Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
MK dalam putusan perkara nomor 70/PUU-XVII/2019, menyatakan kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3 tetap konstitusional. Diketahui aturan SP3 tersebut diatur di Pasal 40 ayat (1) UU KPK hasil revisi yang berbunyi:
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
Namun, MK menilai aturan batas waktu maksimal 2 tahun dalam pasal tersebut tidak jelas. Sehingga MK menegaskan batas waktu paling lama 2 tahun tersebut dihitung sejak terbitnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
"Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK, Anwar Usman, saat membaca putusan di ruang sidang, Jakarta, Selasa (4/5).
"Menyatakan frasa 'tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun dalam Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak selesainya dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak diterbitkannya SPDP'," lanjut Anwar.
ADVERTISEMENT
Sehingga MK menyatakan bunyi Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 menjadi:
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diterbitkannya SPDP.
Dalam pertimbangan putusannya, MK menyatakan kewenangan SP3 tersebut sebagai upaya penegakan hukum yang harus memberi kepastian, keterbukaan, dan penghormatan terhadap HAM.
"Sehingga apabila telah melewati jangka waktu 2 tahun perkara tersebut tidak dilimpahkan ke pengadilan dan KPK tidak menerbitkan SP3, maka tersangka dapat mengajukan praperadilan," ujar Hakim MK Enny Nurbaningsih saat membaca pertimbangan putusan.
MK menyatakan berdasarkan putusan sebelumnya, penegakan hukum KPK yang tak memiliki wewenang SP3 memang konstitusional. Namun berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, MK menilai banyak perkara di KPK yang tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan padahal prosesnya sudah bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu Mahkamah dapat memahami ketentuan adanya diskresi kepada KPK untuk menerbitkan SP3. Namun demikian Mahkamah menegaskan apabila ditemukan bukti yang cukup, KPK harus membatalkan SP3 sehingga tersangka harus diajukan ke pengadilan," ucap Hakim Enny.
"Pasal 40 ayat (1) harus dipandang sebagai dorongan bagi KPK untuk bekerja secara optimal dalam mendapatkan bukti. Sehingga seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada dasarnya harus dilimpahkan ke pengadilan. Oleh karena itu diskresi SP3 tidak menjadi pilihan yang menyulitkan KPK dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi," sambungnya.
Hapus Frasa 'Pencegahan' soal Penjelasan KPK
Dalam putusan tersebut, MK sekaligus menghapus frasa 'pencegahan' di Pasal 1 angka 3 yang menjelaskan mengenai kedudukan KPK. Berikut bunyi Pasal tersebut:
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini.
MK menilai frasa 'pencegahan' di pasal tersebut mereduksi makna pemberantasan korupsi. Sebab seolah-olah pemberantasan korupsi hanyalah pencegahan. Padahal pemberantasan korupsi termasuk meliputi penindakan hingga penyelamatan keuangan negara.
Sehingga MK mengubah bunyi Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 menjadi:
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.