MK Kabulkan Gugatan: KY Tak Berwenang Awasi Etik Hakim Konstitusi

21 Juni 2022 10:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jurnalis memotret jalannya sidang pembacaan putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (20/4/2022). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Jurnalis memotret jalannya sidang pembacaan putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (20/4/2022). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan judicial review seorang advokat bernama Ignatius Supriadi. Gugatan tersebut terkait dengan keanggotaan Komisi Yudisial (KY) dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
ADVERTISEMENT
Dalam gugatan tersebut, Ignatius meminta MK menyatakan keanggotaan KY dalam MKMK inkonstitusional. Pasal yang digugat yakni Pasal 27A ayat 2 huruf b UU Nomor 27 Tahun 2020 tentang MK.
Berikut bunyinya:
Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotaannya terdiri atas:
a. 1 (satu) orang hakim konstitusi;
b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial;
c. 1 (satu) orang akademisi yang berlatar belakang di bidang hukum;
Pemohon meminta agar huruf b dalam pasal tersebut diganti dengan: 1 orang dari unsur masyarakat yang mempunyai reputasi serta integritas yang baik dan tidak terafiliasi dengan partai politik atau tidak memiliki latar belakang di bidang politik serta pemerintahan. Jika tidak, ia meminta pasal tersebut inkonstitusional.
ADVERTISEMENT
Ada dua dalil yang menjadi dasar atas gugatan tersebut. Apa saja?
Pertama, KY dinilai merupakan lembaga negara penunjang atau auxiliary state organs sehingga tidak dapat memperoleh peran untuk mengawasi hakim mahkamah melalui Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Sebab sebagai lembaga negara penunjang, KY dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga.
Dia menilai, pihak yang berperkara tidak mungkin dapat mengawasi hakim yang menangani perkara itu. Ketika pihak yang berperkara diberi peranan untuk dapat mengawasi hakim yang memutus perkaranya, maka dinilai akan timbul konflik kepentingan dan akan menyebabkan terganggunya kemerdekaan hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan.
"Oleh karena itu, keberadaan anggota Komisi Yudisial dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi secara tetap akan mengancam dan mengganggu baik secara langsung maupun tidak langsung kemandirian hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya," bunyi permohonan.
ADVERTISEMENT
Kedua, pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 dinilai tidak mencerminkan dan mengejawantahkan adanya kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena melibatkan peranan dari KY dalam pembentukan atau keanggotaan MKMK.
Padahal, kata pemohon, keberadaan MK tidak bersinggungan atau berkaitan atau bergantung dari KY sehingga tidak konstitusional bilamana KY masih memiliki peranan atau keterlibatan dalam MK. Dalam hal ini, sebagai salah satu anggota MKMK.
Di samping itu, lanjut pemohon, pelibatan KY dinilai jelas-jelas secara konstitusional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak sejalan dengan pandangan, pendirian, serta pendapat dari Putusan MK yang telah dijatuhkan sebelumnya terkait dengan peranan KY dalam lembaga MK.
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah

