MK Minta UU Tapera Ditata Ulang Maksimal 2 Tahun
29 September 2025 15:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
MK Minta UU Tapera Ditata Ulang Maksimal 2 Tahun
"Menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama 2 tahun sejak putusan a quo diucapkan."kumparanNEWS

ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan gugatan pengujian materiil UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).
ADVERTISEMENT
Hal itu diucapkan dalam sidang putusan perkara nomor 96/PUU-XXII/2024, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Senin (29/9).
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Suhartoyo, membacakan amar putusannya.
Dalam putusan itu, MK juga menyatakan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga, perlu dilakukan penataan ulang.
"Menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama 2 tahun sejak putusan a quo diucapkan," lanjut Suhartoyo.
Adapun gugatan tersebut diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Mereka meminta agar MK menyatakan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan Pasal 72 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebut bahwa Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah menggeser makna konsep tabungan. Pasalnya, kata dia, tabungan sejatinya bersifat sukarela alih-alih pungutan yang bersifat memaksa.
ADVERTISEMENT
"Bertolak pada penjelasan tersebut, negara ditempatkan sebagai penanggung jawab utama penyediaan rumah layak huni bagi warganya. Namun, dengan adanya norma Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 justru tidak sejalan dengan tujuan dimaksud," tutur Saldi.
Saldi menyebut, keberadaan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2016 itu mewajibkan setiap pekerja, termasuk pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi peserta Tapera.
"Norma demikian menggeser peran negara sebagai 'penjamin' menjadi 'pemungut iuran' dari warganya," ucap Saldi.
Saldi menekankan bahwa kondisi itu justru tidak sejalan dengan esensi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang pada pokoknya menegaskan kewajiban negara untuk mengambil tanggung jawab penuh atas kelompok rentan.
Selain itu, MK menilai bahwa kewajiban seragam seluruh pekerja termasuk pekerja yang telah memiliki rumah atau belum menjadi peserta Tapera menimbulkan perlakuan yang tidak proporsional. Menurut Mahkamah, hal ini justru berpotensi menimbulkan beban ganda bagi pekerja.
ADVERTISEMENT
"Mahkamah menilai bahwa keberadaan Tapera sebagai kewajiban, terlebih disertai sanksi, tidak hanya bersifat tumpang tindih tetapi juga berpotensi menimbulkan beban ganda, terutama bagi kelompok pekerja yang sudah berkontribusi dalam skema jaminan sosial lainnya yang telah ada," tutur Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Lebih lanjut, Enny menyebut bahwa substansi norma Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2016 merupakan ruh yang menjiwai keseluruhan norma dalam aturan tersebut.
"Apabila sifat 'wajib' tersebut berubah menjadi 'dapat', maka keseluruhan mekanisme Tapera kehilangan logika normatifnya. Sanksi menjadi tidak berdasar, kewajiban penyetoran menjadi tidak bermakna, dan operasional kelembagaan Tapera menjadi tidak mungkin dijalankan sebagaimana tujuan pembentukan UU 4/2016," ucap Enny.
"Oleh karena itu, perubahan redaksional semata hanya menimbulkan disharmoni internal, inkonsistensi antar pasal, serta ketidakpastian hukum," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, Enny menyatakan bahwa perlu dilakukan penataan ulang desain pemenuhan hak atas rumah dengan mengembangkan konsep perumahan yang salah satunya adalah central public housing.
"Agar dapat menyelesaikan persoalan keterbatasan lahan perkotaan dan memberikan hunian bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) sebagai bagian dari sistem nasional penyediaan hunian publik yang masif, terjangkau, dan berkelanjutan," pungkasnya.
