MK: Pembentukan UU Ciptaker Omnibus Law Cacat Formil

25 November 2021 15:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana sidang putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta.  Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana sidang putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi memerintahkan adanya perbaikan UU Cipta Kerja Omnibus Law dalam jangka waktu 2 tahun. MK menilai penyusunan UU tersebut cacat secara formal.
ADVERTISEMENT
"Pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan," bunyi pertimbangan MK dikutip dari situs resmi Mahkamah Konstitusi, Kamis (25/11).
"Maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil," bunyi pertimbangan hakim.
Gugatan ini diajukan oleh Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, Ali Sujito, Muhtar Said, S.H., M.H., Migrant CARE (yang diwakili oleh Ketua dan Sekretaris), Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat (yang diwakili oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum), dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau yang diwakili oleh Ketua (Imam) Mahkamah.
ADVERTISEMENT
Dalam permohonannya, mereka mendalilkan pembentukan UU 11/2020 dengan metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan. Yakni apakah UU 11/2020 tersebut merupakan UU baru, UU perubahan ataukah UU pencabutan.
"Berkenaan dengan penamaan UU yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo telah ternyata menggunakan nama baru yaitu UU tentang Cipta Kerja, oleh karenanya Mahkamah dapat memahami apa yang menjadi persoalan inti para Pemohon yakni adanya ketidakjelasan apakah UU a quo merupakan UU baru atau UU perubahan," bunyi pertimbangan hakim.
UU Ciptaker berkaitan dengan 78 UU, di mana 77 UU merupakan perubahan undang-undang dan 1 UU berupa pencabutan undang-undang.
MK menyatakan bahwa seharusnya pembentukan undang-undang merujuk pada UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yakni terkait “asas kejelasan rumusan” yang menghendaki agar setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
ADVERTISEMENT
"Namun, ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang digunakan oleh UU 11/2020," bunyi pertimbangan hakim.
MK pun menemukan adanya sejumlah kesalahan teknis penulisan hingga kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal.
Tak hanya itu, MK juga menyatakan terungkap fakta bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi yang maksimal kepada masyarakat. Meski sudah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat.
"Pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang a quo. Sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU 11/2020," bunyi pertimbangan hakim.
"Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU cipta kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal berdasarkan Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis," masih bunyi pertimbangan hakim.
ADVERTISEMENT
Atas sejumlah pertimbangan, MK mengabulkan sebagian gugatan tersebut. MK memerintahkan agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam waktu 2 tahun. Bila dalam jangka waktu itu tidak diperbaiki, UU tersebut akan dinyatakan inkonstitusional.