MK: KPK Selalu Menolak Dilibatkan dalam Proses Revisi UU

4 Mei 2021 18:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi KPK Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan UU KPK hasil revisi, UU 19/2019, tetap sah dan konstitusional. Hal tersebut ditegaskan dalam putusan perkara nomor 79/PUU-XVII/2019 yang diajukan mantan pimpinan KPK, Agus Rahardjo dkk.
ADVERTISEMENT
MK menilai proses revisi UU KPK sudah sesuai prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk asas keterbukaan.
Sebelumnya Agus Rahardjo cs menganggap revisi UU KPK tidak terbuka mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan hingga pengundangan. Terlebih ketika masih menjadi pimpinan KPK, Agus cs merasa tak pernah sama sekali dilibatkan dalam pembahasan. Sehingga muncul penolakan besar-besaran dari masyarakat yang dibuktikan dengan aksi demo di berbagai wilayah.
Namun MK tak sependapat dengan argumen Agus dkk. MK menyatakan Baleg dan Panitia Angket DPR sebelumnya telah terbuka terhadap revisi UU KPK dengan melakukan raker, RDP, RDPU, rapat panja dan kegiatan lain untuk menyerap aspirasi di masyarakat.
Sejumlah hakim konstitusi bersiap mengikuti sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
MK mencontohkan DPR telah menggelar seminar mengenai revisi UU KPK sepanjang Februari-Maret 2017 di Universitas Andalas, UGM, USU, dan Universitas Nasional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Pansus Angket KPK sudah menerima masukan mulai dari tokoh masyarakat, aktivis antikorupsi, BPK, Polri, Kemenkumham, LPSK, Kejaksaan, hingga beberapa saksi yang pernah terkait dengan penanganan kasus korupsi di KPK sepanjang Juni-Juli 2017.
Sebaliknya, kata MK, KPK justru selalu menolak dilibatkan dalam proses revisi UU.
"Mahkamah menemukan fakta bahwa beberapa kali KPK menolak menghadiri pembahasan perihal revisi UU KPK. Hal demikian berarti bukanlah pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) yang tidak mau melibatkan KPK, tetapi secara faktual KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi UU KPK," ujar Hakim MK, Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan putusan di ruang sidang, Jakarta, Selasa (4/5).
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra memimpin sidang Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
MK mencontohkan penolakan KPK dalam proses revisi UU setidaknya terjadi 2 kali pada 2016 dan 2017. Pada 2016, MK menyebut DPR pernah mengirim surat pada 3 Februari 2016 yang mengundang pimpinan KPK untuk rapat dengar pendapat (RDP) dalam rangka harmonisasi revisi UU KPK.
ADVERTISEMENT
"Kemudian KPK berdasarkan surat Nomor B790/01-55/02/2016, tanggal 3 Februari 2016, dalam suratnya menyampaikan bahwa UU KPK yang ada sekarang sudah cukup mendukung operasional kegiatan KPK sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dan menyarankan untuk lebih mendahulukan pembahasan dan penyusunan beberapa undang-undang yang terkait dengan pemberantasan korupsi," ucap Hakim Saldi.
Sedangkan pada 2017, pimpinan KPK diundang Pansus Angket DPR pada 20 September 2017 dengan agenda membahas pembicaraan awal tugas penyelidikan Pansus Angket KPK terhadap fungsi kelembagaan, tata kelola SDM, anggaran dan kewenangan KPK.
Saksi melakukan pengambilan sumpah ketika sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
"Namun KPK melalui surat tertulisnya Nomor B/6086/01-55/09/2017, tanggal 20 September 2017 belum dapat memenuhi panggilan Pansus dengan alasan masih menjadi Pihak Terkait dalam sidang Judicial Review di MK," kata Hakim Saldi.
ADVERTISEMENT
MK menilai penolakan KPK tersebut tak berarti UU hasil revisi menjadi tidak sah. Sedangkan mengenai demo penolakan revisi UU KPK, MK menganggapnya sebagai bentuk kebebasan masyarakat menyatakan pendapat.
"Karena kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh kelompok yang menentang revisi UU KPK namun juga oleh kelompok yang mendukung dilakukan revisi terhadap UU KPK. Apalagi ada tidaknya demonstrasi tidak menentukan keabsahan formalitas pembentukan UU," kata Hakim Saldi.
Rapat paripurna ke-9 DPR masa sidang I Tahun 2019-2020 tentang Revisi UU KPK. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

MK Tak Bisa Simpulkan Kuorum Rapat Paripurna DPR saat Pengesahan Revisi UU KPK

ADVERTISEMENT
Dalam putusannya, MK turut menyinggung mengenai dalil Agus dkk yang menilai sidang paripurna DPR saat pengesahan revisi UU KPK tidak kuorum secara fisik. Sehingga Agus cs menganggap pengesahan revisi UU KPK tidak sah.
ADVERTISEMENT
MK kemudian mencermati bukti-bukti yang diajukan Agus cs dan DPR mengenai rapat paripurna pada 17 September 2019 itu. Hasilnya MK tak bisa menyimpulkan apakah rapat paripurna DPR tersebut kuorum atau tidak.
"Mahkamah tidak memiliki keyakinan yang cukup perihal jumlah kehadiran anggota DPR dalam tahap persetujuan bersama revisi UU KPK dimaksud. Dalam hal ini para Pemohon hanya mengajukan bukti berupa fotokopi foto suasana Rapat Paripurna dan fotokopi artikel media online yang tidak dapat menjelaskan perihal keterpenuhan kuorum berdasarkan kehadiran secara fisik kehadiran anggota DPR dalam tahap persetujuan bersama revisi UU KPK," jelas Hakim Saldi.
Rapat paripurna ke-9 DPR masa sidang I Tahun 2019-2020 tentang Revisi UU KPK. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
"Begitu pula bukti yang diajukan oleh DPR berupa Rekapitulasi Kehadiran Anggota Dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 17 September 2019 yang memuat bahwa kehadiran anggota pada saat rapat dimulai/dibuka sebanyak 289 anggota dan pada saat rapat selesai/ditutup sebanyak 401 anggota dengan ketentuan kuorum yaitu 281 orang anggota dari 6 (enam) Fraksi DPR RI, serta video Rapat Paripurna DPR 17 September 2019," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sehingga berdasarkan fakta tersebut, MK menegaskan untuk kepentingan pengujian formil selanjutnya, pemohon maupun DPR/Pemerintah tidak cukup hanya mengajukan bukti untuk membuktikan kehadiran anggota DPR secara fisik dengan hanya menyampaikan daftar hadir yang ditandatangani anggota DPR.
"Namun harus menyerahkan bukti visual dan/atau bukti audio visual rekaman persidangan yang dapat menunjukkan jumlah kehadiran secara fisik anggota DPR," kata Hakim Saldi.