Pertimbangan Hakim MK

Dalam memutus gugatan tersebut, MK mengacu pada dua putusan yang pernah dikeluarkan yakni pada 2006 dan 2015. Kedua putusan sebelumnya mengeliminir peran KY untuk mengawasi hakim konstitusi.
ADVERTISEMENT
Seperti contohnya dalam petikan putusan 2015:
Komisi Yudisial bukanlah lembaga pengawas dari Mahkamah Konstitusi apalagi lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan. Dalam praktik negara hukum, tidak pernah terjadi di mana pun putusan pengadilan dapat dinilai benar atau tidak benarnya oleh lembaga negara yang lain, alih-alih oleh sebuah komisi, bahkan komentar yang berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya menyelesaikan sengketa (dispute settlement) yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik yang meluas di banyak negara dikualifikasikan sebagai contempt of court.
Majelis menyatakan bahwa MKMK yang salah satunya adalah dari unsur anggota KY tidak sejalan dengan dua putusan di atas.
Karena dalam pertimbangan putusan tersebut tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa MK merupakan kekuasaan yang merdeka sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain.
ADVERTISEMENT
"Dengan kata lain, pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dinilai Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat mewujudkan sifat independensi dan imparsialitasnya," kata MK.
Dengan demikian, MK menyatakan KY tak lagi bisa menjadi anggota MKMK. Dengan menghapus posisi KY, maka terjadi kekosongan apabila UU tersebut belum diperbaiki oleh pembuat undang-undang. Sehingga, MK menyatakan dapat menunjuk sendiri siapa yang bisa menempati posisi tersebut, dengan sejumlah kualifikasi.
"Mahkamah dapat menentukan pengganti unsur yang berasal dari Komisi Yudisial adalah dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik mana pun, dalam rangka menjamin sikap netral dan independen keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi nantinya," kata MK.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya komposisi tersebut, kata mahkamah, pihaknya dapat melanjutkan penyusunan peraturan MK mengenai MKMK sebagaimana amanat dari Pasal 27A ayat (7) UU tentang MK.
Dalam amar putusan, MK menyatakan bahwa Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa '1 orang anggota Komisi Yudisial' tidak dimaknai '1 orang dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun'.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," demikian putusan MK.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra memimpin sidang Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Dissenting Opinion

Putusan MK ini tidak bulat. Salah satu hakim MK, Saldi Isra, menyatakan keterlibatan KY dalam MKMK dalam formulasi UU tersebut konstitusional.
ADVERTISEMENT
Dia mengatakan, apabila MKMK dibentuk sebagai majelis yang bersifat tetap dengan tugas dan fungsi sehari-harinya untuk mengawasi hakim konstitusi maka keberadaan anggota dari unsur KY barulah menjadi bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006, 23 Agustus 2006.
Saldi menilai dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, hakim MK tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY.
Namun, apabila model pembentukan MKMK bersifat ad hoc yang hanya dibentuk sementara atau tidak tetap, yang intinya berfungsi untuk menindaklanjuti laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh hakim konstitusi, maka keberadaan unsur Komisi Yudisial sebagai anggota MKMK dapat dikatakan tidak bertentangan dengan putusan No 005/PUUIV/2006 tersebut.
ADVERTISEMENT
"Selama ini, MKMK selalu diposisikan dan dibentuk sebagai Majelis yang bersifat ad hoc. Karenanya, tidak ada yang mempermasalahkan keberadaan unsur anggota Komisi Yudisial dalam keanggotaan MKMK di dalamnya. Sebab, MKMK yang dibentuk secara ad hoc tersebut terbatas untuk melakukan pengolahan dan penelaahan terhadap laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga," kata Saldi.
Tugas tersebut, kata Saldi, dilakukan dengan cara memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim terduga serta meminta keterangan dari para pihak yang terkait. Atas hasil pemeriksaan tersebut, MKMK hanya berwenang terbatas untuk menjatuhkan keputusan berupa sanksi atau rehabilitasi.
"Dengan kata lain, selama ini MKMK hanya fokus untuk menindaklanjuti dan memeriksa laporan terhadap satu kasus tertentu saja yang diusulkan kepadanya, dan bukan untuk mengawasi para hakim konstitusi setiap harinya," ucap Saldi.
ADVERTISEMENT
Dia juga mempertanyakan soal unsur MK dalam MKMK. Dia mempertanyakan jika seluruh hakim konstitusi dilaporkan atas dugaan etik, siapa yang mewakili MK dalam MKMK.
"Bilamana yang dilaporkan hanya satu atau beberapa orang hakim konstitusi maka hakim konstitusi yang tidak dilaporkan dapat menjadi anggota MKMK. Masalahnya, bagaimana jika semua (9 orang) hakim konstitusi yang dilaporkan, siapa yang akan menjadi anggota MKMK dari hakim konstitusi aktif?" kata dia.
Atas dasar itu, dia berbeda pandangan dengan 8 hakim MK lainnya. Dia memandang keberadaan KY konstitusional dalam Pasal 27A ayat 2 huruf b UU Nomor 27 Tahun 2020. Putusan tersebut diketok pada 20 Juni 2022.