapuskan.
ADVERTISEMENT
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo dalam pembacaan amar putusan, di Ruang Sidang MK, Kamis (21/3).
Haris Azhar dan Fatiah sempat berstatus terdakwa kasus pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Namun, mereka divonis bebas oleh Hakim PN Jakarta Timur yang menilai keduanya tak terbukti melakukan perbuatan tersebut.
Keduanya kemudian mengajukan gugatan ke MK. Khususnya terkait dengan Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana; Pasal 310 ayat (1) KUHP; dan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE. Mereka merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret akibat ketentuan pasal-pasal yang diuji.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyebut bahwa unsur 'berita atau pemberitahuan bohong' dan 'kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan' sebagai yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP dapat menjadi 'pasal karet'. Berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum.
ADVERTISEMENT
Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud 'pasal karet' adalah pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya. Terlebih, dalam perkembangan teknologi informasi seperti saat ini yang memudahkan masyarakat dalam mengakses jaringan teknologi informasi, masyarakat dapat memperoleh informasi dengan mudah dan cepat. Meski acapkali tanpa diketahui apakah berita yang diperoleh adalah berita bohong atau berita benar dan berita yang berkelebihan.
"Sehingga berita dimaksud tersebar dengan cepat kepada masyarakat luas yang hal demikian dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana kepada pelaku dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut,” ucap Arsul.
Berikut bunyi pasalnya:
Pasal 14.
(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
ADVERTISEMENT
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Pasal 15.
Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.
Arsul melanjutkan, bila dikaitkan dengan hak kebebasan untuk berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, meskipun sesungguhnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa sekalipun, hak-hak tersebut akan terancam aktualisasinya.
Sebab, yang mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan. Terlebih, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna 'keonaran' dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP tersebut, seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada.
ADVERTISEMENT
Sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan bahwa unsur 'onar atau keonaran' yang termuat dalam Pasal 14 KUHP sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi saat ini. Masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial.
Sehingga, pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik merupakan bagian dari dinamika demokrasi. Bukan serta merta dapat dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran dan dapat dikenakan tindakan oleh aparat penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Sementara dalam Pasal 15 KUHP, menilai unsur 'kabar yang berkelebihan' merupakan pengulangan penerapan unsur 'pemberitahuan bohong' yang esensinya sebenarnya sama. Hal tersebut mengakibatkan adanya tumpang tindih dalam pengaturan norma Pasal 15 KUHP yang dapat menjadikan norma dimaksud mengandung sifat ambigu.
Terlebih, penjelasan pasal tersebut tidak menguraikan secara jelas gradasi atau tingkat keakuratan yang dimaksud. Sehingga hal ini bertentangan dengan asas yang berlaku dalam perumusan norma hukum pidana, yaitu harus dibuat secara tertulis (lex scripta), jelas (lex certa), dan tegas tanpa ada analogi (lex stricta).
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, dengan adanya rumusan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 yang luas dan tidak jelas sehingga dapat diartikan secara tidak terbatas dan beragam, telah menyebabkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkaitan dengan Inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 adalah beralasan menurut hukum,” papar Enny.
ADVERTISEMENT
Selain kedua pasal tersebut, ada pasal lain yang diubah MK. Yakni Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang berbunyi:
Pasal 310
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Menurut MK, ada perbedaan ketentuan norma dalam pasal tersebut dengan norma dalam KUHP baru yakni pada Pasal 433 UU Nomor 1 Tahun 2023.
Dalam Pasal 433 UU 1/2023 terdapat penegasan pelaku melakukan perbuatan pencemaran mencakup perbuatan 'dengan lisan'. Sementara unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Meski nantinya yang akan berlaku adalah KUHP baru, MK menilai perlu adanya adopsi unsur tersebut ke dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP guna kepastian hukum.
"Dengan demikian, norma Pasal 310 ayat (1) KUHP dimaksud dapat memberikan kepastian hukum dan mempunyai jangkauan kesetaraan yang dapat mengurangi potensi adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap addresat norm atas ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas," terang Enny.
Dengan demikian, MK mengubah Pasal 310 ayat (1) KUHP menjadi:
"Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
ADVERTISEMENT