MK: Pejabat Daerah, TNI, Polri Bisa Dipidana Bila Langgar Netralitas Pilkada

14 November 2024 19:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah pasal mengenai aturan pidana terkait netralitas pilkada. Kini, pejabat daerah dan TNI-Polri termasuk subjek yang bisa dipidana bila melanggar netralitas tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal itu termuat dalam putusan MK dalam amar Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024. Pemohon perkara ini adalah Syukur Destieli Gulo.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Suhartoyo, membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/11).
Dalam permohonannya, Syukur mengajukan permohonan uji materiil Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terhadap UUD 1945.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 188 tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut kemudian diubah hingga kemudian berbunyi:
"Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, serta Kepala Desa atau sebutan lainnya/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00".
ADVERTISEMENT
Dalam pertimbangannya, Hakim MK Arief Hidayat memaparkan bahwa merupakan suatu keharusan untuk memformulasikan norma hukum yang dibuat secara jelas, konsisten, harmonis, sinkron dan mudah dipahami. Serta tidak membuka ruang multitafsir dalam penyusunannya dan tidak menimbulkan ambigu dalam implementasinya.
Dalam pertimbangannya, MK mempertimbangkan dalil permohonan yang berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 188 UU 1/2015 yang mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 sebagaimana telah diubah dengan UU 10/2016 mengenai netralitas aparatur negara dalam pilkada.
Menurut MK, netralitas aparatur negara, baik sipil maupun militer, dalam pilkada merupakan prinsip dasar untuk menjamin penyelenggaraan sebuah pemilu yang jujur dan adil. Dengan netralitas aparaturnya, negara dapat menjaga keadilan, hak warga negara untuk mengikuti pilkada secara langsung, umum, bebas dan rahasia, sekaligus menjamin pilkada yang jujur dan adil dengan mencegah perilaku yang menyalahgunakan kekuasaan oleh aparatur negara.
ADVERTISEMENT
MK menyebut bahwa netralitas aparatur negara akan meningkatkan kualitas demokrasi. Serta memastikan pilkada sebagai sarana untuk memilih pemimpin daerah yang dihasilkan bukan dari proses pilkada yang manipulatif karena adanya keberpihakan aparatur negara terhadap pasangan calon tertentu.
Dalam rangka perbaikan penyelenggaraan pilkada untuk memilih kepala daerah, pembentuk undang-undang telah melakukan revisi terhadap sejumlah ketentuan dalam UU 1/2015.
Termasuk di antaranya terhadap norma Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 dengan menambahkan 2 subjek hukum baru sebagai aparatur negara, yaitu pejabat daerah dan anggota TNI/Polri sebagaimana kemudian dirumuskan dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016.
Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, tetapi perubahan tersebut tidak diikuti dengan perubahan atau penambahan 2 subjek hukum baru tersebut ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder.
ADVERTISEMENT
Oleh karena UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 UU 1/2015, sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tersebut tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015.
Akibat atau konsekuensi hukumnya adalah harus dimuat pada norma sekunder yang mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran yang dilakukan dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016.
Tidak diubahnya norma Pasal 188 UU 1/2015 dalam UU 10/2016 agar sinkron dengan norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 yang digunakan sebagai rujukan sehingga menjadikan tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap 2 subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri.
MK menilai bahwa ketiadaan 2 subjek hukum yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang memuat sanksi pidana akan menimbulkan permasalahan dalam penegakan hukumnya.
ADVERTISEMENT
Misalnya kedua subjek hukum tersebut berpotensi menjadi tidak dapat diproses pidana meskipun perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam norma Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016. Atau setidaknya timbul perdebatan mengenai keabsahan proses penegakan hukum terhadap kedua subjek hukum tersebut.
Dengan sejumlah pertimbangan, MK kemudian memutuskan untuk mengubah pasal tersebut.